Kejahatan Terhadap Anak Dibawah Umur di Maluku Tenggara Barat Meningkat Tajam
pada tanggal
03 Juni 2018
SAUMLAKI, LELEMUKU.COM - Kejahatan terhadap anak dibawah umur di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, sudah berada pada ambang batas lampu merah. Berdasarkan data Polres Maluku Tenggara Barat, kasus kejahatan terhadap anak dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) diprediksi pada tahun 2018, meningkat prosentasinya jika dibanding tahun 2017.
“Kekerasaan Seksual terhadap anak cukup signifikan, sesuai data, dari Januari - Desember 2017 terdapat 29 kasus, seperti perkosaan, cabul, persetubuhan anak dibawah umur, dan KDRT. Tetapi ditahun 2018, sampai bulan April saja sudah 15 kasus, kalau kita bandingkan dengan tahun 2017, itu artinya kasus kekerasan terhadap anak akan meningkat,” kata Kasat Reskrim Polres Maluku Tenggara Barat Iptu. Pieter Matahelumual, SH.,MH di ruang rapat Bappeda Kab. MTB, Kamis (3/5/2018).
Terhadap tingginya prosentasi kasus kekerasan terhadap anak dan KDRT di Kab. MTB, sudah saatnya pemerintah memperhatiankan dengan serius, dengan melibatkan semua pihak untuk menunjukan perannya sebagai langka pencegahan, karena belum ada kata terlambat.
“Kalau kita berbicara tentang pencegahan, kita berbicara dari keluarga, kita berbicara peran, jadi peran dari masyarakat, peran keluarga, peran guru, dan peran dari lingkungan, itu pencegahan yang paling utama. Bagaimana bapak dan ibu bisa membina hubungan yang baik di dalam keluarga, kalaupun kemudian di dalam keluarga itu sendiri terjadi perpecahan, sering cekcok antara bapak dan ibu, saling melempar kata kotor di depan anak, maka ini akan mengganggu psikis terhadap anak. Berikut ketidakpedulian orang tua terhadap anak, misalnya jam-jam belajar mereka, dimana orang tua lebih menyibukan diri dengan aktifitas di kantor, celah ini merupakan salah satu cara yang digunakan anak-anak Broken Home. Mereka menganggap, tidak mendapat kasih sayang secara menyeluruh dari orangtua,” jelas dia.
Menjawab pertanyaan tentang penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak yang sering diminta untuk ditarik kembali oleh keluarga dengan alasan sudah diselesaikan secara hukum Adat.
“Kita Polres MTB sudah berkomitmen, terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap anak tidak ada kata kompromi, tetap kami proses sesuai hukum yang berlaku secara normatif. Memang kita akui bahwa ada aturan adat yang berlaku di Bumi Duan Lolat ini, yaitu Keputusan Latupati yang mengakomodir terkait dengan beberapa tindakan-tindakan yang bisa dilakukan penyelesaian secara adat dengan sanksi-sanksi atau denda yang berlaku," ujar dia.
Namun, ia menegaskan perlu kami tegaskan bahwa yang berlaku di bumi duan lolat ini adalah hukum positif. Sebab meski pemerintah mengakui adanya hukum adat tetapi bukan berarti hukum adat itu mengesampingkan hukum positif.
"Tidak, hukum positif tetap kami dahulukan, hukum adat kami akomodir. Dalam pengertian bahwa, ketika ada permasalahan pidana maka penyelesaian secara adat itu kami lampirkan dalam berkas perkara untuk meringkan si pelaku tetapi tidak untuk menyelesaikan masalah,” tegasnya.
Menurutnya, jika kasus kekerasan itu diselasasikan secara adat maka diibaratkan anak itu diperdagangkan dan harga diri serta masa depan anak itu menjadi suram, sementara untuk pelaku tidak ada efek jerah. Ditambahkannya, kasus kekerasan terhadap anak dibawah umur di Kabupaten Maluku Tenggara Barat selama ini, bukan dilakukan orang lain terhadap si korban tetapi yang sering terjadi, pelakunya mempunyai hubungan dekat dengan keluarga korban. (DiskominfoMTB)
“Kekerasaan Seksual terhadap anak cukup signifikan, sesuai data, dari Januari - Desember 2017 terdapat 29 kasus, seperti perkosaan, cabul, persetubuhan anak dibawah umur, dan KDRT. Tetapi ditahun 2018, sampai bulan April saja sudah 15 kasus, kalau kita bandingkan dengan tahun 2017, itu artinya kasus kekerasan terhadap anak akan meningkat,” kata Kasat Reskrim Polres Maluku Tenggara Barat Iptu. Pieter Matahelumual, SH.,MH di ruang rapat Bappeda Kab. MTB, Kamis (3/5/2018).
Terhadap tingginya prosentasi kasus kekerasan terhadap anak dan KDRT di Kab. MTB, sudah saatnya pemerintah memperhatiankan dengan serius, dengan melibatkan semua pihak untuk menunjukan perannya sebagai langka pencegahan, karena belum ada kata terlambat.
“Kalau kita berbicara tentang pencegahan, kita berbicara dari keluarga, kita berbicara peran, jadi peran dari masyarakat, peran keluarga, peran guru, dan peran dari lingkungan, itu pencegahan yang paling utama. Bagaimana bapak dan ibu bisa membina hubungan yang baik di dalam keluarga, kalaupun kemudian di dalam keluarga itu sendiri terjadi perpecahan, sering cekcok antara bapak dan ibu, saling melempar kata kotor di depan anak, maka ini akan mengganggu psikis terhadap anak. Berikut ketidakpedulian orang tua terhadap anak, misalnya jam-jam belajar mereka, dimana orang tua lebih menyibukan diri dengan aktifitas di kantor, celah ini merupakan salah satu cara yang digunakan anak-anak Broken Home. Mereka menganggap, tidak mendapat kasih sayang secara menyeluruh dari orangtua,” jelas dia.
Menjawab pertanyaan tentang penyelesaian kasus kekerasan terhadap anak yang sering diminta untuk ditarik kembali oleh keluarga dengan alasan sudah diselesaikan secara hukum Adat.
“Kita Polres MTB sudah berkomitmen, terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap anak tidak ada kata kompromi, tetap kami proses sesuai hukum yang berlaku secara normatif. Memang kita akui bahwa ada aturan adat yang berlaku di Bumi Duan Lolat ini, yaitu Keputusan Latupati yang mengakomodir terkait dengan beberapa tindakan-tindakan yang bisa dilakukan penyelesaian secara adat dengan sanksi-sanksi atau denda yang berlaku," ujar dia.
Namun, ia menegaskan perlu kami tegaskan bahwa yang berlaku di bumi duan lolat ini adalah hukum positif. Sebab meski pemerintah mengakui adanya hukum adat tetapi bukan berarti hukum adat itu mengesampingkan hukum positif.
"Tidak, hukum positif tetap kami dahulukan, hukum adat kami akomodir. Dalam pengertian bahwa, ketika ada permasalahan pidana maka penyelesaian secara adat itu kami lampirkan dalam berkas perkara untuk meringkan si pelaku tetapi tidak untuk menyelesaikan masalah,” tegasnya.
Menurutnya, jika kasus kekerasan itu diselasasikan secara adat maka diibaratkan anak itu diperdagangkan dan harga diri serta masa depan anak itu menjadi suram, sementara untuk pelaku tidak ada efek jerah. Ditambahkannya, kasus kekerasan terhadap anak dibawah umur di Kabupaten Maluku Tenggara Barat selama ini, bukan dilakukan orang lain terhadap si korban tetapi yang sering terjadi, pelakunya mempunyai hubungan dekat dengan keluarga korban. (DiskominfoMTB)