Berselisih Suara di Papua, NasDem dan Demokrat Hadirkan Ahli
pada tanggal
02 Agustus 2019
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Partai Nasional Demokrat (NasDem) selaku Pemohon dalam perkara Nomor 194-05-33/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 menghadirkan Nur Hidayat Sardini sebagai ahli dalam sidang lanjutan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) DPR-DPRD 2019 Provinsi Papua, Selasa (30/7/2019) pukul 08.00 WIB di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Panel 2 dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Nur Hidayat Sardini menjelaskan bahwa electoral justice system merupakan kunci dalam penegakan hukum dan menjamin penerapan prinsip demokrasi melalui pemilu. Tujuan electoral justice system adalah menjamin setiap tindakan prosedur dan keputusan terkait penyelenggara sesuai dengan kerangka hukum. Lebih khususnya untuk melindungi pemilih dan peserta pemilih.
“Seluruh dari prasyarat utama dalam electoral justice system adalah kapasitas penyelenggara pemilu. Karena mereka akan menentukan terhadap integritas proses dan hasil-hasil penyelenggaraan pemilu,” kata Nur Hidayat Sardini dalam persidangan PHPU DPR-DPRD 2019 Provinsi Papua dengan agenda Mendengar Keterangan Saksi/Ahli Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait, serta Pengesahan Alat Bukti Tambahan.
Terkait pokok permohonan Partai NasDem mengenai perselisihan suara dalam Pemilihan Anggota DPRD di Dapil Papua 2 yang menyebabkan perolehan suara Partai Demokrat meningkat dan pengurangan suara NasDem, Nur Hidayat mencermati ada perbedaan selisih suara yang diklaim Pemohon yang seluruhnya diungkap dalam rapat pleno Provinsi Papua. Seluruh proses itu, menurut Nur Hidayat, ada rekapitulasi suara yang dijalankan secara tidak tepat. Bermula dari proses rekapitulasi suara di KPU pada 15 Mei 2019, Bawaslu Provinsi Papua menerbitkan rekomendasi. Menurut Nur Hidayat, rekomendasi Bawaslu justru memperpanjang masalah.
Nur Hidayat sangat menyayangkan kejadian tersebut. Seharusnya KPU Provinsi Papua bisa melakukan upaya-upaya yang bersifat sesuai pelaksanaan kewenangan. Tetapi entah mungkin ada faktor lain, lalu terbit rekomendasi. Rekomendasi itu bukan menyelesaikan masalah, tapi justru membuka masalah baru.
“Rekomendasi yang dijalankan KPU Kabupaten Kepulauan Yapen, lalu mendasarkan rekap suara sesuai tindak lanjut Bawaslu, bukan formulir yang diperuntukkan oleh KPU yang semestinya. Itulah kemudian yang menurut saya menjadi masalah. Solusi yang kami tawarkan, supaya kembali kepada hasil rapat pleno KPU Kabupaten Kepulauan Yapen pada 9 Mei 2019 yang hasilnya tertuang dalam formulir DB1-DPRDP atau melalui pengecekan ulang terhadap formulir DAA, DA1, DA1 Plano di wilayah setempat,” papar Nur Hidayat.
Selanjutnya Partai Demokrat selaku Pihak Terkait, menghadirkan Heru Widodo sebagai ahli. Heru memaparkan ikhwal koreksi rekapitulasi perolehan suara Calon Anggota DPRD Dapil Papua 2 di Kabupaten Kepulauan Yapen yang ditetapkan atas dasar rekomendasi Bawaslu Provinsi Papua.
Heru menjelaskan, sistem penyelesaian sengketa pemilu dibentuk untuk menjamin integritas proses pemilu. Melalui sistem penyelesaian sengketa pemilu, tindakan selama proses yang bertentangan dengan hukum dapat dibatalkan atau diluruskan melalui pengajuan laporan atau gugatan. “Dalam sistem penyelesaian sengketa Pemilu 2019 terbuka adanya pengaduan atau laporan peserta pemilu kepada Bawaslu. Output-nya dapat berupa pembetulan, baik berbentuk rekomendasi ataupun putusan yang wajib dilaksanakan oleh KPU,” terang Heru.
Keberatan atas hasil koreksi tingkat kabupaten, kata Heru, dapat diajukan oleh saksi atau Bawaslu Provinsi sebagaimana dinormakan dalam Pasal 67 PKPU No. 4 Tahun 2019. Saksi atau Bawaslu dapat mengajukan keberatan terhadap selisih rekap hasil penghitungan suara kepada KPU Provinsi apabila terdapat hal yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Heru juga menjelaskan ikhwal rekapitulasi perolehan suara yang dituangkan dalam formulir DB1-DPRD Papua karena tidak ditanda tangani oleh Ketua KPU Kabupaten.
“Mengenai persoalan tanda tangan, analisis yuridisnya bahwa keabsahan hasil pemilu tidak bergantung pada adanya pembubuhan Ketua maupun Anggota KPU. Dengan kata lain, tanpa adanya tanda tangan Ketua maupun Anggota KPU, hasil pemilu tetap dapat dinyatakan sah,” tegas Heru.
Pada persidangan yang sama di MK, Selasa (30/7/2019), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) selaku Pemohon yang teregistrasi dengan Nomor 20-01-33/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 menghadirkan sejumlah saksi. Misalnya, ada Ahmad Suadi sebagai saksi yang membeberkan soal sinkronisasi data di rekap suara di Kota Jayapura. Sedangkan saksi lainnya, Samuel Edowai juga menerangkan hal yang sama. Akibat sinkronisasi itu, kata Samuel, terjadi perubahan perolehan suara dan menyebabkan suara Partai Garuda naik. (HumasMKRI)
Nur Hidayat Sardini menjelaskan bahwa electoral justice system merupakan kunci dalam penegakan hukum dan menjamin penerapan prinsip demokrasi melalui pemilu. Tujuan electoral justice system adalah menjamin setiap tindakan prosedur dan keputusan terkait penyelenggara sesuai dengan kerangka hukum. Lebih khususnya untuk melindungi pemilih dan peserta pemilih.
“Seluruh dari prasyarat utama dalam electoral justice system adalah kapasitas penyelenggara pemilu. Karena mereka akan menentukan terhadap integritas proses dan hasil-hasil penyelenggaraan pemilu,” kata Nur Hidayat Sardini dalam persidangan PHPU DPR-DPRD 2019 Provinsi Papua dengan agenda Mendengar Keterangan Saksi/Ahli Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait, serta Pengesahan Alat Bukti Tambahan.
Terkait pokok permohonan Partai NasDem mengenai perselisihan suara dalam Pemilihan Anggota DPRD di Dapil Papua 2 yang menyebabkan perolehan suara Partai Demokrat meningkat dan pengurangan suara NasDem, Nur Hidayat mencermati ada perbedaan selisih suara yang diklaim Pemohon yang seluruhnya diungkap dalam rapat pleno Provinsi Papua. Seluruh proses itu, menurut Nur Hidayat, ada rekapitulasi suara yang dijalankan secara tidak tepat. Bermula dari proses rekapitulasi suara di KPU pada 15 Mei 2019, Bawaslu Provinsi Papua menerbitkan rekomendasi. Menurut Nur Hidayat, rekomendasi Bawaslu justru memperpanjang masalah.
Nur Hidayat sangat menyayangkan kejadian tersebut. Seharusnya KPU Provinsi Papua bisa melakukan upaya-upaya yang bersifat sesuai pelaksanaan kewenangan. Tetapi entah mungkin ada faktor lain, lalu terbit rekomendasi. Rekomendasi itu bukan menyelesaikan masalah, tapi justru membuka masalah baru.
“Rekomendasi yang dijalankan KPU Kabupaten Kepulauan Yapen, lalu mendasarkan rekap suara sesuai tindak lanjut Bawaslu, bukan formulir yang diperuntukkan oleh KPU yang semestinya. Itulah kemudian yang menurut saya menjadi masalah. Solusi yang kami tawarkan, supaya kembali kepada hasil rapat pleno KPU Kabupaten Kepulauan Yapen pada 9 Mei 2019 yang hasilnya tertuang dalam formulir DB1-DPRDP atau melalui pengecekan ulang terhadap formulir DAA, DA1, DA1 Plano di wilayah setempat,” papar Nur Hidayat.
Selanjutnya Partai Demokrat selaku Pihak Terkait, menghadirkan Heru Widodo sebagai ahli. Heru memaparkan ikhwal koreksi rekapitulasi perolehan suara Calon Anggota DPRD Dapil Papua 2 di Kabupaten Kepulauan Yapen yang ditetapkan atas dasar rekomendasi Bawaslu Provinsi Papua.
Heru menjelaskan, sistem penyelesaian sengketa pemilu dibentuk untuk menjamin integritas proses pemilu. Melalui sistem penyelesaian sengketa pemilu, tindakan selama proses yang bertentangan dengan hukum dapat dibatalkan atau diluruskan melalui pengajuan laporan atau gugatan. “Dalam sistem penyelesaian sengketa Pemilu 2019 terbuka adanya pengaduan atau laporan peserta pemilu kepada Bawaslu. Output-nya dapat berupa pembetulan, baik berbentuk rekomendasi ataupun putusan yang wajib dilaksanakan oleh KPU,” terang Heru.
Keberatan atas hasil koreksi tingkat kabupaten, kata Heru, dapat diajukan oleh saksi atau Bawaslu Provinsi sebagaimana dinormakan dalam Pasal 67 PKPU No. 4 Tahun 2019. Saksi atau Bawaslu dapat mengajukan keberatan terhadap selisih rekap hasil penghitungan suara kepada KPU Provinsi apabila terdapat hal yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Heru juga menjelaskan ikhwal rekapitulasi perolehan suara yang dituangkan dalam formulir DB1-DPRD Papua karena tidak ditanda tangani oleh Ketua KPU Kabupaten.
“Mengenai persoalan tanda tangan, analisis yuridisnya bahwa keabsahan hasil pemilu tidak bergantung pada adanya pembubuhan Ketua maupun Anggota KPU. Dengan kata lain, tanpa adanya tanda tangan Ketua maupun Anggota KPU, hasil pemilu tetap dapat dinyatakan sah,” tegas Heru.
Pada persidangan yang sama di MK, Selasa (30/7/2019), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) selaku Pemohon yang teregistrasi dengan Nomor 20-01-33/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 menghadirkan sejumlah saksi. Misalnya, ada Ahmad Suadi sebagai saksi yang membeberkan soal sinkronisasi data di rekap suara di Kota Jayapura. Sedangkan saksi lainnya, Samuel Edowai juga menerangkan hal yang sama. Akibat sinkronisasi itu, kata Samuel, terjadi perubahan perolehan suara dan menyebabkan suara Partai Garuda naik. (HumasMKRI)