RUU Batasi Sekolah Minggu dan Katekisasi, DPRD Maluku Undang Pimpinan Gereja
pada tanggal
27 Oktober 2018
AMBON, LELEMUKU.COM - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Maluku pada Jumat (26/10) mengundang pimpinan umat dari berbagai denominasi gereja untuk memberikan masukan dan aspirasi terkait pembatasan aktivitas kegiatan gereja pada pasal 69 dan pasal 70 Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Kegamaan yang sedang dibahas oleh DPR RI di Senayan, Jakarta.
Rapat yang dihadiri oleh sejumlah unsur pimpinan gereja diantaranya dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Wilayah Maluku, Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), Keuskupan Amboina, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK) Maluku, Bala Keselamatan, Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) serta sejumlah Gembala Sidang dari denominasi gereja-gereja yang ada di Maluku ini diharapkan membuahkan masukan positif yang dapat diteruskan ke Badan Lesgislasi DPR RI.
Dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang diusulkan oleh Komisi VIII DPR, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan ini tampak adanya pengaturan pembatasan pada kegiatan keagamaan pada Kristen dan Katolik dengan upaya pengusulan agar pendidikan nonformal dalam gereja ikut diatur dalam UU.
Dalam Pasal 69 ayat (1) RUU itu disebutkan bahwa Sekolah Minggu dan Katekisasi termasuk jalur pendidikan non-formal agama Kristen. Pasal 69 ayat (3) menyebutkan bahwa jumlah peserta didik pendidikan non-formal agama Kristen itu paling sedikit 15 orang, dan dalam Pasal 69 ayat (4) menyatakan bahwa penyelenggaraan sekolah minggu harus mendapat izin dari pemerintah Kabupaten/Kota.
"Kami ingin mendapat masukan dari pimpinan umat soal dua pasal RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang memasukan kegiatan Sekolah Minggu dan Katekisai yang merupakan pendidikan non formal dan menjadi bagian dari prosesi peribadatan di gereja. Apakah sekolah minggu dan katekisasi bisa diterapkan dengan pendidikan pesantren atau tidak?" tanya Ketua DPRD Maluku, Edwin Adrian Huwae, saat memimpin rapat yang berlangsung di ruang Paripurna DPRD Maluku, Karang Panjang, Kota Ambon.
Dijelaskan, Huwae menurut RUU tersebut pendidikan non-formal ini harus mendapatkan izin dari Kantor Kementerian Agama dengan syarat jumlah anak yang hadir 15 orang, maka dalam posisi itulah sebagai wakil rakyat, DPRD ingin mendapat masukan dari para pimpinan agama apakah sekolah minggu dan katekesasi bisa diterapkan dengan pendidikan pesantren atau tidak.
"Karena ini merupakan bagian dari proses peribadatan, sehingga pendapat dari pemimpin agama merupakan masukan penting bagi DPRD dalam rangka mengajukan pendapat mewakili aspirasi masyarakat Maluku terkait dengan tahapan lanjutan pembahasan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan," papar dia.
Butuh Kajian Bersama
Menurut Wakil ketua Sinode GPM, Pdt. Wem Pariama perlu dilakukan sebuah kajian yang komprehensif terhadap seluruh pasal yang ada di dalam RUU tersebut, sehingga dapat memahami substansinya secara utuh menyangkut norma pendidikan formal maupun non formal.
"Kalau hanya dua pasal ini yang kita bahas, saya rasa terlalu subjektif dan tidak menjawab seluruhnya, dan saya pikir brainstorming saja untuk melihat seluruh pasal secara lengkap dan nanti kita kembali untuk memberikan pikiran-pikiran, karena kita belum tau seluruh jiwa rancangan undang-undang itu," kata Pariama.
Selanjutnya Ketua PGI Wilayah Maluku, John Ruhulessin berpendapat, masalah ini perlu dibicarakan secara perspektif melalui pikiran besama dalam bingkai kebangsaan yang lebih besar, yaitu dengan melibatkan MUI serta unsur pimpinan dari berbagai organisasi muslim.
"Saya mengerti betul mengapa hal ini mendapat reaksi cepat dari DPRD, karena hal ini sudah menjurus kepada sebuah politisasi yang kuat di kalangan masyarakat, terutama di kalangan gereja, dimana sudah ada yang melakukan petisi untuk menolak dua pasal RUU tersebut. Padahal masalah ini perlu kita bicarakan secara baik dalam frame kebangsaan yang lebih besar sehingga kita dapat melihat dimana letak kekuatan dan kelemahan RUU ini," katanya.
Pastor Inno Ngutra dari Keuskupan Amboina dalam pendapatnya mengatakan, bahwa dua pasal dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini bertentangan dengan apa yang dipraktekan dalam gereja. Menurutnya, pembuat RUU ini punya itikad baik, namun mereka tidak mengerti realitas greja.
"Kalau syarat harus 15 orang dan disetujui Kemenag ini menjadi sesuatu yang justeru bertentangan dengan apa yang dipraktikan serta tidak menjawab persoalan. Saya melihat para pembuat RUU ini ada maksud bagus untuk pendidikan pesantren dan keagamaan, tetapi mereka tidak mengerti apa yang ada dalam realitas gereja," ungkapnya.
Ketua Gereja Bala Keselamatan Ambon, Myr. S. Tulumang mengatakan, pasal 69 dan pasal 70 RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ternyata didalamnya ada aturan tentang sekolah minggu dan kategesai, sehingga timbul pertanyaan apa hubungannya antara Pesantren dengan Sekolah Minggu dan Katekisasi.
"Karena itu kita perlu tahu keseluruhan dari RUU ini sehingga tidak hanya terpaku pada dua pasal dimaksud saja, karena tentu ada maksud dan tujuannya didalamnya," ujar Tulumang.
Hanya saja kalau mendengar pendapat dari pimmpinan umat, sekolah minggu adalah pendidikan non formal dan harus dibedakan dengan sekolah formal yang ada aturannya dan ada AD/ART sehingga perlu mengikuti aturan pemerintah jadi bisa diakreditasi.
Namun, katanya, kalau sekolah minggu, siapa yang mau akreditasi, kemudian pemerintah tidak bisa mengatur anak-anak untuk datang atau tidak karena non formal dimana kadang 50 anak, dan terkadang hanya lima anak yang hadir.
Bila mendekat hari raya Natal misalnya, gereja bisa penuh dengan kehadiran anak-anak, selebihnya Januari atau Februari akan jauh berkurang sehingga pemerintah tidak bisa mengatur hal-hal yang termasuk di dalam pelayanan gereja yang bukannya pendidikan formal. Sebab RUU ini juga bertentangan dengan Alkitab karena ini adalah bagian dari pelayanan gereja.
PGI Menolak
Sebelumnya Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) telah menyatakan sikap sejak Rabu (23/10). Dalam pernyataannya, PGI menilai penyusunan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan adalah kecenderungan membirokrasikan pendidikan nonformal khususnya bagi pelayanan anak-anak dan remaja yang sudah dilakukan sejak lama oleh gereja-gereja di Indonesia.
"Kecenderungan ini dikhawatirkan beralih pada model intervensi negara pada agama," ungkap pernyataan PGI dalam rilis medianya.
PGI menyatakan mendukung Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini menjadi undang-undang sejauh hanya mengatur kepentingan Pendidikan formal dan tidak memasukkan pengaturan model pelayanan pendidikan nonformal gereja-gereja di Indonesia seperti pelayanan kategorial anak dan remaja menjadi bagian dari RUU tersebut.
Menurut PGI pendidikan keagamaan formal seperti pesantren, madrasah, sekolah teologi dan sejenisnya sebagai bagian dari pendidikan nasional telah memiliki kontribusi besar dalam membentuk karakter bangsa.
PGI juga menilai bahwa selama ini pengembangan institusi pendidikan berbasis agama tersebut kurang mendapat dukungan dari negara. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan di dunia pendidikan di mana pendidikan formal lainnya mendapat dukungan penuh dari negara.
PGI memahami perlunya UU yang menjadi payung hukum bagi negara dalam memberikan perhatian dan dukungan kepada pesantren dan pendidikan keagamaan lain yang formal. Namun PGI melihat, ketika membahas tentang pendidikan dan pembinaan di kalangan umat Kristen, RUU ini tidak memahami konsep pendidikan keagamaan Kristen di mana ada pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja-gereja dan ada pendidikan nonformal melalui kegiatan pelayanan di gereja.
Kata PGI, pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi, yang juga hendak diatur dalam RUU ini, sesungguhnya adalah proses interaksi edukatif yang dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia, yang merupakan pendidikan nonformal dan masuk dalam kategori pelayanan ibadah bagi anak-anak dan remaja.
Dengan melihat syarat pendirian pendidikan keagamaan dengan memasukkan syarat peserta didik paling sedikit 15 (lima belas) orang serta harus mendapat ijin dari Kanwil Kementerian Agama Kabupaten/Kota maka hal tersebut tidak sesuai dengan model pendidikan anak dan remaja gereja-gereja di Indonesia, sebagaimana kandungan RUU yang hendak menyetarakan Sekolah Minggu dan Katekisasi dengan model pendidikan pesantren.
"Sejatinya, Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak membutuhkan ijin karena merupakan bentuk peribadahan," tulis PGI. (Albert Batlayeri)