Meningkatnya Nasionalis-Populis Kikis Hak-hak Perempuan di Berbagai Negara
pada tanggal
06 Maret 2019
MADRID, LELEMUKU.COM - Sentimen nasionalis-populis telah bangkit kembali di banyak negara di seluruh dunia, mulai dari Brazil hingga Turki, Filipina, Rusia, dan Amerika Serikat.
Hal itu telah menyebabkan pengikisan dengan sengaja hak-hak yang diperoleh perempuan melalui “pengorbanan dan perjuangan” selama beberapa generasi, kata Women Leaders for Change and Inclusion atau Kelompok Perempuan Pemimpin untuk Perubahan dan Inklusi yang baru dibentuk dalam sebuah surat terbuka menjelang Hari Perempuan Internasional.
"Semakin banyak rezim populis dan nasionalistis mulai memberi kesan bahwa pemberdayaan perempuan merupakan tantangan bagi penguasa," kata mantan menteri luar negeri Argentina Susana Malcorra, seorang pendiri kelompok itu.
“Ada sejumlah tempat di mana kita melihat hal ini menjadi tren. Dan dalam pandangan kami, jika kami tidak membicarakannya dengan lantang, sentimen itu akan sulit dibalik,” katanya kepada Thomson Reuters Foundation dalam sebuah wawancara telepon dari Madrid.
Presiden AS Donald Trump pada tahun 2017 memberlakukan “gag rule” atau aturan bungkam yang melarang kelompok yang didanai AS untuk membahas aborsi secara global, memaksa mereka untuk menerima pembatasan itu atau jika menolaknya maka akan kehilangan dana.
Aturan bungkam itu telah membuat sejumlah badan amal terpaksa menutup klinik kesehatan dan program masyarakat karena takut ketidakpatuhan dapat menyebabkan hilangnya bantuan kesehatan dari AS, yang jumlah totalnya sekitar $ 8 miliar per tahun.
Ini terjadi pada saat hak aborsi sedang dipantau dengan cermat di negara-negara lain di seluruh dunia.
Tahun lalu Irlandia mengakhiri larangan aborsi yang ketat, sementara pemerintah konservatif di Polandia mendorong untuk memperketat undang-undang yang sudah membatasi aborsi.
Argentina menolak kebijakan untuk melegalkan aborsi, dan terpilihnya presiden sayap kanan di Brazil diduga akan memperlambat upaya untuk melegalkan aborsi di sana.
World Economic Forum mengatakan dalam laporan global 2018 bahwa perempuan yang bekerja tahun lalu lebih sedikit daripada laki-laki. Sebagian besar perempuan kehilangan pekerjaan atau karirnya terhambat karena masalah pengasuhan anak.
Menurut laporan itu, perempuan butuh waktu 202 tahun untuk mendapatkan penghasilan yang sama dengan laki-laki dan memiliki kesempatan kerja yang sama.
Sementara itu, anggota parlemen Kenya November lalu memblokir upaya agar satu dari tiga kursi parlemen disediakan untuk perempuan.
“Kita perlu membuat kebijakan-kebijakan yang memastikan karir perempuan tidak terhambat karena mereka menjadi ibu, yang juga memungkinkan pasangan untuk berbagi tanggung jawab,” kata Malcorra.
Surat yang ditandatangani oleh hampir 40 perempuan pemimpin, mulai dari Irina Bokova, mantan kepala UNESCO hingga Presiden Ethiopia Sahle-Work Zewde, mendesak tindakan untuk melindungi hak-hak dasar perempuan sebelum terlambat.
"Kita kehilangan sesuatu dan kita bahkan tidak menyadarinya," kata Malcorra.
"Kami ingin memastikan bahwa orang-orang mengerti bahwa situasinya serius dan bisa menjadi kritis." (VOA)
Hal itu telah menyebabkan pengikisan dengan sengaja hak-hak yang diperoleh perempuan melalui “pengorbanan dan perjuangan” selama beberapa generasi, kata Women Leaders for Change and Inclusion atau Kelompok Perempuan Pemimpin untuk Perubahan dan Inklusi yang baru dibentuk dalam sebuah surat terbuka menjelang Hari Perempuan Internasional.
"Semakin banyak rezim populis dan nasionalistis mulai memberi kesan bahwa pemberdayaan perempuan merupakan tantangan bagi penguasa," kata mantan menteri luar negeri Argentina Susana Malcorra, seorang pendiri kelompok itu.
“Ada sejumlah tempat di mana kita melihat hal ini menjadi tren. Dan dalam pandangan kami, jika kami tidak membicarakannya dengan lantang, sentimen itu akan sulit dibalik,” katanya kepada Thomson Reuters Foundation dalam sebuah wawancara telepon dari Madrid.
Presiden AS Donald Trump pada tahun 2017 memberlakukan “gag rule” atau aturan bungkam yang melarang kelompok yang didanai AS untuk membahas aborsi secara global, memaksa mereka untuk menerima pembatasan itu atau jika menolaknya maka akan kehilangan dana.
Aturan bungkam itu telah membuat sejumlah badan amal terpaksa menutup klinik kesehatan dan program masyarakat karena takut ketidakpatuhan dapat menyebabkan hilangnya bantuan kesehatan dari AS, yang jumlah totalnya sekitar $ 8 miliar per tahun.
Ini terjadi pada saat hak aborsi sedang dipantau dengan cermat di negara-negara lain di seluruh dunia.
Tahun lalu Irlandia mengakhiri larangan aborsi yang ketat, sementara pemerintah konservatif di Polandia mendorong untuk memperketat undang-undang yang sudah membatasi aborsi.
Argentina menolak kebijakan untuk melegalkan aborsi, dan terpilihnya presiden sayap kanan di Brazil diduga akan memperlambat upaya untuk melegalkan aborsi di sana.
World Economic Forum mengatakan dalam laporan global 2018 bahwa perempuan yang bekerja tahun lalu lebih sedikit daripada laki-laki. Sebagian besar perempuan kehilangan pekerjaan atau karirnya terhambat karena masalah pengasuhan anak.
Menurut laporan itu, perempuan butuh waktu 202 tahun untuk mendapatkan penghasilan yang sama dengan laki-laki dan memiliki kesempatan kerja yang sama.
Sementara itu, anggota parlemen Kenya November lalu memblokir upaya agar satu dari tiga kursi parlemen disediakan untuk perempuan.
“Kita perlu membuat kebijakan-kebijakan yang memastikan karir perempuan tidak terhambat karena mereka menjadi ibu, yang juga memungkinkan pasangan untuk berbagi tanggung jawab,” kata Malcorra.
Surat yang ditandatangani oleh hampir 40 perempuan pemimpin, mulai dari Irina Bokova, mantan kepala UNESCO hingga Presiden Ethiopia Sahle-Work Zewde, mendesak tindakan untuk melindungi hak-hak dasar perempuan sebelum terlambat.
"Kita kehilangan sesuatu dan kita bahkan tidak menyadarinya," kata Malcorra.
"Kami ingin memastikan bahwa orang-orang mengerti bahwa situasinya serius dan bisa menjadi kritis." (VOA)