Perempuan Afrika Selatan Tunda Usia Pernikahan Hingga Umur 32 Keatas
pada tanggal
09 Februari 2020
PRETORIA, LELEMUKU.COM - Di seluruh dunia, para perempuan menunda pernikahan, termasuk di Afrika Selatan. Usia rata-rata pengantin perempuan di negara tersebut adalah 32 ke atas.
Samina Anwary, seorang kreator konten online berusia 33 tahun, berencana menikah pada Desember. Namun ia terkejut mendengar reaksi orang-orang yang mendengar kabar itu.
"Saya lulus kuliah dan punya pekerjaan, saya sudah memiliki semua itu. Tapi ketika saya memberitahu orang-orang bahwa saya hendak menikah, itu membuat mereka sangat senang," kata Samina Anwary.
Bagi para profesional muda perempuan Afrika Selatan, seperti Lweendo Hamukoma yang berusia 32 tahun, pernikahan bukan prioritas utama. Namun orangtuanya telah menikah selama lebih dari tiga dekade.
"Mereka menikah, menyelesaikan sekolah, punya anak. Itu kehidupan yang berhasil. Di sisi lain saya menjalani kehidupan yang sangat berbeda. Pergi ke sekolah, mencari jati diri, mencari pekerjaan yang bisa membiayai kehidupan. Lalu mulai mencari cara untuk memperbaiki diri. Pernikahan bukan yang paling penting," kata Lweendo Hamukoma.
Situs yang membandingkan harga, Pricenomics, mempelajari data pernikahan global. Situs tersebut menemukan satu korelasi nyata, yaitu semakin tinggi pendapatan suatu negara, semakin tinggi usia rata-rata menikah.
Adik Hamukoma, Chipo, seorang ekonom yang juga belum menikah, mengatakan dia melihat data serupa di Afrika Selatan.
"Sebagai seorang ekonom, statistik bagi perempuan menikah adalah: apabila kesehatan menurun, upah menurun, stres naik, ketidakbahagiaan juga naik. Sementara perempuan lajang secara statistik lebih bahagia dan lebih sejahtera, sehingga tidak ada banyak kasus," kata Chipo Hamukoma.
Anwary, yang berencana mempertahankan nama panjangnya usai menikah, mengatakan itulah yang dialami oleh banyak teman-teman seumurnya, yaitu pernikahan bukan lagi tujuan utama, melainkan kebahagiaan. (VOA)
Samina Anwary, seorang kreator konten online berusia 33 tahun, berencana menikah pada Desember. Namun ia terkejut mendengar reaksi orang-orang yang mendengar kabar itu.
"Saya lulus kuliah dan punya pekerjaan, saya sudah memiliki semua itu. Tapi ketika saya memberitahu orang-orang bahwa saya hendak menikah, itu membuat mereka sangat senang," kata Samina Anwary.
Bagi para profesional muda perempuan Afrika Selatan, seperti Lweendo Hamukoma yang berusia 32 tahun, pernikahan bukan prioritas utama. Namun orangtuanya telah menikah selama lebih dari tiga dekade.
"Mereka menikah, menyelesaikan sekolah, punya anak. Itu kehidupan yang berhasil. Di sisi lain saya menjalani kehidupan yang sangat berbeda. Pergi ke sekolah, mencari jati diri, mencari pekerjaan yang bisa membiayai kehidupan. Lalu mulai mencari cara untuk memperbaiki diri. Pernikahan bukan yang paling penting," kata Lweendo Hamukoma.
Situs yang membandingkan harga, Pricenomics, mempelajari data pernikahan global. Situs tersebut menemukan satu korelasi nyata, yaitu semakin tinggi pendapatan suatu negara, semakin tinggi usia rata-rata menikah.
Adik Hamukoma, Chipo, seorang ekonom yang juga belum menikah, mengatakan dia melihat data serupa di Afrika Selatan.
"Sebagai seorang ekonom, statistik bagi perempuan menikah adalah: apabila kesehatan menurun, upah menurun, stres naik, ketidakbahagiaan juga naik. Sementara perempuan lajang secara statistik lebih bahagia dan lebih sejahtera, sehingga tidak ada banyak kasus," kata Chipo Hamukoma.
Anwary, yang berencana mempertahankan nama panjangnya usai menikah, mengatakan itulah yang dialami oleh banyak teman-teman seumurnya, yaitu pernikahan bukan lagi tujuan utama, melainkan kebahagiaan. (VOA)