BPS Papua Nilai Angka Kemiskinan Tinggi Karena Ekonomi Desa Lambat
pada tanggal
27 September 2018
JAYAPURA, LELEMUKU.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua menyebut salah satu indikator masih tingginya angka kemiskinan di Papua sementara pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan karena lambannya pertumbuhan ekonomi di tingkat pedesaan.
Menurut Kepala BPS Papua Simon Sapary, pemerintah provinsi sudah bekerja keras dengan mendorong pembagunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) guna mendongkrak tingkat kemiskinan. Sayangnya penurunan kemiskinan ada namun terjadi tidak terlalu siginifikan.
Sehingga saran yang perlu dilakukan adalah merubah model pembangunan yang sementara dikerjakan oleh pemerintah provinsi.
“Sebab sampai saat ini Papua dikenal sebagai provinsi yang memiliki kekayaan alam melimpah, namun tidak pernah luput dari berbagai persoalan sosial. Salah satu yang paling menonjol adalah tingginya angka kemiskinan.”
“Dari catatan kami angka kemiskinan di Papua mencapai 20 persen. Hal ini tentu sangat ironis, karena di sisi lain Papua ternyata mencatat pertumbuhan ekonomi Year on Year (Yoy) triwulan 2 tahun 2018 mencapai 24,68 persen. Fakta ini lagi-lagi mencengangkan, sehingga peranan pemerintah dan peneliti ataupun akademisi dalam menelaah fenomena semacam ini sangat diperlukan,”terang Simon dalam talkshow dalam rangka memperingati HUT BPS yang jatuh Kamis 26 September 2018, di Aula Sasana Gamma kantor BPS Papua, Selasa (25/9).
Sementara dalam talkshow tersebut, BPS menghadirkan dua nara sumber, yakni Kepala Bidang Nerwilis BPS Papua, Eko Mardiana dan Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Papua, Bagas Susilo. Kegiatan ini pun dihadiri para perwakilan akademisi dan mahasiswa dari sejumlah universitas negeri dan swasta yang ada di Kota Jayapura.
Dalam interaksi tanya jawab, Situmeang dari universitas Ottouw Geissler (OG) menyarankan, BPS membuat indeks ketergantungan uang mengingat masyarakat Papua terutama yang hidup di pedalaman sangat menggantungkan hidupnya dari bantuan pemerintah, sementara di perkotaan yang sangat konsumtif.
Sementara Dosen Uncen, Yohanes menyarankan, perlu adanya metode khusus terkait pendataan kemiskinan semisal dibuat kategori kemiskinan kultural. Mengingat di pedalaman Papua, banyak warga yang tidak memakai baju, alas kaki, hidup dalam honai, hanya makan umbian tetapi mereka memiliki tanah kebun yang luas dan ternak yang banyak. (DiskominfoPapua)
Menurut Kepala BPS Papua Simon Sapary, pemerintah provinsi sudah bekerja keras dengan mendorong pembagunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) guna mendongkrak tingkat kemiskinan. Sayangnya penurunan kemiskinan ada namun terjadi tidak terlalu siginifikan.
Sehingga saran yang perlu dilakukan adalah merubah model pembangunan yang sementara dikerjakan oleh pemerintah provinsi.
“Sebab sampai saat ini Papua dikenal sebagai provinsi yang memiliki kekayaan alam melimpah, namun tidak pernah luput dari berbagai persoalan sosial. Salah satu yang paling menonjol adalah tingginya angka kemiskinan.”
“Dari catatan kami angka kemiskinan di Papua mencapai 20 persen. Hal ini tentu sangat ironis, karena di sisi lain Papua ternyata mencatat pertumbuhan ekonomi Year on Year (Yoy) triwulan 2 tahun 2018 mencapai 24,68 persen. Fakta ini lagi-lagi mencengangkan, sehingga peranan pemerintah dan peneliti ataupun akademisi dalam menelaah fenomena semacam ini sangat diperlukan,”terang Simon dalam talkshow dalam rangka memperingati HUT BPS yang jatuh Kamis 26 September 2018, di Aula Sasana Gamma kantor BPS Papua, Selasa (25/9).
Sementara dalam talkshow tersebut, BPS menghadirkan dua nara sumber, yakni Kepala Bidang Nerwilis BPS Papua, Eko Mardiana dan Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Papua, Bagas Susilo. Kegiatan ini pun dihadiri para perwakilan akademisi dan mahasiswa dari sejumlah universitas negeri dan swasta yang ada di Kota Jayapura.
Dalam interaksi tanya jawab, Situmeang dari universitas Ottouw Geissler (OG) menyarankan, BPS membuat indeks ketergantungan uang mengingat masyarakat Papua terutama yang hidup di pedalaman sangat menggantungkan hidupnya dari bantuan pemerintah, sementara di perkotaan yang sangat konsumtif.
Sementara Dosen Uncen, Yohanes menyarankan, perlu adanya metode khusus terkait pendataan kemiskinan semisal dibuat kategori kemiskinan kultural. Mengingat di pedalaman Papua, banyak warga yang tidak memakai baju, alas kaki, hidup dalam honai, hanya makan umbian tetapi mereka memiliki tanah kebun yang luas dan ternak yang banyak. (DiskominfoPapua)