Prostitusi dan PSK di Hari Perempuan Sedunia
pada tanggal
13 Maret 2021
Seorang pekerja seks komersial (PSK) berusia 21 tahun berinisial TL terjaring razia di Tasikmalaya, Jawa Barat pada dini hari 1 Maret lalu. Tentu TL bukan satu-satunya, bukan pula PSK pertama, yang ketiban sial lantaran tertangkap petugas Satuan Polisi Pamong Praja. Tapi, jauh lebih sialnya, perempuan seperti TL kerap kali menjadi korban dengan hukuman berkali-kali.
Satu yang bikin saya tersentak dan amat sedih, adalah karena saat ditangkap di depan sebuah hotel di Tasikmalaya, TL sedang hamil tujuh bulan. Dia juga punya dua anak lain yang berusia empat dan 2 tahun. TL mengaku, ibunya tahu ia bekerja sebagai PSK. “Suami kabur entah ke mana. Gimana lagi saya soalnya kepala keluarga. Saya enggak bisa kerja apa-apa lagi selain begini,” kata TL di ruang interogasi Pol PP Kota Tasikmalaya.
TL mengaku setiap malam selama pandemi ini hanya mendapatkan Rp 100.000 sampai Rp 150.000. Ia mengaku sedang sepi pelanggan karena masa pandemi. Tak banyak pria yang lalu-lalang di wilayah perkotaan karena aturan ketat pencegahan Covid-19. Ia mengaku segera pulang setelah mendapatkan uang dari satu atau dua pelanggan, dan membawa sejumlah uang.
Uang tersebut akan digunakan untuk makan dan jajan anak-anaknya. “Saya enggak berpikir besar atau kecilnya dapat uang. Setelah saya dapat uang untuk bekal anak-anak meski satu kali melayani, saya langsung pulang. Yang penting saya ada buat jajan dan makan anak-anak,” kata TL yang baru menjalani profesi ini sejak enam bulan silam setelah perceraiannya. “Saya enggak mikir apa-apa lagi, bagaimana caranya anak-anak saya bisa makan besok,” tambahnya.
Kita tak jarang dijejali berita semacam ini, sehingga TL tentu hanya satu dari begitu banyak perempuan di Tasikmalaya, di Jawa Barat, di Pulau Jawa, di Indonesia, bahkan di dunia, yang menjadi PSK. Perputaran uang dari bisnis ini juga tentu tak kecil. TL ‘hanya’ mendapat uang dengan kisaran Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu, dan bekerja tanpa muncikari, alias mandiri.
Kalau seumpama ada 100 PSK seperti TL di seluruh Tasikmalaya yang luasnya sekitar 183 kilometer persegi itu, artinya ada setidaknya satu PSK di setiap dua kilometer persegi wilayah itu. Jika dalam semalam 100 PSK itu bekerja dan membawa pulang uang sekitar Rp 150 ribu saja, dalam semalam akan ada perputaran uang Rp 15 juta dari bisnis ini di Tasikmalaya. Anda kalikan angka itu dengan 30 hari, maka akan keluar angka Rp 450 juta. Itu baru pengandaian dan perhitungan minimalis di Tasikmalaya.
Karena di Jawa Barat ada 18 kabupaten dan sembilan kota, coba Anda kalikan angka Rp 15 juta tadi dengan 27. Akan keluar angka sekitar Rp 405 juta. Lantas, bagaimana kalau kita kalikan dengan 34 provinsi di seluruh Indonesia? Hasilnya tak kecil, saudara-saudara: Rp 13,7 miliar!
Ini baru fenomena prostitusi kalangan menengah ke bawah. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita dihebohkan dengan terkuaknya praktik prostitusi yang melibatkan sejumlah perempuan dan para konsumen jasa layanan seksual kelas atas. Ada yang melibatkan beberapa artis dan perempuan selain artis, yang diamankan bersama sejumlah tersangka kasus korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tarif mereka, Anda silakan cek sendiri di Google. Kisarannya bisa mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah. Kalau dari PSK kelas bawah di Tasikmalaya bisa dihasilkan setidaknya Rp.450 juta dalam sebulan, Anda bisa bayangkan berapa besar uang yang berputar dari prostitusi kelas atas ini setiap 30 hari. Rasanya uang sebesar itu bisa dipakai untuk memperbaiki atau membangun banyak gedung sekolah di republik ini. Bisa pula dipakai untuk menambah modal para pebisnis kecil yang lesu lantaran dihantam pandemi.
Sekrup kecil
Dalam struktur masyarakat di manapun, utamanya di Indonesia, para PSK seperti TL ini seperti sekrup kecil dari sebuah mesin besar. Perempuan seperti TL kerap berada atau diposisikan dalam situasi tak berdaya. Saat ia mencari uang di jalanan, yang ia pikirkan tak perutnya yang lapar. Ia juga memikirkan setidaknya tiga anak, termasuk satu bayi yang masih berada dalam rahim, yang tak bisa terlalu lama menahan lapar.
Seperti saya sebut di atas, perempuan seperti TL kerap kali menjadi korban dengan hukuman berkali-kali. Bermacam penghakiman, sumpah serapah, pun khotbah moralis bisa dan biasa terlontar dari masyarakat dan pemuka agama. Tentu bisa pula dibayangkan bagaimana tatapan nyinyir tetangga kiri-kanan yang mengetahui pekerjaan TL, dan perempuan-perempuan lain di manapun itu.
Tapi, apalah artinya perempuan seperti TL dalam struktur masyarakat kita ini? Saat mendengar berita terungkapnya sebuah jaringan prostitusi artis, atau tertangkapnya perempuan seperti TL ini, kita juga jamak mendengar bahwa ada saja orang yang mengarahkannya persoalan moral keagamaan.
“Ya, itu kalau agamanya kuat nggak bakal kayak gitu,” kata si A.
“Ah, perempuannya juga mau. Udah enak, dapat duit lagi dia,” kata si B.
“Memangnya harus jadi PSK? Kayak nggak ada kerjaan lain aja,” kata C.
Daftar cibiran semacam begitu bisa diperpanjang dengan sedikit saja pengamatan di sekeliling kita.
Ini terjadi, karena masyarakat kita sering mereduksi persoalan prostitusi ini sebagai domain moral. Otomatis, agama dengan berbagai perangkatnya dianggap sebagai obat pelipur lara atas fenomena prostitusi ini. Kita tak jarang lupa, abai, tak paham, atau tak mau tahu bahwa ada silang permainan kekuasaan dan perputaran uang dalam jumlah fantastis di setiap praktik prostitusi. Entah dalam prostitusi dengan bayaran Rp.150.000, bahkan di bawah itu, hingga yang puluhan juta rupiah, selalu ada penguasa setempat yang bermain dan memainkan ini.
Perempuan seperti TL, demikian juga banyak perempuan lain di Indonesia, tak harus menjadi PSK kalau pemerintah bisa menyediakan lapangan pekerjaan memadai bagi warganya. Memang, kita sedang dalam masa pandemi di mana pekerjaan-pekerjaan begitu sulit didapat, bahkan gelombang pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana. Tapi, sebelum pandemi ini menghajar kita, toh masalah lapangan pekerjaan ini pun sudah ada di mana-mana.
TL, sebagaimana para perempuan lain di belahan dunia manapun, tentu tak pernah bercita-cita untuk menjadi PSK. Persoalan hidup yang begitu kompleks yang memaksa seorang perempuan seperti TL mau memilih profesi itu. Jadi, TL hanya satu dari entah berapa juta perempuan di dunia yang secara struktural dan kultural menjadi korban. Persoalan macam ini tak bisa diselesaikan dengan khotbah keagamaan, imbauan, atau hujatan dan penghakiman.
Jahatnya lagi, ada satu pola yang sama: nyaris tak satupun pengguna jasa layanan seksual itu yang terungkap. Kalaupun ada, itu hanya segelintir. Operator ‘lapangan’ juga sesekali ada yang tertangkap. Tapi, mereka ini juga tak lebih dari sekadar bagian dari mereka yang dikorbankan.
Hal ini tak lain adalah cermin sebuah masyarakat misoginis yang menempatkan perempuan dalam posisi rendah dalam lingkaran setan bisnis ini.
Perempuan ditangkapi
Buku terjemahan saya, karya penulis Meksiko Lydia Cacho, yang a Bisnis Perbudakan Seksual: Menelusuri Perdagangan Perempuan dan Anak-Anak Internasional , Februari lalu diterbitkan penerbit Marjin Kiri.
Meski bukunya tersebut tidak menyinggung kasus-kasus di Indonesia, Lydia Cacho membantu kita agar bisa secara lebih kritis menyikapi fenomena ini. Lydia mempertanyakan mengapa polisi menangkap para perempuan yang menjalani prostitusi itu? Kenapa juga kebanyakan dari kasus-kasus itu muncikari dan para pelanggan bebas begitu saja? Jawabannya jelas: hal ini terjadi hampir di semua tempat di dunia karena diskriminasi terhadap perempuan, disertai dengan kebiasaan permisif seksual para pria, dengan cara undang-undang tentang perdagangan untuk eksploitasi seksual dielaborasi dan ditulis, dan oleh prasangka dan wacana ganda yang mendasari bahasa mereka dan kebijakan publik yang menyertai penerapannya.
Lydia juga mengkritik sebagian kalangan feminis yang menganggap bahwa penangkal terbaik bagi perdagangan perempuan dan anak bawah umur untuk eksploitasi seksual adalah dengan melegalkan prostitusi. Ini juga mengingatkan kita pada seorang gubernur di Jakarta yang puluhan tahun silam melegalkan prostitusi demi pundi-pundi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Tapi, Cacho dalam buku –yang menelusuri prostitusi di Turki, Israel, Palestina, Jepang, Kamboja, Burma, Argentina dan Meksiko– menunjukkan bahwa legalisasi bisa membuka pintu bagi mafia dan memudahkan perbudakan.
Perempuan sedunia
TL punya dua anak, dan beberapa bulan lagi akan bertambah satu. Kita tak pernah tahu jalan hidup manusia. Bukan tak mungkin satu, atau ketiga-tiganya, bakal jadi orang yang berguna bagi masyarakat dengan jadi pejuang hak asasi manusia, pegiat antikorupsi, penegak hukum yang berwibawa, pengusaha yang dermawan, pendidik yang cerdas, atau apa pun. Mungkin saja, TL sudah dan akan membesarkan (para) calon pemimpin yang sekian puluh tahun ke depan mengentaskan kemiskinan para PSK, serta menyejahterakan keturunan para konsumen mereka kelak.
Saya tak membenarkan prostitusi. Tapi, saya juga tak mau menghakimi TL atau PSK lain yang berusaha mengais rezeki demi bertahan hidup.
Kemarin media sosial di Indonesia dipenuhi entah berapa banyak ucapan Hari Perempuan Sedunia. Anda tentu bisa bayangkan, bahwa ucapan itu biasanya hanya terlontar dan diterima para perempuan kelas menengah ke atas. Perempuan seperti TL, dan entah berapa juta PSK di Indonesia, bahkan di dunia, mungkin tak pernah tahu soal hari perempuan sedunia itu.
Tentu sah-sah saja merayakan hari perempuan sedunia. Tapi, kita sepantasnya tak lupa, bahwa di antara gegap gempita itu, juga ada TL dan perempuan-perempuan lain, yang berjuang di antara hidup dan mati, untuk sekadar memberi makan beberapa mulut di rumahnya dengan jalan menjajakan tubuh mereka. TL mungkin tak tahu, dan tidak tertarik untuk tahu soal hari perempuan sedunia kemarin. Tapi, sungguh layak dan sepantasnya kita hormati kemanusiaannya.
FRANS PASCARIES
Penulis dan penerjemah, tinggal di Jakarta