DPR RI Dorong Kesamaan Political Will Bahas RUU EBT
pada tanggal
18 Februari 2019
TANGERANG, LELEMUKU.COM - Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) Agus Hermanto menyatakan, pengelolaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sangat penting. Untuk menguatkan penggunaan renewable energy atau energi terbarukan, perlu adanya landasan regulasi. DPR RI, pemerintah, seluruh pengguna energi, hingga pelaku usaha memiliki political will yang sama agar Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) dapat berjalan sesuai harapan dan target yang ada.
Hal itu diungkapkan Agus usai memberikan Keynote Speech dalam Focus Group Discussion (FGD) tentang RUU EBT yang diselenggarakan Badan Keahlian (BK) DPR RI dengan menghadirkan beberapa pakar, organisasi dan pelaku usaha di dalamnya, di Tangerang, Banten, Jumat (15/2). Turut hadir dalam FGD tersebut Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar. Agus menekankan, political will dari seluruh pihak ini agar kebutuhan listrik dalam negeri dapat terealisasi.
“Seperti kita ketahui, listrik dalam negeri masih sangat butuh dan sampai saat ini mayoritas masih disuplai energi fosil. Maka untuk lebih menguatkan penggunaan renewable energy kita harus ada landasan legislasinya, yaitu RUU EBT yang kita bahas ini. Memang harus ada hal-hal yang difokuskan, karena untuk membahas EBT kita harus mempunyai political will yang sama di seluruh rakyat Indonesia, baik itu dari DPR, pemerintah, pengusaha dan seluruh pengguna itu harus mempunyai political will yang sama,” papar Agus.
Agus menambahkan, RUU EBT dirasa sangat penting karena terjadi kekosongan legislasi di atasnya. Indonesia sudah memiliki UU Kelistrikan, UU Migas, dan UU Panas Bumi, sehingga RUU EBT ini dianggap untuk melengkapi UU tersebut. Sejauh ini, Agus menjelaskan semua persyaratan administratif RUU EBT sudah dilakukan dan sudah masuk dalam Prolegnas 2019. Jika deskripsi yang dibuat oleh Tim Perumus UU BK DPR RI sudah selesai dibuat, maka akan diserahkan kepada Komisi VII DPR RI untuk selanjutnya diberikan kepada pemerintah, sehingga September nanti bisa diketok menjadi UU.
Hal yang nantinya mungkin akan menjadi perdebatan alot menurut legislator Partai Demokrat itu adalah soal pembahasan mengenai insentif, apalagi yang menyangkut fiskal insentif. Meskipun menurut Agus yang dimaksud dengan insentif tidak hanya berbentuk fiskal, namun juga ada berbagai insentif lainnya. Dan yang terpenting menurut Agus seluruh pihak harus memiliki political will yang sama, termasuk masyarakat.
“Misalnya di dalam suatu daerah, masyarakatnya juga harus diberikan pengertian bahwa geothermal ini penting dibangun, supaya kita mempunyai energi yang mandiri. Ini juga harus diperlukan hal-hal yang seperti itu. Sehingga di dalam pembicaraan insentif yang nanti pasti alot, karena yang diminta tentunya harus banyak. Kalau enggak banyak, sekarang pengusaha-pengusaha energi terbarukan ya tentunya enggak minat donk. Dan ini harus tergalikan dan harus terlaksana,” tandas legislator dapil Jawa Tengah itu.
Sementara itu, Director Executive Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Paul Butarbutar yang turut menjadi salah satu narasumber dalam FGD RUU EBT tersebut mengapresiasi DPR RI yang berkeinginan untuk menggulirkan RUU EBT. Dirinya berharap DPR RI dapat mengawal pembahasan RUU EBT dan regulasi-regulasi lain di bawahnya, sehingga pencapaian target energi terbarukan dalam forum energi Indonesia bisa tercapai. Itu yang utama dan terpenting menurutnya.
Selain itu, masih terkait pengembangan energi, Paul memaparkan dari target 23 persen pada tahun 2018, target yang dicapai pemerintah hanya terwujud 8 persen dari energi primer. Padahal menurutnya untuk dapat mengembangkan suatu project energy terbarukan itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Kenaikan pun dirasa kurang signifikan, karena tahun 2017 hanya tercapai 7,7 persen.
“Bayangkan juga bagaimana dalam waktu kurang dari 7 tahun bisa mengembangkan sampai 23 persen ini yang menjadi masalah. Kalau tidak di-cover oleh UU, dan tidak ada UU di atasnya yang bisa mendorong investasi energi terbarukan, untuk sekarang bisa saya katakan bahwa target itu tidak akan tercapai. Saya ini bukan hanya karena pesimis saja, tapi memang realistisnya enggak akan tercapai karena besarnya target itu,” tutup Paul. (DPRRI)
Hal itu diungkapkan Agus usai memberikan Keynote Speech dalam Focus Group Discussion (FGD) tentang RUU EBT yang diselenggarakan Badan Keahlian (BK) DPR RI dengan menghadirkan beberapa pakar, organisasi dan pelaku usaha di dalamnya, di Tangerang, Banten, Jumat (15/2). Turut hadir dalam FGD tersebut Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar. Agus menekankan, political will dari seluruh pihak ini agar kebutuhan listrik dalam negeri dapat terealisasi.
“Seperti kita ketahui, listrik dalam negeri masih sangat butuh dan sampai saat ini mayoritas masih disuplai energi fosil. Maka untuk lebih menguatkan penggunaan renewable energy kita harus ada landasan legislasinya, yaitu RUU EBT yang kita bahas ini. Memang harus ada hal-hal yang difokuskan, karena untuk membahas EBT kita harus mempunyai political will yang sama di seluruh rakyat Indonesia, baik itu dari DPR, pemerintah, pengusaha dan seluruh pengguna itu harus mempunyai political will yang sama,” papar Agus.
Agus menambahkan, RUU EBT dirasa sangat penting karena terjadi kekosongan legislasi di atasnya. Indonesia sudah memiliki UU Kelistrikan, UU Migas, dan UU Panas Bumi, sehingga RUU EBT ini dianggap untuk melengkapi UU tersebut. Sejauh ini, Agus menjelaskan semua persyaratan administratif RUU EBT sudah dilakukan dan sudah masuk dalam Prolegnas 2019. Jika deskripsi yang dibuat oleh Tim Perumus UU BK DPR RI sudah selesai dibuat, maka akan diserahkan kepada Komisi VII DPR RI untuk selanjutnya diberikan kepada pemerintah, sehingga September nanti bisa diketok menjadi UU.
Hal yang nantinya mungkin akan menjadi perdebatan alot menurut legislator Partai Demokrat itu adalah soal pembahasan mengenai insentif, apalagi yang menyangkut fiskal insentif. Meskipun menurut Agus yang dimaksud dengan insentif tidak hanya berbentuk fiskal, namun juga ada berbagai insentif lainnya. Dan yang terpenting menurut Agus seluruh pihak harus memiliki political will yang sama, termasuk masyarakat.
“Misalnya di dalam suatu daerah, masyarakatnya juga harus diberikan pengertian bahwa geothermal ini penting dibangun, supaya kita mempunyai energi yang mandiri. Ini juga harus diperlukan hal-hal yang seperti itu. Sehingga di dalam pembicaraan insentif yang nanti pasti alot, karena yang diminta tentunya harus banyak. Kalau enggak banyak, sekarang pengusaha-pengusaha energi terbarukan ya tentunya enggak minat donk. Dan ini harus tergalikan dan harus terlaksana,” tandas legislator dapil Jawa Tengah itu.
Sementara itu, Director Executive Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Paul Butarbutar yang turut menjadi salah satu narasumber dalam FGD RUU EBT tersebut mengapresiasi DPR RI yang berkeinginan untuk menggulirkan RUU EBT. Dirinya berharap DPR RI dapat mengawal pembahasan RUU EBT dan regulasi-regulasi lain di bawahnya, sehingga pencapaian target energi terbarukan dalam forum energi Indonesia bisa tercapai. Itu yang utama dan terpenting menurutnya.
Selain itu, masih terkait pengembangan energi, Paul memaparkan dari target 23 persen pada tahun 2018, target yang dicapai pemerintah hanya terwujud 8 persen dari energi primer. Padahal menurutnya untuk dapat mengembangkan suatu project energy terbarukan itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Kenaikan pun dirasa kurang signifikan, karena tahun 2017 hanya tercapai 7,7 persen.
“Bayangkan juga bagaimana dalam waktu kurang dari 7 tahun bisa mengembangkan sampai 23 persen ini yang menjadi masalah. Kalau tidak di-cover oleh UU, dan tidak ada UU di atasnya yang bisa mendorong investasi energi terbarukan, untuk sekarang bisa saya katakan bahwa target itu tidak akan tercapai. Saya ini bukan hanya karena pesimis saja, tapi memang realistisnya enggak akan tercapai karena besarnya target itu,” tutup Paul. (DPRRI)