Aktivis Lingkungan Minta Moratorium Pemberian Izin Kehutanan Dilanjutkan
pada tanggal
17 Februari 2019
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Debat kedua antara calon presiden petahana Joko Widodo dan kandidat Prabowo Subianto akan berlangsung di Jakarta, Minggu (17/2) malam. Tema debat kali ini adalah mengenai sumber daya alam, pangan, energi, infrastruktur, dan lingkungan hidup.
Koalisi Golongan Hutan, yang terdiri dari beragam organisasi nirlaba pemantau lingkungan hidup, meminta kedua calon presiden, yakni Joko Widodo dan Prabowo, untuk menyampaikan gagasan dan solusi yang konkret terhadap longgarnya sistem izin pengelolaan hutan di Indonesia.
Dalam jumpa pers di kantor Walhi di Jakarta, Jumat (15/2), koordinator desk politik Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Khalisah Khalid mengatakan, izin pengelolaan hutan di Indonesia kerap "diobral" untuk dijadikan Hutan Tanaman Industri (HTI). Dia menyayangkan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang masih mengeluarkan izin pembukaan kebun sawit.
Menurutnya, hal tersebut bisa menjadi preseden yang buruk dalam konteks tata kelola sumber daya dalam di Indonesia.
“Jadi ada satu kebijakan yang sudah dikeluarkan, kebijakan moratorium perkebunan sawit yang didalamnya juga ada evaluasi terhadap perizinan. Tapi kemudian KLHK mengeluarkan SK pelepasan kawasan hutan tunuk perkebunan sawit. Ini yang kami sayangkan,” kata Khalisah Khalid.
“Artinya terjadi inkonsistensi antara pembenahan tata kelola sumber daya alam dan upaya pemulihan yang akan dilakukan oleh pemerintah, dengan kebijakan ekonomi dengan memberikan kembali penguasaan tata kelola sawit terutama kepada korporasi,” ujarnya menambahkan.
Khalisah menambahkan izin pengelolaan hutan sudah menjadi persoalan yang serius karena terkait politik oligarki di setiap pemilihan umum. Korporasi umumnya memberikan dana politik agar mendapatkan ijin pengelolaan hutan.
Dalam catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2017, tambahnya, banyak perusahaan swasta yang mendapatkan akses untuk membangun HTI. Pada pemerintahan Joko Widodo, contohnya, ada 797.000 hektare yang mendapatkan izin dijadikan kawasan hutan untuk industri kertas.
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menegaskan pihaknya ingin menyampaikan kepada kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo-Ma'ruf Amin serta Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, bahwa isu lingkungan sangat penting untuk Indonesia ke depan.
Leonard mengatakan pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup itu jauh lebih penting untuk dibicarakan ketimbang infrastruktur, karena yang menentukan hajat hidup orang banyak adalah kualitas lingkungan hidup. Menurut Leonard, Indonesia mengalami kebakaran hutan terbesar di dunia pada 2015 dan menjadikan Indonesia termasuk dalam lima negara penyumbang emisi karbon terbesar sejagat. Ironisnya, masih banyak persoalan tersisa sejak kebakaran hutan pada 2015 tersebut, terutama soal tanggung jawab korporasi.
“Ini korporasi-korporasi ada sebelas kasus perdata yang sebenarnya totalnya mereka harus bayar sampai Rp 18,9 triliun itu belum ada yang bayar. Walaupun sudah diputus pengadilan. Sebenarnya kami ingin mengingatkan kepada siapapun nanti hyang akan menjadi presiden Indonesia, itu sesuatu yang harus ditagih tanggung jawabnya,” ujar Leonard.
Leonard menekankan ini merupakan persoalan besar dimana korporasi merusak begitu besar hutan di Indonesia, sehinnga menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, tapi mereka belum bertanggung jawab termasuk dalam hal pemulihan lingkungan.
Aktivis lingkungan hidup lainnya, Ririn Sefsani, mengatakan masalah utamanya adalah deforestasi dan investasi ekstraktif yang merusak, serta tata ruang dan pemberian izin yang saling tumpang tindih atau bahkan melampaui dari yang seharusnya.
Dalam konteks moratorium pemberian izin kehutanan, pemerintah sejatinya sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Moratorium Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit dan juga di sektor gambut. Pemerintahan mendatang diharapkan tetap menjalankan kebijakan ini dan kalau perlu dijadikan sebagai undang-undang.
“Kenapa ini menjadi sangat penting? Masyarakat kan tidak makan sawit. Penting untuk menjaga sumber pangan kita. Bagaimana ketika izin ini dihentikan akan ada banyak lahan yang dialihfungsikan untuk pengembangan pangan kita. Ini tidak hanya akan menjawab tantangan kita dalam memenuhi pangan, juga beberapa isu yang terkait dengan bebarapa wilayah terjadi krisis pangan,” kata Ririn.
Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia Nuly Nazlia menyatakan pihaknya sangat mendukung pengembangan energi terbarukan dengan target mencapai 23 persen pada 2025, tapi sampai saat ini baru 12,4 persen yang terwujud. Untuk mencapai program tersebut, pemerintah mempunyai program unggulan, yaitu biodiesel. Komoditas biodiesel utama Indonesia adalah kelapa sawit dan kelapa sawit itu sangat erat kaitannya dengan isu pengalihan fungsi lahan.
Jika biodiesel ini menjadi program wajib bagi presiden terpilih mendatang untuk mewujudkan kebutuhan energi terbarukan, maka pada 2025 Indonesia membutuhkan 11,5 juta kiloliter atau setara dengan 10,6 juta ton minyak sawit. Alhasil, akan terjadi peningkatan kebutuhan lahan sawit sekitar empat juta hektare.
“Kedua pasangan calon perlu melihat kembali program unggulannya, memoperhatikan isu pengalihan lahan. Kami sangat mendukung moratorium. Menurut kami, moratorium itu perlu diteruskan mungkin waktunya hingga tidak terbatas. Yang perlu dilakukan adalah peningkatan produktivitas bukan untuk memperluas lahannya,” ujar Nuly menambahkan.
Selain itu, lanjut Nuly, pemerintah perlu memperhatikan isu keberlangsungan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan ini menyangkut tata kelola. (VOA)
Koalisi Golongan Hutan, yang terdiri dari beragam organisasi nirlaba pemantau lingkungan hidup, meminta kedua calon presiden, yakni Joko Widodo dan Prabowo, untuk menyampaikan gagasan dan solusi yang konkret terhadap longgarnya sistem izin pengelolaan hutan di Indonesia.
Dalam jumpa pers di kantor Walhi di Jakarta, Jumat (15/2), koordinator desk politik Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Khalisah Khalid mengatakan, izin pengelolaan hutan di Indonesia kerap "diobral" untuk dijadikan Hutan Tanaman Industri (HTI). Dia menyayangkan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang masih mengeluarkan izin pembukaan kebun sawit.
Menurutnya, hal tersebut bisa menjadi preseden yang buruk dalam konteks tata kelola sumber daya dalam di Indonesia.
“Jadi ada satu kebijakan yang sudah dikeluarkan, kebijakan moratorium perkebunan sawit yang didalamnya juga ada evaluasi terhadap perizinan. Tapi kemudian KLHK mengeluarkan SK pelepasan kawasan hutan tunuk perkebunan sawit. Ini yang kami sayangkan,” kata Khalisah Khalid.
“Artinya terjadi inkonsistensi antara pembenahan tata kelola sumber daya alam dan upaya pemulihan yang akan dilakukan oleh pemerintah, dengan kebijakan ekonomi dengan memberikan kembali penguasaan tata kelola sawit terutama kepada korporasi,” ujarnya menambahkan.
Khalisah menambahkan izin pengelolaan hutan sudah menjadi persoalan yang serius karena terkait politik oligarki di setiap pemilihan umum. Korporasi umumnya memberikan dana politik agar mendapatkan ijin pengelolaan hutan.
Dalam catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2017, tambahnya, banyak perusahaan swasta yang mendapatkan akses untuk membangun HTI. Pada pemerintahan Joko Widodo, contohnya, ada 797.000 hektare yang mendapatkan izin dijadikan kawasan hutan untuk industri kertas.
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menegaskan pihaknya ingin menyampaikan kepada kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo-Ma'ruf Amin serta Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, bahwa isu lingkungan sangat penting untuk Indonesia ke depan.
Leonard mengatakan pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup itu jauh lebih penting untuk dibicarakan ketimbang infrastruktur, karena yang menentukan hajat hidup orang banyak adalah kualitas lingkungan hidup. Menurut Leonard, Indonesia mengalami kebakaran hutan terbesar di dunia pada 2015 dan menjadikan Indonesia termasuk dalam lima negara penyumbang emisi karbon terbesar sejagat. Ironisnya, masih banyak persoalan tersisa sejak kebakaran hutan pada 2015 tersebut, terutama soal tanggung jawab korporasi.
“Ini korporasi-korporasi ada sebelas kasus perdata yang sebenarnya totalnya mereka harus bayar sampai Rp 18,9 triliun itu belum ada yang bayar. Walaupun sudah diputus pengadilan. Sebenarnya kami ingin mengingatkan kepada siapapun nanti hyang akan menjadi presiden Indonesia, itu sesuatu yang harus ditagih tanggung jawabnya,” ujar Leonard.
Leonard menekankan ini merupakan persoalan besar dimana korporasi merusak begitu besar hutan di Indonesia, sehinnga menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, tapi mereka belum bertanggung jawab termasuk dalam hal pemulihan lingkungan.
Aktivis lingkungan hidup lainnya, Ririn Sefsani, mengatakan masalah utamanya adalah deforestasi dan investasi ekstraktif yang merusak, serta tata ruang dan pemberian izin yang saling tumpang tindih atau bahkan melampaui dari yang seharusnya.
Dalam konteks moratorium pemberian izin kehutanan, pemerintah sejatinya sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Moratorium Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit dan juga di sektor gambut. Pemerintahan mendatang diharapkan tetap menjalankan kebijakan ini dan kalau perlu dijadikan sebagai undang-undang.
“Kenapa ini menjadi sangat penting? Masyarakat kan tidak makan sawit. Penting untuk menjaga sumber pangan kita. Bagaimana ketika izin ini dihentikan akan ada banyak lahan yang dialihfungsikan untuk pengembangan pangan kita. Ini tidak hanya akan menjawab tantangan kita dalam memenuhi pangan, juga beberapa isu yang terkait dengan bebarapa wilayah terjadi krisis pangan,” kata Ririn.
Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia Nuly Nazlia menyatakan pihaknya sangat mendukung pengembangan energi terbarukan dengan target mencapai 23 persen pada 2025, tapi sampai saat ini baru 12,4 persen yang terwujud. Untuk mencapai program tersebut, pemerintah mempunyai program unggulan, yaitu biodiesel. Komoditas biodiesel utama Indonesia adalah kelapa sawit dan kelapa sawit itu sangat erat kaitannya dengan isu pengalihan fungsi lahan.
Jika biodiesel ini menjadi program wajib bagi presiden terpilih mendatang untuk mewujudkan kebutuhan energi terbarukan, maka pada 2025 Indonesia membutuhkan 11,5 juta kiloliter atau setara dengan 10,6 juta ton minyak sawit. Alhasil, akan terjadi peningkatan kebutuhan lahan sawit sekitar empat juta hektare.
“Kedua pasangan calon perlu melihat kembali program unggulannya, memoperhatikan isu pengalihan lahan. Kami sangat mendukung moratorium. Menurut kami, moratorium itu perlu diteruskan mungkin waktunya hingga tidak terbatas. Yang perlu dilakukan adalah peningkatan produktivitas bukan untuk memperluas lahannya,” ujar Nuly menambahkan.
Selain itu, lanjut Nuly, pemerintah perlu memperhatikan isu keberlangsungan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan ini menyangkut tata kelola. (VOA)