Kodam Cenderawasih Bantah Gunakan Bom Fosfor di Nduga
pada tanggal
23 Desember 2018
JAYAPURA, LELEMUKU.COM - Kodam XVII /Cenderawasih menegaskan bahwa aparat militer Indonesia tidak pernah memiliki dan menggunakan bom fosfor, dan senjata artileri dan pesawat tempur dalam operasi di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua.
“TNI tidak pernah dan tidak akan mau memiliki, dan menggunakan senjata kimia pembunuh massal, termasuk bom fosfor. Apalagi di Papua kami tidak memiliki senjata artileri dan pesawat tempur,” ujar Kapendam XVII Cendrawasih Kolonel Inf. Muhammad Aidi saat dikontak VOA melalui telepon Sabtu pagi (22/12),
Pernyataan ini disampaikan untuk membantah laporan surat kabar Australia “The Saturday Paper” melaporkan bahwa militer Indonesia menggunakan bom fosfor untuk mengejar pelaku penembakan pekerja konstruksi PT. Istaka Karya di Nduga, Papua, 2 Desember lalu.
Laporan berjudul“Chemical Weapons Dropped on Papua”yang diterbitkan surat kabar itu hari Sabtu, merinci serangan di pegunungan Papua Barat dan mengutip keterangan beberapa warga dan sumber militer tentang penggunaan bom fosfor.
Ada pula foto seorang korban bom fosfor dengan luka menganga di bagian paha, meski tidak menyebut identitas korban. Surat kabar itu mengatakan foto diambil antara tanggal 4 dan 15 Desember di sebuah desa di Mbua, kabupaten Nduga, Papua. Sedikitnya tujuh orang dilaporkan tewas, sementara ratusan warga lainnya melarikan diri ke pegunungan.
Bom fosfor adalah bom yang mengandung bahan kimia asam fosfat yang biasa digunakan untuk membuat pupuk, produk pembersih dan produk lain, termasuk racun tikus. Fosfor dapat menyebabkan luka bakar jika bersentuhan dengan kulit terbuka, dan paparan dalam jumlah besar akan mengakibatkan kematian. Sementara asap fosfor dapat menimbulkan iritasi mata, selaput lendir hidung dan saluran pernafasan.
Meskipun undang-undang kemanusiaan internasional tidak secara khusus melarang penggunaan senjata yang mengandung fosfor, tidak serta merta berarti senjata ini dapat digunakan.Menurut Komite Palang Merah Internasional ICRC, legalitas penggunaan senjata semacam ini tetap harus dipertimbangkan. Dalam situsnya ICRC mengutipProtocol III of the Convention on Certain Conventional Weaponsatau Protokol III Konvensi Senjata Konvensional Tertentu, yang melarang penggunaan untuk tujuan militer di daerah konsentrasi warga sipil. (VOA)
“TNI tidak pernah dan tidak akan mau memiliki, dan menggunakan senjata kimia pembunuh massal, termasuk bom fosfor. Apalagi di Papua kami tidak memiliki senjata artileri dan pesawat tempur,” ujar Kapendam XVII Cendrawasih Kolonel Inf. Muhammad Aidi saat dikontak VOA melalui telepon Sabtu pagi (22/12),
Pernyataan ini disampaikan untuk membantah laporan surat kabar Australia “The Saturday Paper” melaporkan bahwa militer Indonesia menggunakan bom fosfor untuk mengejar pelaku penembakan pekerja konstruksi PT. Istaka Karya di Nduga, Papua, 2 Desember lalu.
Laporan berjudul“Chemical Weapons Dropped on Papua”yang diterbitkan surat kabar itu hari Sabtu, merinci serangan di pegunungan Papua Barat dan mengutip keterangan beberapa warga dan sumber militer tentang penggunaan bom fosfor.
Ada pula foto seorang korban bom fosfor dengan luka menganga di bagian paha, meski tidak menyebut identitas korban. Surat kabar itu mengatakan foto diambil antara tanggal 4 dan 15 Desember di sebuah desa di Mbua, kabupaten Nduga, Papua. Sedikitnya tujuh orang dilaporkan tewas, sementara ratusan warga lainnya melarikan diri ke pegunungan.
Bom fosfor adalah bom yang mengandung bahan kimia asam fosfat yang biasa digunakan untuk membuat pupuk, produk pembersih dan produk lain, termasuk racun tikus. Fosfor dapat menyebabkan luka bakar jika bersentuhan dengan kulit terbuka, dan paparan dalam jumlah besar akan mengakibatkan kematian. Sementara asap fosfor dapat menimbulkan iritasi mata, selaput lendir hidung dan saluran pernafasan.
Meskipun undang-undang kemanusiaan internasional tidak secara khusus melarang penggunaan senjata yang mengandung fosfor, tidak serta merta berarti senjata ini dapat digunakan.Menurut Komite Palang Merah Internasional ICRC, legalitas penggunaan senjata semacam ini tetap harus dipertimbangkan. Dalam situsnya ICRC mengutipProtocol III of the Convention on Certain Conventional Weaponsatau Protokol III Konvensi Senjata Konvensional Tertentu, yang melarang penggunaan untuk tujuan militer di daerah konsentrasi warga sipil. (VOA)