Amnesty Kecam Langkah Pempus Labeli Kelompok Separatis Papua Sebagai Teroris
pada tanggal
30 April 2021
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Amnesty International Indonesia mengecam keras langkah pemerintah yang melabeli kelompok separatis di Papua yakni Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai teroris. Hal ini dinilai menjauhkan pemerintah Indonesia dari kemampuan untuk mengatasi akar permasalahan dari konflik di Papua.
“Ini langkah yang keliru. Selama ini orang Papua sudah marah distigma sebagai separatis, sekarang mereka dilabeli sebagai teroris. Dan kalau UU Terorisme betul diterapkan di sana makin banyak orang Papua yang ditangkap tanpa didasarkan bukti-bukti,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangannya, Kamis, 29 April 2021.
Usman mengatakan pemerintah seharusnya fokus investigasi dan menghentikan pembunuhan di luar hukum serta bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya di Papua. Baik yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan maupun tindakan kriminal yang dilakukan oleh mereka yang bukan aparat keamanan.
Politik labelisasi terhadap kelompok-kelompok di Papua, Usman menilai, hanya akan semakin mengecewakan orang asli Papua. “Akan ada lebih banyak ketakutan, kemarahan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan juga negara," kata Usman.
Memberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme) dalam kasus Papua, bagi Usman artinya membuat siapa saja yang dianggap mencurigakan bisa ditahan lebih lama, hingga 21 hari tanpa adanya tuduhan. Sementara dalam prosedur tindak pidana biasa, proses pemeriksaan hanya berlangsung dalam waktu 1×24 jam.
Selain itu, dengan label teroris, Usman melihat, aparat keamanan pemerintah dapat menangkap dan menahan siapa saja di bawah UU Terorisme tanpa mematuhi kaidah hukum acara yang benar (due process of law). Proses hukum dengan tuduhan ini dapat menjadi lebih keras dibanding pasal-pasal makar yang kerap kali dituduhkan kepada orang Papua.
Ia pun tak yakin pemberian label tidak akan menghentikan pembunuhan di luar hukum dan kekerasan lainnya di Papua. Sebaliknya, masuknya OPM dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris (DTTOT), ia nilai sama saja dengan memperluas lingkup pendekatan keamanan, termasuk dengan melibatkan senjata berat dan pasukan khusus.
Selain itu, penentuan status OPM - KKB sebagai organisasi teroris juga tidak konsisten dengan UU Tindak Pidana Terorisme, khususnya Pasal 5 yang menyatakan bahwa tindak pidana teroris yang diatur dalam UU ini harus dianggap bukan tindak pidana politik.
Padahal, Usman mengatakan, kegiatan yang dilakukan OPM sangat lekat dengan aspek politik karena berhubungan dengan ekspresi politik mereka tentang Papua, yang diakui oleh hukum internasional. (Egi Adyatama | Tempo)