Edoardus Futwembun Nilai Pernyataan Edi Tethool Terkait Kasus di Seira Keliru
pada tanggal
22 Maret 2019
SAUMLAKI, LELEMUKU.COM - Edoardus Futwembun, SH, pengacara YL (16), korban kekerasan terhadap anak di bawah umur di Seira, Kecamatan Wermaktian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku, menilai keliru pernyataan Wakil Kepala Kepolisian Resor (Wakapolres) Maluku Tenggara Barat (MTB) Kompol Edi Tethool yang mengklaim bahwa kasus kekerasan seksual anak dibawah umur itu tidak memiliki bukti kuat.
"Menurut saya sudah cukup dua alat bukti. Pertama keterangan saksi korban YL (16) dan kedua bukti visum Et Repertum dari dokter itu. Lalu kurang alat buktinya dimana?," jelas Edo Futwembun kepada SimpulRakyat.co.id pada Senin (10/03/2019).
Ia juga menyatakan pernyataan seperti itu tidak seharusnya dikeluarkan oleh pihak kepolisian yang terkesan bertele - tele dalam proses pengumpulan 2 alat bukti. Sebab semua bukti sudah diberikan, baik keterangan saksi korban maupun bukti visum dokter itu.
"Disinilah letak kekeliruan penafsiran hukumnya. Seharusnya keterangan saksi ahli itu diberikan di pengadilan, bukan di polres. Polisi hanya melakukan penyelidikan dan limpahkan ke Jaksa Penuntut Umum," papar Futwembun.
Pihaknya memberikan tenggang waktu 2 minggu kepada Polres MTB untuk segera melimpahkan berkas kasus kekerasan tersebut ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Saumlaki. Jika belum dilimpahkan, pihaknya berencana akan menempuh jalur hukum Pra Peradilan guna menguji fakta kebenaran dan bukti hukum dari kasus yang memilukan tersebut.
"Saya melihat bahwa kasus ini sudah terang benderang sesuai pengalaman saya bersidang di pengadilan menyangkut kasus kekerasan seksual anak dibawah umur. Saya sangat heran, mengapa kasus ini yang menurut unsur hukumnya sudah tepat harus dibolak - balik. Saya menilai Polres MTB terkesan tidak melindungi anak. Oleh karena itu, saya berencana akan tempuh jalur Pra Peradilan dan pengacara siapapun ada di belakang calon tersangka, saya lawan habis-habisan" sambungnya.
Sebelumnya kepada Dharapos.com, Wakapolres MTB, mengklaim pihaknya hingga saat ini masih mengalami kesulitan dalam menangani kasus kekerasan yang terjadi pada Oktober 2018 lalu akibat belum mendapat bukti saksi dan visum dari RSUD PP Magrety.
"Kita mengalami kesulitan karena keterangan ahli tidak mampu menjelaskan secara detail dampak atau akibat dari kekerasan seksual yang dialami oleh korban," jelas Tethool.
YL sendiri adalah korban perlakuan bejad GT sejak dirinya berumur 11 tahun. Ia pernah melaporkan hal ini ke seorang polisi di Seira namun tersangka mampu menghindari dan hanya diberikan nasehat oleh anggota tersebut.
Tidak terima dengan perlakuan tidak senonoh yang terus berlanjut YL melarikan diri ke Saumlaki guna melaporkan perbuatan tercela itu ke Polres MTB pada 15 Oktober 2018 dengan laporan Polisi nomor STPL/169/X/2108/SPKT. (Albert Batlayeri)
"Menurut saya sudah cukup dua alat bukti. Pertama keterangan saksi korban YL (16) dan kedua bukti visum Et Repertum dari dokter itu. Lalu kurang alat buktinya dimana?," jelas Edo Futwembun kepada SimpulRakyat.co.id pada Senin (10/03/2019).
Ia juga menyatakan pernyataan seperti itu tidak seharusnya dikeluarkan oleh pihak kepolisian yang terkesan bertele - tele dalam proses pengumpulan 2 alat bukti. Sebab semua bukti sudah diberikan, baik keterangan saksi korban maupun bukti visum dokter itu.
"Disinilah letak kekeliruan penafsiran hukumnya. Seharusnya keterangan saksi ahli itu diberikan di pengadilan, bukan di polres. Polisi hanya melakukan penyelidikan dan limpahkan ke Jaksa Penuntut Umum," papar Futwembun.
Pihaknya memberikan tenggang waktu 2 minggu kepada Polres MTB untuk segera melimpahkan berkas kasus kekerasan tersebut ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Saumlaki. Jika belum dilimpahkan, pihaknya berencana akan menempuh jalur hukum Pra Peradilan guna menguji fakta kebenaran dan bukti hukum dari kasus yang memilukan tersebut.
"Saya melihat bahwa kasus ini sudah terang benderang sesuai pengalaman saya bersidang di pengadilan menyangkut kasus kekerasan seksual anak dibawah umur. Saya sangat heran, mengapa kasus ini yang menurut unsur hukumnya sudah tepat harus dibolak - balik. Saya menilai Polres MTB terkesan tidak melindungi anak. Oleh karena itu, saya berencana akan tempuh jalur Pra Peradilan dan pengacara siapapun ada di belakang calon tersangka, saya lawan habis-habisan" sambungnya.
Sebelumnya kepada Dharapos.com, Wakapolres MTB, mengklaim pihaknya hingga saat ini masih mengalami kesulitan dalam menangani kasus kekerasan yang terjadi pada Oktober 2018 lalu akibat belum mendapat bukti saksi dan visum dari RSUD PP Magrety.
"Kita mengalami kesulitan karena keterangan ahli tidak mampu menjelaskan secara detail dampak atau akibat dari kekerasan seksual yang dialami oleh korban," jelas Tethool.
YL sendiri adalah korban perlakuan bejad GT sejak dirinya berumur 11 tahun. Ia pernah melaporkan hal ini ke seorang polisi di Seira namun tersangka mampu menghindari dan hanya diberikan nasehat oleh anggota tersebut.
Tidak terima dengan perlakuan tidak senonoh yang terus berlanjut YL melarikan diri ke Saumlaki guna melaporkan perbuatan tercela itu ke Polres MTB pada 15 Oktober 2018 dengan laporan Polisi nomor STPL/169/X/2108/SPKT. (Albert Batlayeri)