Arcandra Tahar Bahas Cara Afrika Selatan Sulap Batu Bara Jadi BBM dan LPG
pada tanggal
12 Maret 2021
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Arcandra Tahar, mantan Wakil Menteri ESDM atau Energi dan Sumber Daya Mineral, yang kini menjabat Komisaris Utama PGN beberapa waktu lalu bercerita mengenai wacana mengubah batu bara menjadi bahan bakar mobil dan LPG. Ia menuliskan itu di kanal instagram pribadinya, @arcandra.tahar.
Postingan yang dibagi menjadi 3 bagian dan diawali dengan sejarah perang dunia kedua, ketika Jerman mampu memanfaatkan sumber daya mineralnya untuk kebutuhan perang. Menurutnya Jerman yang kala itu berseteru dengan negara-negara diperbatasannya mampu memanfaatkan mineral batu bara yang jumlahnya 3 persen dari total cadanagan dunia.
“Apakah mungkin BBM diselundupkan ke Jerman dari negara tetangga sehingga mereka mampu menghidupkan mesin-mesin perang mereka. Secara pasti tidak ada yang tahu, tapi dari literatur sejarah yang kami pelajari, Jerman kaya akan cadangan batu bara,” tulis Arcandra
Masih menurut Arcandra, cadangan terbukti batu bara Jerman sekitar 36 miliar ton atau sekitar 3 persen dari total cadangan dunia. Kalau dibandingkan dengan negara lain maka Jerman ranking ke-7 untuk jumlah cadangan terbukti dibawah Amerika Serikat, Rusia, Australia, China, India dan Indonesia. “Cadangan batu bara Jerman ini hampir sama dengan Indonesia,” tulisnya.
Jerman yang berinovasi untuk menjadikan batu bara sebagai bahan bakar kendaraan awalnya mengembangkan teknologi CTL (Coal to Liquid). Teknologi tersebut mampu mengubah batu bara menjadi gasoline, gasoil (solar), lubricant oil dan waxes.
Inovasi yang sudah dilakukan oleh Franz Fischer dan Hans Tropsch sejak tahun 1920-an, membuat Jerman mampu memenuhi stok energi secara mandiri—ketika perang tersebut. Dengan inovasi tersebut, tak heran banyak Negara yang mencoba belajar dari Jerman.
Setelah terjadinya kesepakatan Postdam, inovasi yang telah dilakukan oleh Jerman harus dihentikan pada 1945. Setelah 5 tahun berlalu dari kesepakatan Postdam, perusahaan batu bara asal Afrika, Sasol juga ikut mengembangi inovasi yang dilakukan Jerman.
Menurut Arcandra, pengembangan teknologi CTL di Sasol, terhambat akbiat 3 faktor yaitu, politik Apartheid yang mengakibatkan Afrika diembargo oleh PBB, cadangan minyak yang tidak banyak untuk memenuhi kebutuhan Negara, dan hanya tersedia 10 miliiar ton cadangan minyak (urutan 12 di dunia).
Arcandra menuliskan, “Adanya embargo perdagangan itu membuat Afrika Selatan tidak bisa mendapatkan akses untuk membeli minyak dari negara lain. Untuk keluar dari situasi itu, Sasol, perusahaan energi di negara itu, akhirnya mampu memproduksi bahan bakar sintetik dengan teknologi CTL, walaupun dari segi keekonomian jauh lebih mahal daripada BBM. Sekitar 30% kebutuhan bahan bakar Afrika Selatan mampu dipenuhi oleh Sasol yang didukung penuh oleh kebijakan Negara.”
Dengan embargo tersebut Sasol akhirnya mampu berinovasi dengan membuat Inderect Coal Liquefaction (ICL). Inovasi dari bahan bakar sintetik tersebut akhirnya membuat Sasol melebarkan sayap bisnisnya hingga 30 negara. Tidak hanya itu, Sasol juga membuat inovasi seperti Gas to Liquid (GTL).
Kesungguhan dan dukungan pemerintah Afrika Selatan telah menjadikan Sasol sebagai perusahaan terdepan dalam pengembangan teknologi Gas to Liquid (GTL) dan Coal to Liquid (CTL). Selain Afrika Selatan, China sebagai negara dengan cadangan batubara nomor empat di dunia juga ikut mengembangkan teknologi CTL.
Dalam unggahannya, Arcandra Tahar bicara soal beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar teknologi CTL bisa dikembangkan dan juga keekonomiannya. Termasuk syarat lingkungan dan emisi karbon dioksida. (Tempo)