Allan Wardhana Nilai Peta Koalisi Membuat Wacana Amendemen Berbahaya
pada tanggal
17 Agustus 2019
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Amendemen bukan wacana baru dalam perbincangan mengenai konstitusi Indonesia. Bahkan, dalam catatan sejarahnya, perubahan-perubahan itu terus terjadi terutama untuk mengakomodasi sistem demokrasi Indonesia.
Allan FG Wardhana, Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII) memberi sejumlah catatan amendemen, terutama terkait perbaikan sistem legislasi. Dia mengatakan, amendemen dilakukan misalnya untuk mengakomodir lembaga-lembaga negara independen seperti KPK, penataan partai politik dan juga pemilu.
Bedanya, kata Allan, amendemen yang berhembus terakhir kali harus diwaspadai karena perubahan peta politik hasil Pemilu 2019. Dia melihat, agenda perubahan yang sekarang dihembuskan tidak berdasarkan alasan dan tujuan yang jelas. Padahal, alasan dan tujuan yang jelas itu seharusnya ditapkan terlebih dahulu, sebelum amendemen dilakukan.
“Tidak boleh, perubahannya itu pragmatis hanya didasarkan pada, misalkan soal pimpinan MPR harusnya berapa kursi. DPR harusnya berapa kursi. Ini kan seperti bancakan politik. Sepanjang alasan dan tujuannya tidak jelas, maka wacana melakukan amendemen itu sebaiknya sementara tidak diteruskan karena takutnya ini akan menjadi pintu masuk partai politik untuk semacam bancaan kekuasaan,” kata Allan kepada VOA.
Soal dasar yang tidak jelas ini, antara lain ditunjukkan oleh wacana pemilihan presiden yang kembali diusulkan dilakukan oleh MPR. Menurut Allan, usulan itu ahistoris dan tidak sesuai dengan sistem presidensial yang sudah diterapkan. Sistem presidensial mensyaratkan presiden harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Jika dilakukan MPR, yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD, akan menghilangkan keterlibatan masyarakat pemilih. Usulan itu akan membawa MPR kembali sebagai lembaga kedaulatan tertinggi serupa era Orde Baru kalau.
Mengapa Indonesia harus berhati-hati terhadap wacana amendemen? Menurut Allan, karena UUD merupakan hukum tertinggi. Karena posisinya itu, dia harus dijaga jangan sampai diterobos oleh agenda-agenda pragmatis untuk melanggengkan kekuasaan. UUD sangat berpengaruh terhadap sistem hukum di Indonesia, dan berdampak pada perubahan semua peraturan di bawahnya.
Peran Komisi Konstitusi
PSHK UII menyelenggarakan diskusi mengenai amendemen UUD 1945 pada Kamis (15/8). Diskusi ini antara lain membahas apa saja amendemen yang bisa dilakukan parlemen periode mendatang untuk menyempurnakan konstitusi Indonesia. Dalam diskusi ini, mengemuka pula apa yang disebut sebagai Komisi Konstitusi.
Menurut Allan, untuk menjaga agar amendemen berada di rel yang benar, Indonesia membutuhkan Komisi Konstitusi.
“Di berbagai negara dan dalam ilmu ketatanegaraan, pembentukan Komisi Konstitusi juga mempunyai legitimasi. Komisi Konstitusi diharapkan diisi oleh pakar tata negara, bukan kalangan partai politik untuk membuat semacam draft amendemen, yang disusun berdasarkan alasan dan tujuan yang jelas,” tambah Allan.
Berbicara kepada VOA, usai penyelenggaraan diskusi, dosen Hukum Tata Negara UII, Idul Rishan mengatakan bahwa Komisi Konstitusi itu adalah spesial konvensi. Karena itu, lembaga ini bisa dibentuk, bisa juga tidak tergantung pada MPR. Namun, Idul mengingatkan bahwa Komisi Konstitusi harus dibentuk, agar amendemen UUD dilakukan tanpa bias kepentingan partai politik. Lembaga ini menjadi semacam kelompok penengah, yang posisinya semakin penting melihat komposisi perolehan suara dalam Pemilu 2019 ini.
“Sebagian besar koalisi pemerintahan ada di MPR. Karena sebagian besar itu koalisi pemerintah dan koalisinya gemuk, dengan hanya tersisa PKS. Kalau semuanya diserahkan kepada MPR, maka partai politik pendukung pemerintah menjadi paling yang diuntungkan dalam perubahan undang-undang dasar. Mereka sangat mudah melakukan amendemen, dan isunya bisa melebar kemana-mana bukan hanya soal GBHN, tetapi bisa sampai soal masa jabatan presiden dan soal presiden dipilih kembali MPR sangat terbuka lebar,” kata Idul.
Ironisnya, kata Idul, karena MPR berkuasa untuk mengubah dan menetapkan UUD, maka kemungkinan peran Komisi Konstitusi menjadi sangat kecil saat ini. Jikapun ada komisi ini, keputusan akhir soal amendemen tetap berada di MPR. Karena itu, dengan peta politik terbaru, dimana hampir semua partai masuk koalisi pemerintah, MPR akan menjadi lembaga yang sangat berkuasa.
Banyak pihak menilai, setelah serangkaian amendemen UUD pada 1999-2002, kewenangan MPR menjadi kecil. Menurut Idul, pendapat itu keliru karena MPR memiliku kewenangan sangat strategis. Dalam posisi pemerintah dan partai di luar pemerintah seimbang, MPR tidak banyak berperan karena untuk melakukan amendemen, syaratnya sangat detil yang dikenal sebagai skema "3/7, 1/3 dan 50 persen plus 1".
“Sekarang ini, kursi pimpinan MPR dilirik oleh sebagian besar partai politik. Bahkan memaksakan pimpinan MPR menjadi 10 kursi. Ini bahayanya adalah, kalau misalnya koalisi partainya solid, amendemen mudah sekali dilakukan,” kata Idul.
Dalam sejarahnya, Indonesia pernah memiliki tiga spesial konvensi. Yang pertama adalah BPUPKI/PPKI di masa awal kemerdekaan. Kemudian ada konstituante yang dibubarkan di era Soekarno, dan Komisi Konstitusi tahun 2002. Dari ketiganya, hanya BPUPKI/PPKI yang bekerja dengan sukses.
Amendemen Terkait Parpol
Berbicara dalam diskusi, peneliti PSHK UII, Jamaludin Ghafur mengatakan, jika ingin dilakukan justru amendemen penting terkait beberapa isu lain seperti pengaturan partai politik, Pemilu dan penyelenggara Pemilu.
Menurutnya, setidaknya perlu dilakukan pengaturan Parpol dalam konstitusi dalam dua hal. Pertama adalah melakukan demokratisasi internal partai politik.
“Kondisi ini dilatar belakangi oleh tingginya kepercayaan masyarakat terhadap peran Parpol dalam demokrasi, namun di sisi lain terdapat skeptisme masyarakat terhadap kinerja Parpol dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, perlu diatur secara eksplisit kewajiban Parpol untuk melakukan demokratisasi internal partai politik dengan pemaksaan melalui konstitusi,” ujar Ghafur.
Perubahan aturan yang kedua adalah penataan mekanisme penyelesaian sengketa internal Parpol dengan melakukan penataan terhadap Majelis Kehormatan Parpol.
Selain itu, Ghafur menambahkan bahwa amendemen juga bisa dilakuan terkait Pemilu. Misalnya dengan pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. Selama ini, gagasan tersebut terbentur oleh Pasal 22E UUD yang mengatur Pemilu, karenanya perlu dilakukan amendemen terhadap pasal tersebut.
Ide kedua adalah penataan sistem presidensial threshold. Sistem ini, dinilai Ghafur, menyandera presiden terhadap kepentingan parpol. Penataan penyelenggara Pemilu juga bisa dilakukan, karena terdapat dua lembaga negara penyelenggara Pemilu yang diatur dalam UU yaitu Bawaslu dan DKPP, tetapi dikatakan sederajat dengan KPU yang diatur oleh UUD. (VOA)
Allan FG Wardhana, Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII) memberi sejumlah catatan amendemen, terutama terkait perbaikan sistem legislasi. Dia mengatakan, amendemen dilakukan misalnya untuk mengakomodir lembaga-lembaga negara independen seperti KPK, penataan partai politik dan juga pemilu.
Bedanya, kata Allan, amendemen yang berhembus terakhir kali harus diwaspadai karena perubahan peta politik hasil Pemilu 2019. Dia melihat, agenda perubahan yang sekarang dihembuskan tidak berdasarkan alasan dan tujuan yang jelas. Padahal, alasan dan tujuan yang jelas itu seharusnya ditapkan terlebih dahulu, sebelum amendemen dilakukan.
“Tidak boleh, perubahannya itu pragmatis hanya didasarkan pada, misalkan soal pimpinan MPR harusnya berapa kursi. DPR harusnya berapa kursi. Ini kan seperti bancakan politik. Sepanjang alasan dan tujuannya tidak jelas, maka wacana melakukan amendemen itu sebaiknya sementara tidak diteruskan karena takutnya ini akan menjadi pintu masuk partai politik untuk semacam bancaan kekuasaan,” kata Allan kepada VOA.
Soal dasar yang tidak jelas ini, antara lain ditunjukkan oleh wacana pemilihan presiden yang kembali diusulkan dilakukan oleh MPR. Menurut Allan, usulan itu ahistoris dan tidak sesuai dengan sistem presidensial yang sudah diterapkan. Sistem presidensial mensyaratkan presiden harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Jika dilakukan MPR, yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD, akan menghilangkan keterlibatan masyarakat pemilih. Usulan itu akan membawa MPR kembali sebagai lembaga kedaulatan tertinggi serupa era Orde Baru kalau.
Mengapa Indonesia harus berhati-hati terhadap wacana amendemen? Menurut Allan, karena UUD merupakan hukum tertinggi. Karena posisinya itu, dia harus dijaga jangan sampai diterobos oleh agenda-agenda pragmatis untuk melanggengkan kekuasaan. UUD sangat berpengaruh terhadap sistem hukum di Indonesia, dan berdampak pada perubahan semua peraturan di bawahnya.
Peran Komisi Konstitusi
PSHK UII menyelenggarakan diskusi mengenai amendemen UUD 1945 pada Kamis (15/8). Diskusi ini antara lain membahas apa saja amendemen yang bisa dilakukan parlemen periode mendatang untuk menyempurnakan konstitusi Indonesia. Dalam diskusi ini, mengemuka pula apa yang disebut sebagai Komisi Konstitusi.
Menurut Allan, untuk menjaga agar amendemen berada di rel yang benar, Indonesia membutuhkan Komisi Konstitusi.
“Di berbagai negara dan dalam ilmu ketatanegaraan, pembentukan Komisi Konstitusi juga mempunyai legitimasi. Komisi Konstitusi diharapkan diisi oleh pakar tata negara, bukan kalangan partai politik untuk membuat semacam draft amendemen, yang disusun berdasarkan alasan dan tujuan yang jelas,” tambah Allan.
Berbicara kepada VOA, usai penyelenggaraan diskusi, dosen Hukum Tata Negara UII, Idul Rishan mengatakan bahwa Komisi Konstitusi itu adalah spesial konvensi. Karena itu, lembaga ini bisa dibentuk, bisa juga tidak tergantung pada MPR. Namun, Idul mengingatkan bahwa Komisi Konstitusi harus dibentuk, agar amendemen UUD dilakukan tanpa bias kepentingan partai politik. Lembaga ini menjadi semacam kelompok penengah, yang posisinya semakin penting melihat komposisi perolehan suara dalam Pemilu 2019 ini.
“Sebagian besar koalisi pemerintahan ada di MPR. Karena sebagian besar itu koalisi pemerintah dan koalisinya gemuk, dengan hanya tersisa PKS. Kalau semuanya diserahkan kepada MPR, maka partai politik pendukung pemerintah menjadi paling yang diuntungkan dalam perubahan undang-undang dasar. Mereka sangat mudah melakukan amendemen, dan isunya bisa melebar kemana-mana bukan hanya soal GBHN, tetapi bisa sampai soal masa jabatan presiden dan soal presiden dipilih kembali MPR sangat terbuka lebar,” kata Idul.
Ironisnya, kata Idul, karena MPR berkuasa untuk mengubah dan menetapkan UUD, maka kemungkinan peran Komisi Konstitusi menjadi sangat kecil saat ini. Jikapun ada komisi ini, keputusan akhir soal amendemen tetap berada di MPR. Karena itu, dengan peta politik terbaru, dimana hampir semua partai masuk koalisi pemerintah, MPR akan menjadi lembaga yang sangat berkuasa.
Banyak pihak menilai, setelah serangkaian amendemen UUD pada 1999-2002, kewenangan MPR menjadi kecil. Menurut Idul, pendapat itu keliru karena MPR memiliku kewenangan sangat strategis. Dalam posisi pemerintah dan partai di luar pemerintah seimbang, MPR tidak banyak berperan karena untuk melakukan amendemen, syaratnya sangat detil yang dikenal sebagai skema "3/7, 1/3 dan 50 persen plus 1".
“Sekarang ini, kursi pimpinan MPR dilirik oleh sebagian besar partai politik. Bahkan memaksakan pimpinan MPR menjadi 10 kursi. Ini bahayanya adalah, kalau misalnya koalisi partainya solid, amendemen mudah sekali dilakukan,” kata Idul.
Dalam sejarahnya, Indonesia pernah memiliki tiga spesial konvensi. Yang pertama adalah BPUPKI/PPKI di masa awal kemerdekaan. Kemudian ada konstituante yang dibubarkan di era Soekarno, dan Komisi Konstitusi tahun 2002. Dari ketiganya, hanya BPUPKI/PPKI yang bekerja dengan sukses.
Amendemen Terkait Parpol
Berbicara dalam diskusi, peneliti PSHK UII, Jamaludin Ghafur mengatakan, jika ingin dilakukan justru amendemen penting terkait beberapa isu lain seperti pengaturan partai politik, Pemilu dan penyelenggara Pemilu.
Menurutnya, setidaknya perlu dilakukan pengaturan Parpol dalam konstitusi dalam dua hal. Pertama adalah melakukan demokratisasi internal partai politik.
“Kondisi ini dilatar belakangi oleh tingginya kepercayaan masyarakat terhadap peran Parpol dalam demokrasi, namun di sisi lain terdapat skeptisme masyarakat terhadap kinerja Parpol dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, perlu diatur secara eksplisit kewajiban Parpol untuk melakukan demokratisasi internal partai politik dengan pemaksaan melalui konstitusi,” ujar Ghafur.
Perubahan aturan yang kedua adalah penataan mekanisme penyelesaian sengketa internal Parpol dengan melakukan penataan terhadap Majelis Kehormatan Parpol.
Selain itu, Ghafur menambahkan bahwa amendemen juga bisa dilakuan terkait Pemilu. Misalnya dengan pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. Selama ini, gagasan tersebut terbentur oleh Pasal 22E UUD yang mengatur Pemilu, karenanya perlu dilakukan amendemen terhadap pasal tersebut.
Ide kedua adalah penataan sistem presidensial threshold. Sistem ini, dinilai Ghafur, menyandera presiden terhadap kepentingan parpol. Penataan penyelenggara Pemilu juga bisa dilakukan, karena terdapat dua lembaga negara penyelenggara Pemilu yang diatur dalam UU yaitu Bawaslu dan DKPP, tetapi dikatakan sederajat dengan KPU yang diatur oleh UUD. (VOA)