Go Life, Teknologi dari Gojek Buka Peluang Kerja Baru untuk Difabel
pada tanggal
22 September 2019
WONOSOBO, LELEMUKU.COM - Senyum lebar tak pernah lepas dari Arif Suyanto, seorang tuli yang kini memberikan jasa cuci mobil. Baru beberapa pekan dia menjalani profesi baru ini, setelah berhenti dari pekerjaan lamanya sebagai tukang parkir di Wonosobo, Jawa Tengah.
Untuk berkomunikasi dengannya, kita bisa menulis di telepon genggam. Namun, dia juga bisa membaca gerak bibir, sehingga untuk kalimat pendek yang diucapkan secara jelas, Arif masih bisa memahami. Kadang, dia juga berbicara meski harus didengarkan dengan seksama untuk tahu maksudnya.
“Saya tidak pernah mengobrol, jadi malu. Enggak apa-apa ya,” katanya kepada VOA sambil tertawa.
Pria kelahiran 1982 ini sudah menikah dan memiliki dua anak. Istrinya juga seorang tuli dan bekerja sebagai tukang jahit di kota asalnya. Dalam perbincangan tertulis dengan VOA, lulusan SLB Don Bosco, Wonosobo ini pindah ke Yogyakarta karena dia ingin kenaikan pendapatan, dengan menjual jasa cuci mobil melalui aplikasi Go Life. Penyedia aplikasi ini, PT Aplikasi Karya Anak Bangsa yang juga melahirkan Gojek, memberi peluang lebih bagi difabel.
Di dalam aplikasi, Go Life memberi informasi penyedia jasa difabel bagi konsumen. Akun mereka dapat disimpan sebagai favorit, dan akan menjadi prioritas jika membutuhkan layanan kembali.
Gerakan Hilangkan Batasan
Sejak setahun yang lalu, Gojek melalui Go Life mengkampanyekan gerakan sosial #HilangkanBatasan. Gerakan sosial ini bertujuan mengubah persepsi masyarakat terhadap kemampuan penyandang disabilitas. Di sisi lain, penyandang disabilitas diajak untuk percaya, bahwa mereka juga dapat berkarya maksimal tanpa batas.
Dalam keterangan resmi yang disampaikan ke VOA, VP Marketing Go Life, Yuanita Agata mengatakan gerakan sosial #HilangkanBatasan bertujuan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap mitra Go Life.
“Kami melihat masih ada masyarakat dan konsumen Go Life yang ragu dengan kemampuan mitra-mitra disabilitas. Terkadang ini juga didasari oleh rasa iba. Ini yang ingin kami ubah, agar kawan-kawan difabel juga memiliki kesempatan sama dalam berkarta, “ kata Yuanita.
Dalam aplikasi Go Life, difabel dapat bergabung pada Go Auto seperti Arif maupun Go Massage, yaitu layanan relaksasi. Sebagai komitmen Go Life, Yuanita menegaskan ada satu mitra difabel di setiap dua puluh mitra aktif dua layanan ini.
“Dengan tantangan yang dimiliki, mitra disabilitas ternyata mampu mendapatkan penghasilan yang bersaing dengan mitra-mitra lainnya. Dari sisi kualitas, lebih dari 90 persen pengguna Go Life menyatakan puas atas pelayanan yang diberikan mitra penyandang disabilitas,” tambah Yuanita.
Suharto Direktur Sigab (Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel) mengakui, perkembangan teknologi informasi banyak membantu difabel memperoleh pekerjaan.
“Sekarang jelas lebih mudah karena teknologi menjadi jembatan bagi difabel untuk mempertemukan mereka dengan pemberi kerja. Karena selama ini, mereka ketika bertemu langsung dengan employer itu mendapat beberapa hambatan, diantaranya mobilitas, kemudian komunikasi. Dengan adanya aplikasi yang bersifat terbuka, ini menjembatani,” ujar Suharto.
Penyedia aplikasi, seperti Go Life, menjadi tempat pertemuan difabel dan mereka yang membutuhkan jasa. Ini sangat mempermudah difabel mendapatkan pekerjaan, karena menurut Suharto, ada pra kondisi yang menyertainya. Pemberi pekerjaan telah tahu sebelumnya, bahwa orang yang berhubungan dengan mereka adalah difabel.
Iklim Lebih Baik
Secara umum, kata Suharto lapangan pekerjaan bagi difabel saat ini tersedia jauh lebih banyak dibanding masa lalu. Salah satu faktornya adalah karena Indonesia sudah memiliki UU No.8 tahun 2016 yang antara lain mewajibkan perusahaan menyediakan kuota bagi pekerja difabel. Namun, Suharto menyadari, semua masih dalam proses, baik bagi penyedia kerja maupun difabel sendiri. Karena itu, meski kuota tidak pernah terpenuhi, iklim yang lebih baik sudah cukup membantu.
Suharto juga mendorong, penyedia pekerjaan termasuk pemerintah melalui lowongan calon pegawai negeri, BUMN dan perusahaan swasta untuk tidak terlalu ketat memberikan batasan bagi difabel. Misalnya, penetapan syarat yang terlalu rinci dan ketat, yang justru membatasi difabel sendiri untuk mengaksesnya. Suharto memastikan, ada banyak teknologi yang bisa digunakan untuk mempermudah difabel bekerja.
“Difabel netra bisa bekerja dengan komputer, kalau disediakan software yang mendukung aksesibilitas bagi mereka, katakanlah screen reader, screen magnifier dan sejenisnya,” tambah Suharto yang mengalami low vision namun mampu menyelesaikan pendidikan S2 di Belanda dan program doktor di Australia.
Kepercayaan Diri Jadi PR
Dwiyanto dari lembaga CIQAL (Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities) menyebut, Indonesia sebenarnya menetapkan kuota dua persen pekerja dari kelompok difabel. Namun angka itu tidak pernah dapat dipenuhi.
“Pada kenyataannya, yang dua persen itu tidak diakses penuh oleh teman-teman difabel. Salah satu sebabnya, karena pendidikan disabilitas saat ini banyak sekali yang tidak memenuhi kualifikasi. Ini disebabkan, karena disabilitas sekarang ini yang usia produktif, pendidikannya kurang. Paling tinggi setara SD. Kenapa? Karena SD dulu selalu ada di kampungnya, jadi dekat,” kata Dwiyanto.
Di masa lalu, tidak ada cukup banyak sekolah inklusi. Mereka yang menggunakan kursi roda misalnya, kata Dwiyanto, begitu melihat tangga di sekolah sudah mengurungkan niat meraih pendidikan lebih tinggi. Seandainya pendidikan inklusi sudah ada sejak puluhan tahun lalu, kelompok difabel yang saat ini berada di usia produktif tentu akan bisa memenuhi kualifikasi yang ditetapkan sebagian besar penyedia kerja.
Namun, ada juga faktor internal yang menjadi pekerjaan rumah bagi difabel maupun organisasi yang peduli kepada mereka. Faktor itu adalah kepercayaan diri yang kurang. Dwiyanto bercerita, melalui lembaganya sebuah hotel pernah membuka peluang kerja bagi difabel. Setelah beberapa waktu bekerja, difabel itu mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ada faktor ketidakpercayaan diri yang harus masih harus diatasi, kata Dwiyanto, dan ini terkait sikap keluarga di masa kecil.
“Sebetulnya ada faktor keluarga. Orang tua kadang terlalu sayang, sehingga khawatir pada anaknya jika ke sana-sini. Kalau dari didikan orang tua dari kecil dibiarkan seperti anak lain umumnya, saya kira akan beda kemandiriannya,” tambah Dwiyanto, aktivis yang juga seorang difabel. (VOA)
Untuk berkomunikasi dengannya, kita bisa menulis di telepon genggam. Namun, dia juga bisa membaca gerak bibir, sehingga untuk kalimat pendek yang diucapkan secara jelas, Arif masih bisa memahami. Kadang, dia juga berbicara meski harus didengarkan dengan seksama untuk tahu maksudnya.
“Saya tidak pernah mengobrol, jadi malu. Enggak apa-apa ya,” katanya kepada VOA sambil tertawa.
Pria kelahiran 1982 ini sudah menikah dan memiliki dua anak. Istrinya juga seorang tuli dan bekerja sebagai tukang jahit di kota asalnya. Dalam perbincangan tertulis dengan VOA, lulusan SLB Don Bosco, Wonosobo ini pindah ke Yogyakarta karena dia ingin kenaikan pendapatan, dengan menjual jasa cuci mobil melalui aplikasi Go Life. Penyedia aplikasi ini, PT Aplikasi Karya Anak Bangsa yang juga melahirkan Gojek, memberi peluang lebih bagi difabel.
Di dalam aplikasi, Go Life memberi informasi penyedia jasa difabel bagi konsumen. Akun mereka dapat disimpan sebagai favorit, dan akan menjadi prioritas jika membutuhkan layanan kembali.
Gerakan Hilangkan Batasan
Sejak setahun yang lalu, Gojek melalui Go Life mengkampanyekan gerakan sosial #HilangkanBatasan. Gerakan sosial ini bertujuan mengubah persepsi masyarakat terhadap kemampuan penyandang disabilitas. Di sisi lain, penyandang disabilitas diajak untuk percaya, bahwa mereka juga dapat berkarya maksimal tanpa batas.
Dalam keterangan resmi yang disampaikan ke VOA, VP Marketing Go Life, Yuanita Agata mengatakan gerakan sosial #HilangkanBatasan bertujuan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap mitra Go Life.
“Kami melihat masih ada masyarakat dan konsumen Go Life yang ragu dengan kemampuan mitra-mitra disabilitas. Terkadang ini juga didasari oleh rasa iba. Ini yang ingin kami ubah, agar kawan-kawan difabel juga memiliki kesempatan sama dalam berkarta, “ kata Yuanita.
Dalam aplikasi Go Life, difabel dapat bergabung pada Go Auto seperti Arif maupun Go Massage, yaitu layanan relaksasi. Sebagai komitmen Go Life, Yuanita menegaskan ada satu mitra difabel di setiap dua puluh mitra aktif dua layanan ini.
“Dengan tantangan yang dimiliki, mitra disabilitas ternyata mampu mendapatkan penghasilan yang bersaing dengan mitra-mitra lainnya. Dari sisi kualitas, lebih dari 90 persen pengguna Go Life menyatakan puas atas pelayanan yang diberikan mitra penyandang disabilitas,” tambah Yuanita.
Suharto Direktur Sigab (Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel) mengakui, perkembangan teknologi informasi banyak membantu difabel memperoleh pekerjaan.
“Sekarang jelas lebih mudah karena teknologi menjadi jembatan bagi difabel untuk mempertemukan mereka dengan pemberi kerja. Karena selama ini, mereka ketika bertemu langsung dengan employer itu mendapat beberapa hambatan, diantaranya mobilitas, kemudian komunikasi. Dengan adanya aplikasi yang bersifat terbuka, ini menjembatani,” ujar Suharto.
Penyedia aplikasi, seperti Go Life, menjadi tempat pertemuan difabel dan mereka yang membutuhkan jasa. Ini sangat mempermudah difabel mendapatkan pekerjaan, karena menurut Suharto, ada pra kondisi yang menyertainya. Pemberi pekerjaan telah tahu sebelumnya, bahwa orang yang berhubungan dengan mereka adalah difabel.
Iklim Lebih Baik
Secara umum, kata Suharto lapangan pekerjaan bagi difabel saat ini tersedia jauh lebih banyak dibanding masa lalu. Salah satu faktornya adalah karena Indonesia sudah memiliki UU No.8 tahun 2016 yang antara lain mewajibkan perusahaan menyediakan kuota bagi pekerja difabel. Namun, Suharto menyadari, semua masih dalam proses, baik bagi penyedia kerja maupun difabel sendiri. Karena itu, meski kuota tidak pernah terpenuhi, iklim yang lebih baik sudah cukup membantu.
Suharto juga mendorong, penyedia pekerjaan termasuk pemerintah melalui lowongan calon pegawai negeri, BUMN dan perusahaan swasta untuk tidak terlalu ketat memberikan batasan bagi difabel. Misalnya, penetapan syarat yang terlalu rinci dan ketat, yang justru membatasi difabel sendiri untuk mengaksesnya. Suharto memastikan, ada banyak teknologi yang bisa digunakan untuk mempermudah difabel bekerja.
“Difabel netra bisa bekerja dengan komputer, kalau disediakan software yang mendukung aksesibilitas bagi mereka, katakanlah screen reader, screen magnifier dan sejenisnya,” tambah Suharto yang mengalami low vision namun mampu menyelesaikan pendidikan S2 di Belanda dan program doktor di Australia.
Kepercayaan Diri Jadi PR
Dwiyanto dari lembaga CIQAL (Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities) menyebut, Indonesia sebenarnya menetapkan kuota dua persen pekerja dari kelompok difabel. Namun angka itu tidak pernah dapat dipenuhi.
“Pada kenyataannya, yang dua persen itu tidak diakses penuh oleh teman-teman difabel. Salah satu sebabnya, karena pendidikan disabilitas saat ini banyak sekali yang tidak memenuhi kualifikasi. Ini disebabkan, karena disabilitas sekarang ini yang usia produktif, pendidikannya kurang. Paling tinggi setara SD. Kenapa? Karena SD dulu selalu ada di kampungnya, jadi dekat,” kata Dwiyanto.
Di masa lalu, tidak ada cukup banyak sekolah inklusi. Mereka yang menggunakan kursi roda misalnya, kata Dwiyanto, begitu melihat tangga di sekolah sudah mengurungkan niat meraih pendidikan lebih tinggi. Seandainya pendidikan inklusi sudah ada sejak puluhan tahun lalu, kelompok difabel yang saat ini berada di usia produktif tentu akan bisa memenuhi kualifikasi yang ditetapkan sebagian besar penyedia kerja.
Namun, ada juga faktor internal yang menjadi pekerjaan rumah bagi difabel maupun organisasi yang peduli kepada mereka. Faktor itu adalah kepercayaan diri yang kurang. Dwiyanto bercerita, melalui lembaganya sebuah hotel pernah membuka peluang kerja bagi difabel. Setelah beberapa waktu bekerja, difabel itu mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ada faktor ketidakpercayaan diri yang harus masih harus diatasi, kata Dwiyanto, dan ini terkait sikap keluarga di masa kecil.
“Sebetulnya ada faktor keluarga. Orang tua kadang terlalu sayang, sehingga khawatir pada anaknya jika ke sana-sini. Kalau dari didikan orang tua dari kecil dibiarkan seperti anak lain umumnya, saya kira akan beda kemandiriannya,” tambah Dwiyanto, aktivis yang juga seorang difabel. (VOA)