Energi Indonesia Jadi Energi Asia
pada tanggal
20 September 2018
2018 Asian Para Games menjadi Energi Asia yang membanggakan Indonesia. Sebab dengan kehadiran lebih dari 10 ribu atlet dari 41 negara di seluruh Asia, ini akan menjadi iven olahraga kedua terbesar tahunan yang sukses dilaksanakan Indonesia dalam satu tahun berjalan ini.
18 cabang olahraga yang dipertandingkan pada 6 Oktober hingga 13 Oktober nanti, pemerintah memastikan akan muncul banyak prestasi yang tidak disangka-sangka. Melihat Asian Games 2018 pada Agustus lalu saja, sudah banyak pujian yang dihaturkan ke Indonesia. Mulai dari aksi stutntman Presiden Joko Widodo saat pembukaan hingga kemenangan para atlet yang meraih 15 medali emas lebih dari yang ditargetkan.
Jika kita merunut kebelakang, sebenarnya banyak hal yang butuh perhatian, sebab games-games seperti ini bukan saja menjadi tanda bahwa Indonesia sudah mampu menunjukkan prestasinya yang selama ini dipendam oleh berbagai masalah. Terutama dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak, sarana-prasarana yang tidak menunjang, perhatian masyarakat kepada olahraga yang terbatas pada trend semata hingga tidak yakinnya rakyat kepada olahraga sebagai mata pencaharian utama mereka.
Hal ini sebenarnya sudah harus disadari dengan segera oleh semua pihak. Pemerintah baik pusat dan daerah juga punya peran besar dalam melakukan perubahan ini. Salah satunya dengan memberikan perhatian yang cukup kepada para atlet mereka.
Banyak sekali keluhan yang muncul dari para atlet, mulai dari tidak adanya sokongan dana kepada para pahlawan olahraga ini hingga tidak adanya kehadiran moral saat para atlet sedang berjuang membela merah putih.
Lihat saja salah satu atlet atletik dari Maluku, Alvina Tehupeijory yang dengan terbuka menyatakan dirinya tidak mewakili Pemerintah Provinsi Maluku. Hal ini diungkapkan karena dirinya sama sekali tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah daerah melalui Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Maluku meski dirinya sudah memberikan prestasi yang membanggakan dalam beberapa waktu terakhir.
Sementara atlet-atlet senior lainnya, lihat saja Denny Thios mantan atlet angkat besi juara dunia di Inggris dan Swedia yang kini bekerja sebagai tukang las di Makassar. Wempi Wungkau binaragawan yang merah emas di SEA Games 1989 hingga 1997 yang kini bekerja sebagai pengawal pribadi. Leni Haini mantan atlet perahu naga yang meraih emas pada SEA Games 1997 dan 1999 yang kini menjadi buruh cuci. Serta Suharto sang perebut emas SEA Games 1079 dari cabor sepeda yang kini menjadi penarik becak.
Selanjutnya atlit-atlit ternama seperti Tony Gunawan, Mia Audina, Halim Haryanto dan Albertus Susanto Njoto lebih memilih pindah kewarganegaraan dibanding menjadi warga Indonesia. Mereka merupakan atlet peraih mendali di Olimpiade yang merasakan secara nyata ketidakperhatian pemerintah.
Hal ini diakui mantan atlet Susi Susanti yang secara terbuka menyatakan perhatian negara merupakan faktor utama kepindahan mereka ke Amerika Serikat. Kepada Merdeka.com ia mengatakan pengelolaan dana kucuran pemerintah dan swasta yang terkesan.
Tidak hanya itu saja, beberapa atlet cacat pun diperlakukan sama. Sebut saja Monang Siagian yang meraih emas pada beberapa kejuaraan dunia tenis lapangan pada tahun 1995 yang kini hanya bekerja sebagai penjual rumah boneka. Djoko Sulasmono yang meraih emas angkat besi pada kejuaraan internasional pada tahun 1990 yang kini menjadi pengamen di Jawa Tengah. Kemudian Rohimin atlet lari dan tolak peluru yang meraih emas pada Porcanas 1993 yang kini bekerja sebagai juru parkir di swalayan.
Ini sebenarnya menjadi kekhawatiran yang mendalam yang menunjukkan betapa pemerintah dan semua elemen di negara ini harus memberikan perhatian kepada mereka yang telah berjasa mengharumkan nama negara tanpa meminta diperlakukan secara khusus. Sebab satu hal yang secara tersirat mereka ungkapkan adalah rasa sedih diabaikan pasca menjadi orang yang bertanggung jawab menyebabkan Merah Putih berkibar dan Indonesia Raya dikumandangkan.
Sementara itu secara gamblang mereka juga meminta agar perhatian pemerintah ini tidak semata ditujukan kepada mereka, namun juga diberikan secara berkelanjutan kepada generasi berikutnya dan yang akan datang. Sebab uang yang diberikan saat itu akan habis dalam waktu singkat, dan pujian yang dielukkan hanya sirna dalam sekejap mata dan telinga.
Banyak hal yang sebenarnya ingin dihaturkan oleh para atlit tersebut. Namun jika kita ingin meminta pemerintah memperhatikan seluruh atlet, sebenarnya adalah hal yang kurang tepat. Sebab seluruh pihak memiliki tanggung jawab yang sama dalam menyokong para atlet, entah itu dari pengusaha hingga para hadirin yang menyaksikan pertandingan.
Sebab lihat saja apa yang dilakukan China, pemerintah mereka tidak saja memberikan perhatian penuh kepada para atlit, namun tiap keluarga memberikan porsi besar dalam dunia olahraga guna mengkaderisasi generasi muda sebagai atlet-atlet tunas baru yang mampu menjadi juara. Bukan saja di tingkat Asia, namun juga tingkat dunia.
Hal itu terwujud dari besarnya jumlah atlet muda yang mengikuti Asean Games lalu, porsi mereka lebih besar dibandingkan seniornya, menurut bola.com dari 845 atlet ada sekitar 631-nya merupakan pemain muda yang siap mengasah diri menjelang Olimpiade Tokyo 2020.
Sementara di Indonesia, kita masih butuh waktu banyak untuk melakukan regenerasi secara terstruktur. Pemerintah melalui Presiden Jokowi saat ini mulai giat melakukan perombakan, perubahan yang secara bertahap menuju ke arah yang lebih baik.
Kepada CNN Indonesia, veteran atlet Angkat Besi, Eko Yuli Iriawan mengakui adanya perubahan itu. Mulai dari bonus berupa uang, perhatian jaminan masa depan dan masa tua para atletnya. Mulai dari Olimpiade hingga Asean Games dan SEA Games diperhatikan.
Perhatian ini akan menjadi energi positif yang mampu mengangkat harga diri para atlet, yang masih skeptis dengan dukungan negara dan rakyat. Sebab penderitaan mereka sudah berlangsung cukup lama dan jika hal ini diwujudkan maka generasi muda lainnya akan memberikan porsi besar untuk mengambil komitmen sebagai olahragawan dan olahragawati yang mampu mengukir prestasi sampai ke tingkat dunia, sehingga Energi Indonesia sebagai Energi Asia semakin terwujud. (Redaksi)
18 cabang olahraga yang dipertandingkan pada 6 Oktober hingga 13 Oktober nanti, pemerintah memastikan akan muncul banyak prestasi yang tidak disangka-sangka. Melihat Asian Games 2018 pada Agustus lalu saja, sudah banyak pujian yang dihaturkan ke Indonesia. Mulai dari aksi stutntman Presiden Joko Widodo saat pembukaan hingga kemenangan para atlet yang meraih 15 medali emas lebih dari yang ditargetkan.
Jika kita merunut kebelakang, sebenarnya banyak hal yang butuh perhatian, sebab games-games seperti ini bukan saja menjadi tanda bahwa Indonesia sudah mampu menunjukkan prestasinya yang selama ini dipendam oleh berbagai masalah. Terutama dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak, sarana-prasarana yang tidak menunjang, perhatian masyarakat kepada olahraga yang terbatas pada trend semata hingga tidak yakinnya rakyat kepada olahraga sebagai mata pencaharian utama mereka.
Hal ini sebenarnya sudah harus disadari dengan segera oleh semua pihak. Pemerintah baik pusat dan daerah juga punya peran besar dalam melakukan perubahan ini. Salah satunya dengan memberikan perhatian yang cukup kepada para atlet mereka.
Banyak sekali keluhan yang muncul dari para atlet, mulai dari tidak adanya sokongan dana kepada para pahlawan olahraga ini hingga tidak adanya kehadiran moral saat para atlet sedang berjuang membela merah putih.
Lihat saja salah satu atlet atletik dari Maluku, Alvina Tehupeijory yang dengan terbuka menyatakan dirinya tidak mewakili Pemerintah Provinsi Maluku. Hal ini diungkapkan karena dirinya sama sekali tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah daerah melalui Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Maluku meski dirinya sudah memberikan prestasi yang membanggakan dalam beberapa waktu terakhir.
Sementara atlet-atlet senior lainnya, lihat saja Denny Thios mantan atlet angkat besi juara dunia di Inggris dan Swedia yang kini bekerja sebagai tukang las di Makassar. Wempi Wungkau binaragawan yang merah emas di SEA Games 1989 hingga 1997 yang kini bekerja sebagai pengawal pribadi. Leni Haini mantan atlet perahu naga yang meraih emas pada SEA Games 1997 dan 1999 yang kini menjadi buruh cuci. Serta Suharto sang perebut emas SEA Games 1079 dari cabor sepeda yang kini menjadi penarik becak.
Selanjutnya atlit-atlit ternama seperti Tony Gunawan, Mia Audina, Halim Haryanto dan Albertus Susanto Njoto lebih memilih pindah kewarganegaraan dibanding menjadi warga Indonesia. Mereka merupakan atlet peraih mendali di Olimpiade yang merasakan secara nyata ketidakperhatian pemerintah.
Hal ini diakui mantan atlet Susi Susanti yang secara terbuka menyatakan perhatian negara merupakan faktor utama kepindahan mereka ke Amerika Serikat. Kepada Merdeka.com ia mengatakan pengelolaan dana kucuran pemerintah dan swasta yang terkesan.
Tidak hanya itu saja, beberapa atlet cacat pun diperlakukan sama. Sebut saja Monang Siagian yang meraih emas pada beberapa kejuaraan dunia tenis lapangan pada tahun 1995 yang kini hanya bekerja sebagai penjual rumah boneka. Djoko Sulasmono yang meraih emas angkat besi pada kejuaraan internasional pada tahun 1990 yang kini menjadi pengamen di Jawa Tengah. Kemudian Rohimin atlet lari dan tolak peluru yang meraih emas pada Porcanas 1993 yang kini bekerja sebagai juru parkir di swalayan.
Ini sebenarnya menjadi kekhawatiran yang mendalam yang menunjukkan betapa pemerintah dan semua elemen di negara ini harus memberikan perhatian kepada mereka yang telah berjasa mengharumkan nama negara tanpa meminta diperlakukan secara khusus. Sebab satu hal yang secara tersirat mereka ungkapkan adalah rasa sedih diabaikan pasca menjadi orang yang bertanggung jawab menyebabkan Merah Putih berkibar dan Indonesia Raya dikumandangkan.
Sementara itu secara gamblang mereka juga meminta agar perhatian pemerintah ini tidak semata ditujukan kepada mereka, namun juga diberikan secara berkelanjutan kepada generasi berikutnya dan yang akan datang. Sebab uang yang diberikan saat itu akan habis dalam waktu singkat, dan pujian yang dielukkan hanya sirna dalam sekejap mata dan telinga.
Banyak hal yang sebenarnya ingin dihaturkan oleh para atlit tersebut. Namun jika kita ingin meminta pemerintah memperhatikan seluruh atlet, sebenarnya adalah hal yang kurang tepat. Sebab seluruh pihak memiliki tanggung jawab yang sama dalam menyokong para atlet, entah itu dari pengusaha hingga para hadirin yang menyaksikan pertandingan.
Sebab lihat saja apa yang dilakukan China, pemerintah mereka tidak saja memberikan perhatian penuh kepada para atlit, namun tiap keluarga memberikan porsi besar dalam dunia olahraga guna mengkaderisasi generasi muda sebagai atlet-atlet tunas baru yang mampu menjadi juara. Bukan saja di tingkat Asia, namun juga tingkat dunia.
Hal itu terwujud dari besarnya jumlah atlet muda yang mengikuti Asean Games lalu, porsi mereka lebih besar dibandingkan seniornya, menurut bola.com dari 845 atlet ada sekitar 631-nya merupakan pemain muda yang siap mengasah diri menjelang Olimpiade Tokyo 2020.
Sementara di Indonesia, kita masih butuh waktu banyak untuk melakukan regenerasi secara terstruktur. Pemerintah melalui Presiden Jokowi saat ini mulai giat melakukan perombakan, perubahan yang secara bertahap menuju ke arah yang lebih baik.
Kepada CNN Indonesia, veteran atlet Angkat Besi, Eko Yuli Iriawan mengakui adanya perubahan itu. Mulai dari bonus berupa uang, perhatian jaminan masa depan dan masa tua para atletnya. Mulai dari Olimpiade hingga Asean Games dan SEA Games diperhatikan.
Perhatian ini akan menjadi energi positif yang mampu mengangkat harga diri para atlet, yang masih skeptis dengan dukungan negara dan rakyat. Sebab penderitaan mereka sudah berlangsung cukup lama dan jika hal ini diwujudkan maka generasi muda lainnya akan memberikan porsi besar untuk mengambil komitmen sebagai olahragawan dan olahragawati yang mampu mengukir prestasi sampai ke tingkat dunia, sehingga Energi Indonesia sebagai Energi Asia semakin terwujud. (Redaksi)