Oliver Srue Nilai Pernyataan Thomas Weriratan Berusaha Jelekkan Citra Baik STKIPS
pada tanggal
21 Februari 2020
LAURAN, LELEMUKU.COM – Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan Saumlaki (STKIPS) yang bernaung pada Yayasan Perguruan Tinggi Rumpun Lelemuku Saumlaki (YPT-RLS) di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku mengecam keras pernyataan dari salah satu oknum warga yang mengaku mengatasnamakan orangtua dari mahasiswa bermarga Weriratan yang terkesan menyudutkan dan berusaha membuat buruk citra dan nama baik lembaga tersebut.
“Saya ingin meluruskan beberapa hal terkait dengan berita yang dimuat di saburomedia.com tertanggal 17 Februari 2020 dengan judul ‘Mahasiswa STKIPS KKT keluhkan Biaya Kuliah Mahal’ yang disampaikan oleh katanya mewakili orangtua mahasiswa, Thomas Weriratan. Kami menilai informasi itu hanya mencoba untuk membuat citra dan nama baik STKIP dimata publik menjadi hancur,” kata Ketua STKIPS, Oliver Srue, S.Th., M.Pd kepada Lelemuku.com pada Rabu (20/02/2020).
Ia mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan pengecekan dokumen mahasiswa dari angkatan pertama di tahun 2012 lalu hingga 2020 ini, namun tidak ada satupun mahasiswanya yang memiliki marga ataupun bernama belakang ‘Weriratan’.
Kemudian Srue menyatakan kekecewaannya terkait beberapa pernyataan yang tidak berdasar dan telah dilontarkan oleh Thomas Weriratan, diantaranya menuding bahwa pihak kampus telah sewenang-wenang menaikan biaya SPP, adanya aksi pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh setiap dosen, melakukan nepotisme dalam pemberian beasiswa, kualitas dari dosen pengajar yang diragukan dan jumlah mahasiswa yang tidak memenuhi strandar dalam kelas.
Menurut Srue hal tersebut merupakan pernyataan bohong atau hoax yang sangat merugikan pihaknya karena STKIPS sangat berpegang pada Peraturan YPT-RLS Nomor 01 Tahun 2018 tentang ‘Pedoman Pelaksanaan Anggaran yang juga diterapkan oleh kedua lembaga lainnya, yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Saumlaki (STIESA) dan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Saumlaki (STIAS) yang tidak pernah ada kenaikan atau perubahan sedikitpun.
Selain itu, dirinya mengaku bahwa STKIPS telah memiliki ijin pendirian yang jelas dari Kementerian Pendidikan, sehingga telah terakreditasi dan sementara sedang berlangsung pendampingan peningkatan akreditasi dari C ke B oleh Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah XII Maluku dan Maluku Utara (Malut) serta meraih peringkat ke-4 pelaporan data terbaik di tahun 2019 lalu.
“Seleksi penerimaan beasiswa bidikmisi, PPA dan Inpex melalui sisitem dan mekanisme dan semua mahasiswa berpeluang untuk mendapatkan beasiswa. Jadi pernyataan dari Thomas Weriratan itu sama seklai tidak benar dan sudah sangat merugikan lembaga STKIPS, maka saya pastikan bahwa yang bersangkutan akan segera kami pidanakan, karena Thomas Weriratan telah mencoba untuk menyebarkan berita bohong ke publik sehingga mencemarkan nama baik STKIPS,” kecam Srue.
Seperti diberitakan Saburomedia.com, Thomas Weriratan, warga yang mengklaim orang tua dari salah satu mahasiswa pada STKIPS mengeluhkan biaya kuliah yang begitu mahal. Selain, Weriratan mengklaim biaya di sekolah tersebut mahal dengan kualitas staf pengajar yang dipertanyakan karena tidak sesuai dengan dasar keilmuannya.
”Kami orang tua hampir-hampir tak bisa bernapas jika saat pembayaran uang semester tiba, tak hanya itu kualias tenaga Pengajar juga patut di pertanyakan, sebab seorang Magister Hukum, bisa mengajar mata Pelajaran Bahasa Inggris, Master Thelogia bisa mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris, itu khan aneh, tetapi di kampus STKIPS yang bersangkutan tetap dilegalkan dan semua petinggi di kampus salah satunya Ketua Yayasan seakan menutup mata untuk hal itu, ” terangnya kepada media tersebut via seluler, Senin (17/02/2020).
Weriratan mengatakan kecewa dengan kampus yang sudah mencetak beberapa lulusan dengan Gelar S.Pd dan memiliki dua jurusan diantaranya Matematika dan Bahasa Inggris itu. Sebab pihak kampus yang sewenang-wenang menaikan biaya SPP dan aksi pungli yang dilakukan oleh Dosen mata kuliah.
“Atas kondisi itu, mewakili orang tua mahasiswa saya ingin menyampaikan kepada Ketua LLDIKTI Wilayah Maluku – Maluku Utara, bolehkah sarjana yang bukan besiknya bisa menyajikan mata kuliah lain? Harapannya bisa ada perhatian atas kondisi tersebut. Kami merasa ditipu dan dipermainkan, jika di perbolehkan layangkan teguran keras dan sesegera mungkin dilakukan pembenahan terhadap dosen- dosen tenaga pengajar tersebut,” tuntut dia.
Ia juga menuntut agar pihak-pihak berwenang dapat melakukan verifikasi dosen-dosen yang ijazahnya dilaporkan di LLDIKTI sebagai tenaga pengajar. Sebab ia mengklaim para dosen tersebut sudah diberhentikan sekian lama dari Dosen STKIPS tersebut.
“Tak hanya itu, beberapa keluhan dari orang tua mahasiswa juga disampaikan diantaranya sosialisasi Penerimaan Masiswa Baru di sampaikan bahwa akan di berikan beberapa beasiswa kepada para pendaftar yang bergabung di STKIPS tetapi pada kenyataannya semua berbeda. Beasiswa yang diumumkan itu hanya di peruntunkan bagi adik,saudara atau anak dari petinggi-petinggi di STKIPS. Jadi kami heran tapi mau dibuat bagaimana kami hanya masyarakat kecil yang kurang tersentuh oleh keadilan, ” tuduhnya.
Alhasil klaim Weriratan, hingga semester dua dan seterusnya anak-anak mulai berhenti kuliah karna tak mampu membayar SPP dan hasilya satu kelas hanya ada dua atau tiga mahasiswa yang aktif berkuliah. (Albert Batlayeri)
“Saya ingin meluruskan beberapa hal terkait dengan berita yang dimuat di saburomedia.com tertanggal 17 Februari 2020 dengan judul ‘Mahasiswa STKIPS KKT keluhkan Biaya Kuliah Mahal’ yang disampaikan oleh katanya mewakili orangtua mahasiswa, Thomas Weriratan. Kami menilai informasi itu hanya mencoba untuk membuat citra dan nama baik STKIP dimata publik menjadi hancur,” kata Ketua STKIPS, Oliver Srue, S.Th., M.Pd kepada Lelemuku.com pada Rabu (20/02/2020).
Ia mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan pengecekan dokumen mahasiswa dari angkatan pertama di tahun 2012 lalu hingga 2020 ini, namun tidak ada satupun mahasiswanya yang memiliki marga ataupun bernama belakang ‘Weriratan’.
Kemudian Srue menyatakan kekecewaannya terkait beberapa pernyataan yang tidak berdasar dan telah dilontarkan oleh Thomas Weriratan, diantaranya menuding bahwa pihak kampus telah sewenang-wenang menaikan biaya SPP, adanya aksi pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh setiap dosen, melakukan nepotisme dalam pemberian beasiswa, kualitas dari dosen pengajar yang diragukan dan jumlah mahasiswa yang tidak memenuhi strandar dalam kelas.
Menurut Srue hal tersebut merupakan pernyataan bohong atau hoax yang sangat merugikan pihaknya karena STKIPS sangat berpegang pada Peraturan YPT-RLS Nomor 01 Tahun 2018 tentang ‘Pedoman Pelaksanaan Anggaran yang juga diterapkan oleh kedua lembaga lainnya, yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Saumlaki (STIESA) dan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Saumlaki (STIAS) yang tidak pernah ada kenaikan atau perubahan sedikitpun.
Selain itu, dirinya mengaku bahwa STKIPS telah memiliki ijin pendirian yang jelas dari Kementerian Pendidikan, sehingga telah terakreditasi dan sementara sedang berlangsung pendampingan peningkatan akreditasi dari C ke B oleh Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah XII Maluku dan Maluku Utara (Malut) serta meraih peringkat ke-4 pelaporan data terbaik di tahun 2019 lalu.
“Seleksi penerimaan beasiswa bidikmisi, PPA dan Inpex melalui sisitem dan mekanisme dan semua mahasiswa berpeluang untuk mendapatkan beasiswa. Jadi pernyataan dari Thomas Weriratan itu sama seklai tidak benar dan sudah sangat merugikan lembaga STKIPS, maka saya pastikan bahwa yang bersangkutan akan segera kami pidanakan, karena Thomas Weriratan telah mencoba untuk menyebarkan berita bohong ke publik sehingga mencemarkan nama baik STKIPS,” kecam Srue.
Seperti diberitakan Saburomedia.com, Thomas Weriratan, warga yang mengklaim orang tua dari salah satu mahasiswa pada STKIPS mengeluhkan biaya kuliah yang begitu mahal. Selain, Weriratan mengklaim biaya di sekolah tersebut mahal dengan kualitas staf pengajar yang dipertanyakan karena tidak sesuai dengan dasar keilmuannya.
”Kami orang tua hampir-hampir tak bisa bernapas jika saat pembayaran uang semester tiba, tak hanya itu kualias tenaga Pengajar juga patut di pertanyakan, sebab seorang Magister Hukum, bisa mengajar mata Pelajaran Bahasa Inggris, Master Thelogia bisa mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris, itu khan aneh, tetapi di kampus STKIPS yang bersangkutan tetap dilegalkan dan semua petinggi di kampus salah satunya Ketua Yayasan seakan menutup mata untuk hal itu, ” terangnya kepada media tersebut via seluler, Senin (17/02/2020).
Weriratan mengatakan kecewa dengan kampus yang sudah mencetak beberapa lulusan dengan Gelar S.Pd dan memiliki dua jurusan diantaranya Matematika dan Bahasa Inggris itu. Sebab pihak kampus yang sewenang-wenang menaikan biaya SPP dan aksi pungli yang dilakukan oleh Dosen mata kuliah.
“Atas kondisi itu, mewakili orang tua mahasiswa saya ingin menyampaikan kepada Ketua LLDIKTI Wilayah Maluku – Maluku Utara, bolehkah sarjana yang bukan besiknya bisa menyajikan mata kuliah lain? Harapannya bisa ada perhatian atas kondisi tersebut. Kami merasa ditipu dan dipermainkan, jika di perbolehkan layangkan teguran keras dan sesegera mungkin dilakukan pembenahan terhadap dosen- dosen tenaga pengajar tersebut,” tuntut dia.
Ia juga menuntut agar pihak-pihak berwenang dapat melakukan verifikasi dosen-dosen yang ijazahnya dilaporkan di LLDIKTI sebagai tenaga pengajar. Sebab ia mengklaim para dosen tersebut sudah diberhentikan sekian lama dari Dosen STKIPS tersebut.
“Tak hanya itu, beberapa keluhan dari orang tua mahasiswa juga disampaikan diantaranya sosialisasi Penerimaan Masiswa Baru di sampaikan bahwa akan di berikan beberapa beasiswa kepada para pendaftar yang bergabung di STKIPS tetapi pada kenyataannya semua berbeda. Beasiswa yang diumumkan itu hanya di peruntunkan bagi adik,saudara atau anak dari petinggi-petinggi di STKIPS. Jadi kami heran tapi mau dibuat bagaimana kami hanya masyarakat kecil yang kurang tersentuh oleh keadilan, ” tuduhnya.
Alhasil klaim Weriratan, hingga semester dua dan seterusnya anak-anak mulai berhenti kuliah karna tak mampu membayar SPP dan hasilya satu kelas hanya ada dua atau tiga mahasiswa yang aktif berkuliah. (Albert Batlayeri)