Bitzael Temmar Ajak Pileg di Maluku Jadi Penyambung Suara Berkesinambungan
pada tanggal
01 Maret 2019
SAUMLAKI, LELEMUKU.COM - Pengamat politik dari Kepulauan Tanimbar, Bitzael Silvester Temmar nilai pemilihan umum (Pemilu) 2019 terutama untuk pemilihan legislatif (pileg) di wilayah Provinsi Maluku bagian Tenggara dapat dipandang lebih dari sekedar pesta politik, tapi sebagai sarana vital penyambung suara yang berkesinambungan.
"Pileg 2019 seharusnya dilihat lebih dari sekadar ritual politik. Pada konteks daerah-daerah pinggiran penuh problem publik yang akut seperti Maluku Tenggara Barat (MTB) dan Maluku Barat Daya (MBD), pemilu legislatif harus dilihat dalam dua kepentingan strategis," ujar Temmar dalam pesan singkat pada Jumat (1/2).
2 hal itu diantaranya, pertama pileg menghasilkan penyambung suara mayoritas masyarakat yang tidak mampu menyampaikan peliknya persoalan yang menghimpit kehidupan mereka sehingga melahirkan kebijakan publik yang memecahkan persoalan mereka. Kedua, pileg jadi penyedia stok pemimpin publik potensial untuk berbagai kebutuhan jangka panjang.
"Mengenai hal pertama, penyambung suara mayaritas bisu. Bukan rahasia lagi bahwa mayoritas masyarakat kita dengan pelik persoalannya tidak pernah menjadi agenda pemerintahan dan pembangunan karena wakil-wakil rakyat tidak memiliki basis pengetahuan dan ketrampilan politik yang memadai. Akibatnya selama masa periodenya di lembaga perwakilan hanya menjadi "momou" atau "radio rusak," ungkap dia.
Selanjutnya terkait penyedia stok pemimpin publik dikatakan lembaga perwakilan adalah sekolah pemimpin publik. Melalui pelaksanaan tiga fungsi legislatif yakni; legislasi, anggaran, dan pengawasan.
"Wakil rakyat sekaligus belajar seluk beluk pemerintahan. Mereka yang dikemudian hari menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah gagal, karena selama menjadi anggota dewan tidak menggunakan waktu untuk belajar, tetapi lebih banyak waktu untuk negosiasi proyek PL atau dana aspirasi dan seterusnya. Lebih tragis lagi, akhirnya mereka hanya jadi tim sukses bagi calon kepala daerah yang bukan kader parpol," ujar dia.
Dikatakan Pileg 2019 harus menjadi ajang kontestasi gagasan sebagai dasar bagi rakyat untuk memilih caleg yang layak. Namun di Maluku, pada khususnya hal ini hanya menjadi ajang memenuhi keinginan pribadi semata.
"Sayang dibalik sayang, pileg yad naga-naganya bisa menjadi ajang ekspresi keangkuhan dan kebodohan mereka yang bernafsu berkuasa dengan memeragakan naluri kehewanan seperti menakut-nakuti, mengancam dan seterusnya. Permulaannya sudah mulai terlihat seperti bagi-bagi natura, pengarahan ASN dan aneka kecurangan lainnya. Ayo, mari kita lawan Politisi Busuk," tutup dia. (Albert Batlayeri)
"Pileg 2019 seharusnya dilihat lebih dari sekadar ritual politik. Pada konteks daerah-daerah pinggiran penuh problem publik yang akut seperti Maluku Tenggara Barat (MTB) dan Maluku Barat Daya (MBD), pemilu legislatif harus dilihat dalam dua kepentingan strategis," ujar Temmar dalam pesan singkat pada Jumat (1/2).
2 hal itu diantaranya, pertama pileg menghasilkan penyambung suara mayoritas masyarakat yang tidak mampu menyampaikan peliknya persoalan yang menghimpit kehidupan mereka sehingga melahirkan kebijakan publik yang memecahkan persoalan mereka. Kedua, pileg jadi penyedia stok pemimpin publik potensial untuk berbagai kebutuhan jangka panjang.
"Mengenai hal pertama, penyambung suara mayaritas bisu. Bukan rahasia lagi bahwa mayoritas masyarakat kita dengan pelik persoalannya tidak pernah menjadi agenda pemerintahan dan pembangunan karena wakil-wakil rakyat tidak memiliki basis pengetahuan dan ketrampilan politik yang memadai. Akibatnya selama masa periodenya di lembaga perwakilan hanya menjadi "momou" atau "radio rusak," ungkap dia.
Selanjutnya terkait penyedia stok pemimpin publik dikatakan lembaga perwakilan adalah sekolah pemimpin publik. Melalui pelaksanaan tiga fungsi legislatif yakni; legislasi, anggaran, dan pengawasan.
"Wakil rakyat sekaligus belajar seluk beluk pemerintahan. Mereka yang dikemudian hari menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah gagal, karena selama menjadi anggota dewan tidak menggunakan waktu untuk belajar, tetapi lebih banyak waktu untuk negosiasi proyek PL atau dana aspirasi dan seterusnya. Lebih tragis lagi, akhirnya mereka hanya jadi tim sukses bagi calon kepala daerah yang bukan kader parpol," ujar dia.
Dikatakan Pileg 2019 harus menjadi ajang kontestasi gagasan sebagai dasar bagi rakyat untuk memilih caleg yang layak. Namun di Maluku, pada khususnya hal ini hanya menjadi ajang memenuhi keinginan pribadi semata.
"Sayang dibalik sayang, pileg yad naga-naganya bisa menjadi ajang ekspresi keangkuhan dan kebodohan mereka yang bernafsu berkuasa dengan memeragakan naluri kehewanan seperti menakut-nakuti, mengancam dan seterusnya. Permulaannya sudah mulai terlihat seperti bagi-bagi natura, pengarahan ASN dan aneka kecurangan lainnya. Ayo, mari kita lawan Politisi Busuk," tutup dia. (Albert Batlayeri)