Perempuan Jadi Kelompok Rentan di Tengah Pandemi COVID-19 di Aceh
pada tanggal
28 Juni 2020
BANDA ACEH, LELEMUKU.COM - Pandemi virus corona membuat kehidupan perempuan korban konflik semakin rentan. Elizarni, pegiat isu perempuan, prihatin akan nasib perempuan di tanah kelahirannya, Aceh. Ia kemudian bergabung dengan Beujroh, organisasi pemberdayaan perempuan korban konflik Aceh, termasuk ‘kampung janda’ di Pidie.
Pada awalnya, kata Elizarni, ia dan Beujroh berfokus pada perempuan-perempuan pedagang kaki lima yang berperan ganda sebagai kepala rumah tangga selama lebih dari 30 tahun setelah suami mereka terbunuh dalam konflik militer. Fokus meluas setelah tsunami melanda pada Desember 2004, dan kini pandemi membuat para perempuan itu kesulitan keuangan karena tidak banyak orang membeli barang dagangan mereka, bahkan mereka sering tidak berjualan ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan.
“Saya sendiri, sebagai perempuan, pernah mengalami konflik dan tsunami. Perempuan menjadi pejuang kehidupan dari masa konflik. Mereka dirugikan secara ekonomi ketika rumahnya dibakar, tempat mereka bekerja hilang akibat perang, juga menderita saat tsunami,” kataElizarni.
Walaupun sedang jauh dari tanah air untuk menempuh pendidikan doktoral pada program Comparative Education and Leadership di Ohio University, Elizarni tidak tinggal diam. Bersama beberapa teman, secara virtual, ia menggalang dana bagi Beujroh yang didirikan pada Januari 2005 di Banda Aceh.
Pada akhir April 2020, penggalangan dana online GoFundMe dilakukan dengan target pengumpulan dana bantuan senilai $15.000. Dana sementara yang terkumpul sebesar $305 itu diserahkan kepada pengurus Beujroh yang kemudian membuat paket-paket sembako, terdiri atas, antara lain, beras, minyak, dan gula. Paket-paket itu diserahkan kepada sejumlah anggota Beujroh yang beranggotakan lebih dari 900 perempuan dari 9 kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
“Saya berharap bantuan tersebut dapat memenuhi kebutuhan untuk meneruskan hidup karena tidak tahu kapan pandemi COVID-19 berakhir,” tambahnya.
Sementara itu, di Kendari, Sulawesi Tenggara, Salmiah Ariyana, membuat program Cepat Tanggap untuk membantu perempuan-perempuan korban konflik, yang usahanya juga terimbas pandemi virus corona.
Untuk menjalankan programnya, sejak tahun 2000, Salmiah bergabung dengan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), yang tersebar di 22 provinsi di Indonesia, untuk memfasilitasi pembentukan lembaga keuangan dan kelompok diskusi bagi kaum perempuan.
Salmiah menjelaskan, anggota ASPPUK ada di daerah-daerah bencana dan konflik. Mereka mengumpulkan data dan mencari tahu jumlah perempuan dan anak yang menjadi korban.
“Program Cepat Tanggap antara lain mengumpulkan berbagai macam bantuan yang bisa langsung diberikan kepada korban, juga menyediakan pendampingan guna membantu kesehatan psikologis perempuan dan anak,” ujarSalmiah.
Program Cepat Tanggap yang dilakukan Salmiah bersama ASPPUK mengkhususkan pemberian bantuan guna memenuhi kebutuhan utama perempuan, misalnya pembalut, pakaian dalam dan juga pengumpulan pakaian layak pakai. Bantuan juga mereka berikan kepada lansia, dan anak-anak, serta memfasilitasi kerjasama dengan berbagai penyedia teknologi dalam pembangunan rumah dan toilet yang ramah perempuan.
Salmiah berpendapat secara umum pemberdayaan ekonomi khususnya perempuan yang termarjinalkan di Indonesia sudah relatif bagus. Itu dikarenakan adanya sejumlah LSM nasional dan lokal yang berfokus pada pemberdayaan ekonomi perempuan dan adanya kementerian yang khusus menangani ekonomi perempuan seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang juga bekerjasama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten.
Sebaliknya di Aceh, menurut Elizarni, kondisi perempuan marjinal masih memprihatinkan.
“Ketika pandemi ini, saya saja, misalnya, yang di Amerika, mungkin merasa berat. Saya bisa bayangkan bagaimana perempuan-perempuan yang setiap hari hanya menghasilkan mungkin 30, 40 atau sampai 50 ribu rupiah tetapi harus menghidupi satu keluarga. Mereka menjadi tulang punggung keluarga,” tuturElizarni.
Bersama Beujroh di Aceh, Elizarni mengorganisir sejumlah perempuan korban konflik dan memberi mereka bantuan untuk memberdayakan ekonomi dalam keadaan darurat. Bantuan berupa dana hibah agar para perempuan itu bisa kembali berjualan di pasar-pasar tradisional, kios-kios dan membuat kue untuk dijual.
Elizarni dan rekan berharap penggalangan dana secara online yang terus berlangsung itu dapat membantu di tengah pandemi COVID-19.
“Setelah itu, kita kembangkan pendidikan dan pendidikan politik,” papar Elizarni seraya mengungkapkan harapan bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat. (VOA)
Pada awalnya, kata Elizarni, ia dan Beujroh berfokus pada perempuan-perempuan pedagang kaki lima yang berperan ganda sebagai kepala rumah tangga selama lebih dari 30 tahun setelah suami mereka terbunuh dalam konflik militer. Fokus meluas setelah tsunami melanda pada Desember 2004, dan kini pandemi membuat para perempuan itu kesulitan keuangan karena tidak banyak orang membeli barang dagangan mereka, bahkan mereka sering tidak berjualan ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan.
“Saya sendiri, sebagai perempuan, pernah mengalami konflik dan tsunami. Perempuan menjadi pejuang kehidupan dari masa konflik. Mereka dirugikan secara ekonomi ketika rumahnya dibakar, tempat mereka bekerja hilang akibat perang, juga menderita saat tsunami,” kataElizarni.
Walaupun sedang jauh dari tanah air untuk menempuh pendidikan doktoral pada program Comparative Education and Leadership di Ohio University, Elizarni tidak tinggal diam. Bersama beberapa teman, secara virtual, ia menggalang dana bagi Beujroh yang didirikan pada Januari 2005 di Banda Aceh.
Pada akhir April 2020, penggalangan dana online GoFundMe dilakukan dengan target pengumpulan dana bantuan senilai $15.000. Dana sementara yang terkumpul sebesar $305 itu diserahkan kepada pengurus Beujroh yang kemudian membuat paket-paket sembako, terdiri atas, antara lain, beras, minyak, dan gula. Paket-paket itu diserahkan kepada sejumlah anggota Beujroh yang beranggotakan lebih dari 900 perempuan dari 9 kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
“Saya berharap bantuan tersebut dapat memenuhi kebutuhan untuk meneruskan hidup karena tidak tahu kapan pandemi COVID-19 berakhir,” tambahnya.
Sementara itu, di Kendari, Sulawesi Tenggara, Salmiah Ariyana, membuat program Cepat Tanggap untuk membantu perempuan-perempuan korban konflik, yang usahanya juga terimbas pandemi virus corona.
Untuk menjalankan programnya, sejak tahun 2000, Salmiah bergabung dengan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), yang tersebar di 22 provinsi di Indonesia, untuk memfasilitasi pembentukan lembaga keuangan dan kelompok diskusi bagi kaum perempuan.
Salmiah menjelaskan, anggota ASPPUK ada di daerah-daerah bencana dan konflik. Mereka mengumpulkan data dan mencari tahu jumlah perempuan dan anak yang menjadi korban.
“Program Cepat Tanggap antara lain mengumpulkan berbagai macam bantuan yang bisa langsung diberikan kepada korban, juga menyediakan pendampingan guna membantu kesehatan psikologis perempuan dan anak,” ujarSalmiah.
Program Cepat Tanggap yang dilakukan Salmiah bersama ASPPUK mengkhususkan pemberian bantuan guna memenuhi kebutuhan utama perempuan, misalnya pembalut, pakaian dalam dan juga pengumpulan pakaian layak pakai. Bantuan juga mereka berikan kepada lansia, dan anak-anak, serta memfasilitasi kerjasama dengan berbagai penyedia teknologi dalam pembangunan rumah dan toilet yang ramah perempuan.
Salmiah berpendapat secara umum pemberdayaan ekonomi khususnya perempuan yang termarjinalkan di Indonesia sudah relatif bagus. Itu dikarenakan adanya sejumlah LSM nasional dan lokal yang berfokus pada pemberdayaan ekonomi perempuan dan adanya kementerian yang khusus menangani ekonomi perempuan seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang juga bekerjasama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten.
Sebaliknya di Aceh, menurut Elizarni, kondisi perempuan marjinal masih memprihatinkan.
“Ketika pandemi ini, saya saja, misalnya, yang di Amerika, mungkin merasa berat. Saya bisa bayangkan bagaimana perempuan-perempuan yang setiap hari hanya menghasilkan mungkin 30, 40 atau sampai 50 ribu rupiah tetapi harus menghidupi satu keluarga. Mereka menjadi tulang punggung keluarga,” tuturElizarni.
Bersama Beujroh di Aceh, Elizarni mengorganisir sejumlah perempuan korban konflik dan memberi mereka bantuan untuk memberdayakan ekonomi dalam keadaan darurat. Bantuan berupa dana hibah agar para perempuan itu bisa kembali berjualan di pasar-pasar tradisional, kios-kios dan membuat kue untuk dijual.
Elizarni dan rekan berharap penggalangan dana secara online yang terus berlangsung itu dapat membantu di tengah pandemi COVID-19.
“Setelah itu, kita kembangkan pendidikan dan pendidikan politik,” papar Elizarni seraya mengungkapkan harapan bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat. (VOA)