Anike Rawar Nilai Pasal Kontroversial RUU KUHP Tak Cocok Diterapkan di Papua
pada tanggal
28 September 2019
JAYAPURA, LELEMUKU.COM - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Provinsi Papua meminta lembaga terkait di Jakarta, tak buru-buru mengesahkan RUU KUHP.
Sebelas pasal kontroversial yang memicu gejolak di kalangan mahasiswa, dipandang bertentangan dengan budaya dan adat Orang Asli Papua (OAP).
“Saya kira (pengesahan RUU KUHP) harus dikaji, direvisi dan dilihat dulu apakah produk hukum ini bisa diterapkan (di Papua) atau sebaliknya. Papua ini kan punya ratusan suku, budaya dan adat yang berbeda-beda pula. Sehingga kami rasa kurang bijak bila langsung mengesahkan tanpa mempertimbangkan budaya dan adat yang ada di Papua,” terang Kepala DPPPA Papua Anike Rawar di Jayapura, Kamis (26/9/2019).
Ia pun menyoroti pasal 432 dalam RUU KUHP, dimana seorang wanita pekerja pulang malam hari dan terlunta-lunta hingga dianggap gelandangan, bakal didenda Rp1 juta.
Hal demikian dinilainya, sangat tak cocok diterapkan di bumi cenderawasih, sebab perempuan Papua merupakan pelaku ekonomi diatas tanah ini.
“Wanita Papua ini mereka biasa mencari nafkah sejak pagi bahkan sampai matahari terbenam. Sehingga kalau RUU KUHP ini disahkan, maka sangat bertolak belakang dengan budaya kami”.
“Intinya RUU KUHP ini (jika disahkan) akan muncul konflik buat kami perempuan yang ada di Papua. Sebab yang bekerja di Papua (khusus warga asli) kebanyakan adalah perempuan,” tegasnya.
Diketahui, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RUU KUHP menjadi polemik dalam dua pekan terakhir.
Penolakan terhadap RUU KUHP datang dari berbagai kalangan, tak terkecuali para mahasiswa. Mereka menilai RUU KUHP yang akan menggantikan KUHP peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda, masih banyak mengandung pasal yang multitafsir atau karet. (DiskominfoPapua)
Sebelas pasal kontroversial yang memicu gejolak di kalangan mahasiswa, dipandang bertentangan dengan budaya dan adat Orang Asli Papua (OAP).
“Saya kira (pengesahan RUU KUHP) harus dikaji, direvisi dan dilihat dulu apakah produk hukum ini bisa diterapkan (di Papua) atau sebaliknya. Papua ini kan punya ratusan suku, budaya dan adat yang berbeda-beda pula. Sehingga kami rasa kurang bijak bila langsung mengesahkan tanpa mempertimbangkan budaya dan adat yang ada di Papua,” terang Kepala DPPPA Papua Anike Rawar di Jayapura, Kamis (26/9/2019).
Ia pun menyoroti pasal 432 dalam RUU KUHP, dimana seorang wanita pekerja pulang malam hari dan terlunta-lunta hingga dianggap gelandangan, bakal didenda Rp1 juta.
Hal demikian dinilainya, sangat tak cocok diterapkan di bumi cenderawasih, sebab perempuan Papua merupakan pelaku ekonomi diatas tanah ini.
“Wanita Papua ini mereka biasa mencari nafkah sejak pagi bahkan sampai matahari terbenam. Sehingga kalau RUU KUHP ini disahkan, maka sangat bertolak belakang dengan budaya kami”.
“Intinya RUU KUHP ini (jika disahkan) akan muncul konflik buat kami perempuan yang ada di Papua. Sebab yang bekerja di Papua (khusus warga asli) kebanyakan adalah perempuan,” tegasnya.
Diketahui, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RUU KUHP menjadi polemik dalam dua pekan terakhir.
Penolakan terhadap RUU KUHP datang dari berbagai kalangan, tak terkecuali para mahasiswa. Mereka menilai RUU KUHP yang akan menggantikan KUHP peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda, masih banyak mengandung pasal yang multitafsir atau karet. (DiskominfoPapua)