Wiranto Ungkap 99 Persen Karhutla Disebabkan Ulah Manusia
pada tanggal
22 Agustus 2019
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Menkopolhukam Wiranto mengungkapkan 99 persen penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia adalah karena ulah manusia. Dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Karhutla 2019 di kantor Kemenkopolhukam di Jakarta, Rabu (21/08/2019), Wiranto menjelaskan masih banyak anggota masyarakat yang menggunakan cara-cara tradisional untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan. Salah satunya adalah dengan membakar lahan.
“Kebakaran hutan itu, sebagian atau persentase terbesarnya karena ulah manusia. Ladang berpindah, membuka lahan dengan membakar hutan untuk bercocok tanam menghadapi musim hujan dan sebagainya ternyata itu memang bagian terbesar kenapa terjadi kebakaran hutan di beberapa wilayah,”ungkap Wiranto.
Ditambahkannya, berdasarkan data yang ada jumlah titik api (hot spot) pada tahun ini lebih banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun memang jumlahnya masih rendah dibandingkan dengan tahun 2015. Meski begitu, Wiranto tidak merinci jumlah hot spot yang bertambah tersebut.
Guna mengatasi masalah karhutla 2019, pemerintah mempunyai beberapa cara. Wiranto menjelaskan cara yang pertama, yang paling efektif untuk memadamkan karhutla, adalah dengan hujan. Diakuinya, pada Agustus dan September, yang merupakan puncak musim kemarau, akan sulit untuk mendapatkan hujan. Karena itu pihaknya akan bekerjasama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)untuk membuat hujan buatan. Selain itu, pemerintah juga mempersiapkan water bombing apabila hujan buatan tidak berhasil memadamkan api.
Di lapangan, kata Wiranto, setidaknya sudah ada 37 pesawat helikopter untuk mengangkut personel dan juga water bombing.
Cara yang kedua, yang menurut Wiranto sangat penting adalah edukasi dan mengajak petani atau masyarakat untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar lahan. Selama ini, sanksi hukum kepada para pembakar hutan dan lahan cenderung ringan, sehingga tidak memberikan efek jera. Oleh karena itu ia mengajak perusahaan atau korporasi untuk membantu masyarakat atau petani di daerah untuk meminjamkan alat-alat besarnya agar bisa membuka lahan pertanian tanpa membakar lahan.
“Tadi disimpulkan bahwa korporasi ini kan punya traktor dan eskavator yang besar. Itu bisa diperbantukan ke masyarakat untuk tidak membakar hutan, tapi membersihkan lahan pakai alat-alat berat, ini akan kita laksanakan seperti itu,” jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga akan kembali lebih menggalakkan dan mengaktifkan pasukan kebakaran hutan (Manggala Agni), serta melakukan koordinasi antara Manggala Agni, Pemda, TNI dan juga Polri untuk tetap bersiaga memadamkan api yang sulit dipadamkan.
Untuk penanggulangan karhutla 2019, Wiranto menyatakan dananya berasal dari dana tanggap darurat yang bisa dengan cepat dicairkan, mengingat ada ribuan personel yang dikerahkan untuk memadamkan kebakaran di banyak titik api yang tersebar di beberapa provinsi.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menjelaskan hot spot terparah ada di enam provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Khusus pada tahun ini, kata Doni, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi penyebab bertambah banyak hot spot, yang rata-rata meningkat 50 persen. Meski begitu, yang terbakar di NTT hanya rumput ilalang saja, sehingga asapnya bisa cepat hilang.
“Dari enam provinsi itu, luas lahan yang terbakar sampai Juli ada 135 ribu hektar, 71 ribu hektarnya di NTT. Hanya karena NTT itu yang terbakar rumput, jadi asapnya sebentar hilang. Yang menjadi masalah, gambut yang terbakar ini. Walaupun cuma 100 ha, tapi asapnya luar biasa, jadi polutan yang ditimbulkan gambut dahsyat sekali. Inilah yang sangat membahayakan kesehatan,” ujar Doni.
Ke depan, Doni berharap akan ada sanksi tegas terhadap perusahaan pelaku pembakaran hutan yaitu dengan mencabut izin usahanya, agar pembakaran hutan tidak terus berulang. Ia juga mengimbau tokoh-tokoh masyarakat di masing-masing daerah untuk mengajak dan mengedukasi masyarakat dan petani, agar mencari cara lain untuk bisa bertani. Ia mengingatkan pembakaran lahan gambut misalnya, sangat sulit dipadamkan dan asapnya berbahaya bagi kesehatan.
“Saya harap ada sanksi yang tegas, seperti mencabut izin. Karena saya katakan ini ancaman permanen. Masa setiap tahun kita begini terus, biaya keluar, tenaga habis, waktu tersita, Presiden sampai berulang kali turun tangan. Kan malu kita, masa tiap tahun begini Presiden turun tangan terus, masa kita tidak bisa selesaikan. Dari semua persoalan ini, yang paling penting bagaimana kita bersama-sama, tidak bisa pemerintah pusat saja. Pemda, semua komponen termasuk ulamanya, budayawannya, relawannya, LSM-nya, semua bergerak bersama-sama untuk menyuarakan kepada banyak pihak janganlah membakar, karena apabila dibakar apalagi lahan gambut, memadamkanya sangat-sangat susah,” jelasnya.
Ia juga berharap ada upaya dari Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi (BPPT) untuk menemukan solusi berupa teknologi pembukaan lahan pertanian atau perkebunan tanpa karhutla. Menurutnya cara tersebut nantinya dapat mengurangi karhutla di masa depan. (VOA)
“Kebakaran hutan itu, sebagian atau persentase terbesarnya karena ulah manusia. Ladang berpindah, membuka lahan dengan membakar hutan untuk bercocok tanam menghadapi musim hujan dan sebagainya ternyata itu memang bagian terbesar kenapa terjadi kebakaran hutan di beberapa wilayah,”ungkap Wiranto.
Ditambahkannya, berdasarkan data yang ada jumlah titik api (hot spot) pada tahun ini lebih banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun memang jumlahnya masih rendah dibandingkan dengan tahun 2015. Meski begitu, Wiranto tidak merinci jumlah hot spot yang bertambah tersebut.
Guna mengatasi masalah karhutla 2019, pemerintah mempunyai beberapa cara. Wiranto menjelaskan cara yang pertama, yang paling efektif untuk memadamkan karhutla, adalah dengan hujan. Diakuinya, pada Agustus dan September, yang merupakan puncak musim kemarau, akan sulit untuk mendapatkan hujan. Karena itu pihaknya akan bekerjasama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)untuk membuat hujan buatan. Selain itu, pemerintah juga mempersiapkan water bombing apabila hujan buatan tidak berhasil memadamkan api.
Di lapangan, kata Wiranto, setidaknya sudah ada 37 pesawat helikopter untuk mengangkut personel dan juga water bombing.
Cara yang kedua, yang menurut Wiranto sangat penting adalah edukasi dan mengajak petani atau masyarakat untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar lahan. Selama ini, sanksi hukum kepada para pembakar hutan dan lahan cenderung ringan, sehingga tidak memberikan efek jera. Oleh karena itu ia mengajak perusahaan atau korporasi untuk membantu masyarakat atau petani di daerah untuk meminjamkan alat-alat besarnya agar bisa membuka lahan pertanian tanpa membakar lahan.
“Tadi disimpulkan bahwa korporasi ini kan punya traktor dan eskavator yang besar. Itu bisa diperbantukan ke masyarakat untuk tidak membakar hutan, tapi membersihkan lahan pakai alat-alat berat, ini akan kita laksanakan seperti itu,” jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga akan kembali lebih menggalakkan dan mengaktifkan pasukan kebakaran hutan (Manggala Agni), serta melakukan koordinasi antara Manggala Agni, Pemda, TNI dan juga Polri untuk tetap bersiaga memadamkan api yang sulit dipadamkan.
Untuk penanggulangan karhutla 2019, Wiranto menyatakan dananya berasal dari dana tanggap darurat yang bisa dengan cepat dicairkan, mengingat ada ribuan personel yang dikerahkan untuk memadamkan kebakaran di banyak titik api yang tersebar di beberapa provinsi.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menjelaskan hot spot terparah ada di enam provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Khusus pada tahun ini, kata Doni, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi penyebab bertambah banyak hot spot, yang rata-rata meningkat 50 persen. Meski begitu, yang terbakar di NTT hanya rumput ilalang saja, sehingga asapnya bisa cepat hilang.
“Dari enam provinsi itu, luas lahan yang terbakar sampai Juli ada 135 ribu hektar, 71 ribu hektarnya di NTT. Hanya karena NTT itu yang terbakar rumput, jadi asapnya sebentar hilang. Yang menjadi masalah, gambut yang terbakar ini. Walaupun cuma 100 ha, tapi asapnya luar biasa, jadi polutan yang ditimbulkan gambut dahsyat sekali. Inilah yang sangat membahayakan kesehatan,” ujar Doni.
Ke depan, Doni berharap akan ada sanksi tegas terhadap perusahaan pelaku pembakaran hutan yaitu dengan mencabut izin usahanya, agar pembakaran hutan tidak terus berulang. Ia juga mengimbau tokoh-tokoh masyarakat di masing-masing daerah untuk mengajak dan mengedukasi masyarakat dan petani, agar mencari cara lain untuk bisa bertani. Ia mengingatkan pembakaran lahan gambut misalnya, sangat sulit dipadamkan dan asapnya berbahaya bagi kesehatan.
“Saya harap ada sanksi yang tegas, seperti mencabut izin. Karena saya katakan ini ancaman permanen. Masa setiap tahun kita begini terus, biaya keluar, tenaga habis, waktu tersita, Presiden sampai berulang kali turun tangan. Kan malu kita, masa tiap tahun begini Presiden turun tangan terus, masa kita tidak bisa selesaikan. Dari semua persoalan ini, yang paling penting bagaimana kita bersama-sama, tidak bisa pemerintah pusat saja. Pemda, semua komponen termasuk ulamanya, budayawannya, relawannya, LSM-nya, semua bergerak bersama-sama untuk menyuarakan kepada banyak pihak janganlah membakar, karena apabila dibakar apalagi lahan gambut, memadamkanya sangat-sangat susah,” jelasnya.
Ia juga berharap ada upaya dari Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi (BPPT) untuk menemukan solusi berupa teknologi pembukaan lahan pertanian atau perkebunan tanpa karhutla. Menurutnya cara tersebut nantinya dapat mengurangi karhutla di masa depan. (VOA)