Kejutan Partai Baru: Hilang atau Terbang di 2019
pada tanggal
12 Februari 2019
YOGYAKARTA, LELEMUKU.COM - Dikenal sebagai personel duo Humania pada era 90-an, Redianto Heru Nurcahyo kini merambah politik. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi kendaraan yang dia pilih, dan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Daerah Pemilihan (Dapil) tempatnya bertarung. Meski Yogya menjadi salah satu akar keluarganya, datang sebagai Calon Legislatif (Caleg) tetap memiliki tantangan tersendiri. Setiap hari dia menghabiskan waktu berkeliling di sejumlah wilayah, dari tepi pantai hingga pegunungan untukmensosialisasikan program.
Heru mengumpamakan PSI kendaraan baru, masih segar dan tidak memiliki banyak masalah, seperti bus tua. Di kendaraan baru ini, dia menemukan kawan-kawan yang memiliki kesamaan visi. Karena itulah dia sungguh-sungguh menggarap Dapil-nya, berharap PSI mampu masuk Senayan dan memberi standar baru bekerja untuk rakyat.
“Perjuangan itu kita paham, yang kita fokuskan di Pemilu 2019 masuk. Teapi kita kan gak pernah tahu. Tetapi harus diperjuangkan dari sekarang, apakah akan masuk Parliementart Threshold di 2019 atau mungkin lebih panjang di 2024, tetapi seseorang harus melakukan itu dan dimulai dari sekarang. Toh, kita yakin apa yang kita lakukan sekarang adalah investasi untuk ke depan, jadi nggak ada yang sia-sia menurut saya. Memang butuh perjuangan saja,” kata Redianto Heru Nugroho.
Dalam pemilu 2019 ada empat partai baru turut berlaga. Keempatnya adalah PSI, Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda), dan Partai Berkarya. PSI mencoba tampil sebagai pilihan anak muda. Perindo menggenjot promosi media karena dimiliki Hary Tanoesoedibyo.
Partai Garuda relatif sepi dari publikasi, sedangkan Partai Berkarya mencuat dengan romantisme Orde Baru. Seperti peserta Pemilu yang lain, keempatnya minimal harus mampu mengumpulkan empat persen suara, setara 23 kursi di DPR RI untuk bisa bertahan.
Cermat Menjual Tema
Caleg baru di partai baru berarti dua beban di satu pundak. Heru Nurcahyo mengakui hal itu. Sebagai politisi baru, dia harus memastikan dirinya diterima pemilih. Berada di PSI yang baru hadir di gelanggang, dia sekaligus harus membantu sosialisasi partai.
Yang lebih banyak dilakukan, kata Heru, adalah pendidikan politik. Dia menyebut itu sebagai investasi masa depan yang harus dilakukan. “Seseorang harus melakukan, dan PSI mengambil peran. Kita tidak bisa menunggu pemerintah atau seseorang melakukan ini, sekecil apapun yang bisa kita lakukan, ya kita lakukan. Sejarah membuktikan, hal kecil bisa menjadi besar. Ini virus positif yang mesti kita sebarin, dan kita kejar supaya bisa lolos ke DPR. Karena kalau enggak, keterwakilan anak muda di parlemen akan mundur lagi lima tahun,” tambah Heru.
Beban itu diamini Andri Rusta, pengamat politik dari Univeritas Andalas, Padang. Terkait PSI, Sumatera Barat memegang peran penting karena nama Jeffrie Geovanie. Pengusaha sekaligus politisi asal Padang ini adalah Ketua Dewan Pembina PSI. Partai ini bahkan menyebut diri sebagai Partai Urang Awak.
Namun menurut Andri, sebagai partai baru, PSI tetap harus cermat menjual isu kampanye. Di Sumatera Barat saja, dimana Jeffrie secara pribadi memiliki pengaruh suara, PSI sampai saat ini kurang maksimal menerapkan strategi. “Hingga saat ini di Sumatera Barat masih belum cukup mampu, malah seolah kehilangan arah,” kata Andri yang juga peneliti di lembaga survei Spektrum Politika.
Andri menyarankan, PSI memperbaiki pilihan isu di level nasional. Sejauh ini, partai ini belum berhasil menjual isu-isu sentral. Identik sebagai partai anak muda, partai ini justru belum mengedepankan isu yang menarik pemililh muda. Andri memberi contoh sektor pendidikan dan lapangan pekerjaan yang bisa digarap di bawah.
“Yang dijual oleh PSI itu adalah hal-hal yang kontraproduktif, misalnya Perda Syariah. Perda yang bukan jualan untuk anak muda. Anak muda mana peduli dengan Perda Syariah atau poligami. Kalau misalnya PSI mau mengejar suara milenial, mestinya isunya adalah yang menarik bagi milenial,” kataAndri Rusta.
Beban Ambang Batas Parlemen
Meski angkanya hanya empat persen, ambang batas parlemen itu menakutkan bagi sebagian partai politik. Bukan saja yang baru, tetapi juga partai lama kelompok tengahan yang dalam Pemilu 2009 memperoleh suara kurang dari tujuh persen seperti PKS, Nasdem, PPP atau Hanura.
Pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Titin Purwaningsih menyebut, partai politik menerima dua beban sekaligus. Selain terkait ambang batas parlemen empat persen, partai politik juga terpecah konsentrasinya karena Pemilu diselenggarakan serentak, antara pemilihan presiden dan legislatif. Bukan hanya bagi partai baru, beban berat itu juga disandang partai lama.Mereka harus berkampanye untuk partai sendiri, sekaligus mendulang suara bagi Capres yang didukung.
Uniknya, meski pemain utama di lapangan, isu yang dibawa partai di tingkat lokal kalah oleh perdebatan nasional seputar Pilpres.
“Dalam Pemilu serentak, isu di tingkat lokal yang diangkat oleh calon anggota legislatif di berbagai daerah, kalah dengan isu yang terkait dengan pemilihan presiden. Kondisi ini akan berpengaruh pada perolehan suara,” kata Titin.
Dalam kondisi semacam itu, partai koalisi PDI P dan koalisi Gerindra, sebagai pengusung calon presiden cukup diuntungkan. Pada titik inilah, partai-partai baru yang tidak dikaitkan secara langsung dengan calon presiden, harus bekerja lebih keras.
Titin juga mengingatkan, budaya politik kepartaian di Indonesia yang masih kental dengan figur. Salah satu kunci permainan yang harus dimiliki partai baru, adalah menempatkan figur-figur berpengaruh di setiap daerah pemilihan. Strategi ini diyakini akan turut mendongkrak suara partai. Khusus PSI, yang menempatkan mayoritas muka baru dalam daftar Caleg-nya, menurut Titin ini adalah gebrakan baru yang butuh waktu.
“Apa yang dilakukan partai baru, ketika mereka berusaha membuat gebrakan, misalnya merekrut kaum muda dan memilih Caleg-Caleg yang belum terkooptasi oleh sistem politik yang selama ini terjadi, belum korupsi dan sebagainya, seperti di PSI, itu merupakan salah satu hal yang bagus. Tetapi kita juga perlu melihat kontestasi politik di tingkat lokal kalau kaitannya dengan pemilihan anggota legistlatif. Dalam jangka panjang, bisa saja ini merupakan langkah awal. Targetnya itu bukan 2019 tetapi Pemilu berikutnya,” kata Titin Purwaningsih.
Layaknya kendaraan baru, partai-partai baru seperti PSI memang masih harus menghadapi ujian panjang di lapangan. Jika selamat di tikungan pertama 2019 ini, bukan tidak mungkin merekalah yang harus diperhitungkan di balapan selanjutnya. (VOA)
Heru mengumpamakan PSI kendaraan baru, masih segar dan tidak memiliki banyak masalah, seperti bus tua. Di kendaraan baru ini, dia menemukan kawan-kawan yang memiliki kesamaan visi. Karena itulah dia sungguh-sungguh menggarap Dapil-nya, berharap PSI mampu masuk Senayan dan memberi standar baru bekerja untuk rakyat.
“Perjuangan itu kita paham, yang kita fokuskan di Pemilu 2019 masuk. Teapi kita kan gak pernah tahu. Tetapi harus diperjuangkan dari sekarang, apakah akan masuk Parliementart Threshold di 2019 atau mungkin lebih panjang di 2024, tetapi seseorang harus melakukan itu dan dimulai dari sekarang. Toh, kita yakin apa yang kita lakukan sekarang adalah investasi untuk ke depan, jadi nggak ada yang sia-sia menurut saya. Memang butuh perjuangan saja,” kata Redianto Heru Nugroho.
Dalam pemilu 2019 ada empat partai baru turut berlaga. Keempatnya adalah PSI, Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda), dan Partai Berkarya. PSI mencoba tampil sebagai pilihan anak muda. Perindo menggenjot promosi media karena dimiliki Hary Tanoesoedibyo.
Partai Garuda relatif sepi dari publikasi, sedangkan Partai Berkarya mencuat dengan romantisme Orde Baru. Seperti peserta Pemilu yang lain, keempatnya minimal harus mampu mengumpulkan empat persen suara, setara 23 kursi di DPR RI untuk bisa bertahan.
Cermat Menjual Tema
Caleg baru di partai baru berarti dua beban di satu pundak. Heru Nurcahyo mengakui hal itu. Sebagai politisi baru, dia harus memastikan dirinya diterima pemilih. Berada di PSI yang baru hadir di gelanggang, dia sekaligus harus membantu sosialisasi partai.
Yang lebih banyak dilakukan, kata Heru, adalah pendidikan politik. Dia menyebut itu sebagai investasi masa depan yang harus dilakukan. “Seseorang harus melakukan, dan PSI mengambil peran. Kita tidak bisa menunggu pemerintah atau seseorang melakukan ini, sekecil apapun yang bisa kita lakukan, ya kita lakukan. Sejarah membuktikan, hal kecil bisa menjadi besar. Ini virus positif yang mesti kita sebarin, dan kita kejar supaya bisa lolos ke DPR. Karena kalau enggak, keterwakilan anak muda di parlemen akan mundur lagi lima tahun,” tambah Heru.
Beban itu diamini Andri Rusta, pengamat politik dari Univeritas Andalas, Padang. Terkait PSI, Sumatera Barat memegang peran penting karena nama Jeffrie Geovanie. Pengusaha sekaligus politisi asal Padang ini adalah Ketua Dewan Pembina PSI. Partai ini bahkan menyebut diri sebagai Partai Urang Awak.
Namun menurut Andri, sebagai partai baru, PSI tetap harus cermat menjual isu kampanye. Di Sumatera Barat saja, dimana Jeffrie secara pribadi memiliki pengaruh suara, PSI sampai saat ini kurang maksimal menerapkan strategi. “Hingga saat ini di Sumatera Barat masih belum cukup mampu, malah seolah kehilangan arah,” kata Andri yang juga peneliti di lembaga survei Spektrum Politika.
Andri menyarankan, PSI memperbaiki pilihan isu di level nasional. Sejauh ini, partai ini belum berhasil menjual isu-isu sentral. Identik sebagai partai anak muda, partai ini justru belum mengedepankan isu yang menarik pemililh muda. Andri memberi contoh sektor pendidikan dan lapangan pekerjaan yang bisa digarap di bawah.
“Yang dijual oleh PSI itu adalah hal-hal yang kontraproduktif, misalnya Perda Syariah. Perda yang bukan jualan untuk anak muda. Anak muda mana peduli dengan Perda Syariah atau poligami. Kalau misalnya PSI mau mengejar suara milenial, mestinya isunya adalah yang menarik bagi milenial,” kataAndri Rusta.
Beban Ambang Batas Parlemen
Meski angkanya hanya empat persen, ambang batas parlemen itu menakutkan bagi sebagian partai politik. Bukan saja yang baru, tetapi juga partai lama kelompok tengahan yang dalam Pemilu 2009 memperoleh suara kurang dari tujuh persen seperti PKS, Nasdem, PPP atau Hanura.
Pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Titin Purwaningsih menyebut, partai politik menerima dua beban sekaligus. Selain terkait ambang batas parlemen empat persen, partai politik juga terpecah konsentrasinya karena Pemilu diselenggarakan serentak, antara pemilihan presiden dan legislatif. Bukan hanya bagi partai baru, beban berat itu juga disandang partai lama.Mereka harus berkampanye untuk partai sendiri, sekaligus mendulang suara bagi Capres yang didukung.
Uniknya, meski pemain utama di lapangan, isu yang dibawa partai di tingkat lokal kalah oleh perdebatan nasional seputar Pilpres.
“Dalam Pemilu serentak, isu di tingkat lokal yang diangkat oleh calon anggota legislatif di berbagai daerah, kalah dengan isu yang terkait dengan pemilihan presiden. Kondisi ini akan berpengaruh pada perolehan suara,” kata Titin.
Dalam kondisi semacam itu, partai koalisi PDI P dan koalisi Gerindra, sebagai pengusung calon presiden cukup diuntungkan. Pada titik inilah, partai-partai baru yang tidak dikaitkan secara langsung dengan calon presiden, harus bekerja lebih keras.
Titin juga mengingatkan, budaya politik kepartaian di Indonesia yang masih kental dengan figur. Salah satu kunci permainan yang harus dimiliki partai baru, adalah menempatkan figur-figur berpengaruh di setiap daerah pemilihan. Strategi ini diyakini akan turut mendongkrak suara partai. Khusus PSI, yang menempatkan mayoritas muka baru dalam daftar Caleg-nya, menurut Titin ini adalah gebrakan baru yang butuh waktu.
“Apa yang dilakukan partai baru, ketika mereka berusaha membuat gebrakan, misalnya merekrut kaum muda dan memilih Caleg-Caleg yang belum terkooptasi oleh sistem politik yang selama ini terjadi, belum korupsi dan sebagainya, seperti di PSI, itu merupakan salah satu hal yang bagus. Tetapi kita juga perlu melihat kontestasi politik di tingkat lokal kalau kaitannya dengan pemilihan anggota legistlatif. Dalam jangka panjang, bisa saja ini merupakan langkah awal. Targetnya itu bukan 2019 tetapi Pemilu berikutnya,” kata Titin Purwaningsih.
Layaknya kendaraan baru, partai-partai baru seperti PSI memang masih harus menghadapi ujian panjang di lapangan. Jika selamat di tikungan pertama 2019 ini, bukan tidak mungkin merekalah yang harus diperhitungkan di balapan selanjutnya. (VOA)