12 Unit Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Beroperasi pada 2019
pada tanggal
26 Februari 2019
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Kapasitas pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) dipastikan meningkat seiring bakal beroperasinya 12 (dua belas) Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) terhitung sejak tahun 2019 hingga 2022 mendatang. Kepastian ini didapat dari Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar saat mengikuti Rapat Kerja Nasional Gerakan Indonesia Bersih di Jakarta, Kamis (21/2).
Arcandra merinci pembangkit tersebut akan beroperasi di 12 wilayah di Indonesia dengan waktu operasional yang berbeda-beda. Sesuai rencana, 12 pembangkit tersebut akan mampu menghasilkan listrik hingga 234 Megawatt (MW) dari sekitar 16 ribu ton sampah per hari.
"Total seluruh rencana pembangkit ini setidaknya bisa mengolah sampah per hari sekitar 16 ribu ton, ini cukup besar untuk kemudian menjadi listrik yang akan dibeli PLN," kata Arcandra.
Surabaya (10 MW) akan menjadi kota pertama yang mengoperasikan pembangkit listik berbasis biomassa tersebut pada tahun 2019 dari volume sampah sebesar 1.500 ton/hari. "Investasi yang dikucurkan sekitar USD 49,86 juta," jelas Arcandra.
Lokasi PLTSa kedua di tahun yang sama berada di Bekasi. PLTSa tersebut punya investasi USD 120 juta dengan daya 9 MW. Meski demikian, PLTSa tersebut masih menunggu persetujuan studi kelayakan dari PT. PLN sehingga ada kemungkinan beroperasi tahun 2021.
Sementara pada tahun 2021 bakal ada tiga pembangkit sampah yang berlokasi di Surakarta (10 MW), Palembang (20 MW) dan Denpasar (20 MW). Total investasi untuk menghasilkan setrum dari tiga lokasi yang mengelola sampah sebanyak 2.800 ton/hari sebesar USD 297,82 juta.
Selang setahun, tahun 2022, pengoperasian PLTSa akan serentak berada di 5 (lima) kota dengan investasi, volume sampah dan kemampuan kapasitas yang bervariasi. Kelima kota tersebut antara lain DKI Jakarta sebesar 38 MW dengan investasi USD 345,8 juta, Bandung (29 MW - USD 245 juta), Makassar, Manado dan Tangerang Selatan dengan masing-masing kapasitas sebesar 20 MW dan investasi yang sama, yaitu USD 120 juta.
"Perbedaan biaya (inivestasi) itu tergantung teknologinya seperti apa, kapan dimulai pekerjaan, volume dan jenis sampah," kata Arcandra.
Kehadiran pembangunan PLTSa Sampah tak lepas dari terbitnya Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan program Pembangunan PLTSa. Di dalam aturan tersebut, Pemerintah Daerah bisa menugaskan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), BUMN, atau swasta untuk mengembangkan PLTSa dan nanti akan mendapatkan bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) kepada pemda maksimal Rp500 ribu per ton sampah.
"Jadi Bapak/Ibu bisa kalau cukup sampahnya untuk dijadikan waste to energy. Silahkan ajukan dengan mekanisme seperti itu," jelas Arcandra.
Terkait harga jual beli, Pemerintah akan menetapkan formula dan harga jual beli yang dipakai untuk dasar perjanjian jual beli listrik antara PLN dan pengembang. "Sebelum Perpres ini ada, jual beli listrik sampah memakai skema feed in tariff dimana tarif ditetapkan sampai USD 17 - 18 sen per kilo Watt Hour (KWh). Padahal harga jual PLN untuk golongan tertentu sangat jauh di bawah USD 17 sen," urai Arcandra.
Kehadiran Perpres ini, imbuh Arcandra, bisa menetapkan nilai keekonomian jauh di bawah USD 17 sen, sekitar USD 13 sen KWh dengan syarat penambahan tapping fee yang harus disediakan oleh Pemda sesuai dengan kemampuan finansial mereka. Sisa kekurangan tapping fee inilah yang nantinya akan dibayar oleh Pemerintah Pusat.
Pengembangan PLTSa juga didukung oleh perubahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019 - 2028 yang diluncurkan awal tahun ini. Sesuai peta jalan itu, pembangkit EBT bisa dibangun di luar perencanaan RUPTL asal kapasitasnya di bawah 10 MW. "Ini jalur khusus sesuai diktum kelima," pungkasnya. (KESDM)
Arcandra merinci pembangkit tersebut akan beroperasi di 12 wilayah di Indonesia dengan waktu operasional yang berbeda-beda. Sesuai rencana, 12 pembangkit tersebut akan mampu menghasilkan listrik hingga 234 Megawatt (MW) dari sekitar 16 ribu ton sampah per hari.
"Total seluruh rencana pembangkit ini setidaknya bisa mengolah sampah per hari sekitar 16 ribu ton, ini cukup besar untuk kemudian menjadi listrik yang akan dibeli PLN," kata Arcandra.
Surabaya (10 MW) akan menjadi kota pertama yang mengoperasikan pembangkit listik berbasis biomassa tersebut pada tahun 2019 dari volume sampah sebesar 1.500 ton/hari. "Investasi yang dikucurkan sekitar USD 49,86 juta," jelas Arcandra.
Lokasi PLTSa kedua di tahun yang sama berada di Bekasi. PLTSa tersebut punya investasi USD 120 juta dengan daya 9 MW. Meski demikian, PLTSa tersebut masih menunggu persetujuan studi kelayakan dari PT. PLN sehingga ada kemungkinan beroperasi tahun 2021.
Sementara pada tahun 2021 bakal ada tiga pembangkit sampah yang berlokasi di Surakarta (10 MW), Palembang (20 MW) dan Denpasar (20 MW). Total investasi untuk menghasilkan setrum dari tiga lokasi yang mengelola sampah sebanyak 2.800 ton/hari sebesar USD 297,82 juta.
Selang setahun, tahun 2022, pengoperasian PLTSa akan serentak berada di 5 (lima) kota dengan investasi, volume sampah dan kemampuan kapasitas yang bervariasi. Kelima kota tersebut antara lain DKI Jakarta sebesar 38 MW dengan investasi USD 345,8 juta, Bandung (29 MW - USD 245 juta), Makassar, Manado dan Tangerang Selatan dengan masing-masing kapasitas sebesar 20 MW dan investasi yang sama, yaitu USD 120 juta.
"Perbedaan biaya (inivestasi) itu tergantung teknologinya seperti apa, kapan dimulai pekerjaan, volume dan jenis sampah," kata Arcandra.
Kehadiran pembangunan PLTSa Sampah tak lepas dari terbitnya Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan program Pembangunan PLTSa. Di dalam aturan tersebut, Pemerintah Daerah bisa menugaskan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), BUMN, atau swasta untuk mengembangkan PLTSa dan nanti akan mendapatkan bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) kepada pemda maksimal Rp500 ribu per ton sampah.
"Jadi Bapak/Ibu bisa kalau cukup sampahnya untuk dijadikan waste to energy. Silahkan ajukan dengan mekanisme seperti itu," jelas Arcandra.
Terkait harga jual beli, Pemerintah akan menetapkan formula dan harga jual beli yang dipakai untuk dasar perjanjian jual beli listrik antara PLN dan pengembang. "Sebelum Perpres ini ada, jual beli listrik sampah memakai skema feed in tariff dimana tarif ditetapkan sampai USD 17 - 18 sen per kilo Watt Hour (KWh). Padahal harga jual PLN untuk golongan tertentu sangat jauh di bawah USD 17 sen," urai Arcandra.
Kehadiran Perpres ini, imbuh Arcandra, bisa menetapkan nilai keekonomian jauh di bawah USD 17 sen, sekitar USD 13 sen KWh dengan syarat penambahan tapping fee yang harus disediakan oleh Pemda sesuai dengan kemampuan finansial mereka. Sisa kekurangan tapping fee inilah yang nantinya akan dibayar oleh Pemerintah Pusat.
Pengembangan PLTSa juga didukung oleh perubahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019 - 2028 yang diluncurkan awal tahun ini. Sesuai peta jalan itu, pembangkit EBT bisa dibangun di luar perencanaan RUPTL asal kapasitasnya di bawah 10 MW. "Ini jalur khusus sesuai diktum kelima," pungkasnya. (KESDM)