Bambang Soesatyo Tolak Tarik Ucapan Soal Sikap Tegas ke Kelompok Separatis Papua
pada tanggal
30 April 2021
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Papua mendesak Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo menarik pernyataan yang meminta pemerintah dan aparat menumpas kelompok bersenjata di Papua serta menempatkan hak asasi manusia belakangan. Koalisi juga meminta pria yang akrab disapa Bamsoet itu meminta maaf atas ucapannya.
"Kami mendesak kepada Bapak H. Bambang Soesatyo, SE, MBA selaku Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk menarik pernyataan Bapak tersebut, menyatakan permohonan maaf secara terbuka kepada publik dan mendorong pemerintah menyelesaikan akar masalah di Papua dengan cara-cara damai," demikian tertulis dalam surat terbuka Koalisi, Rabu, 28 April 2021.
Koalisi menilai pernyataan Bamsoet tak mencerminkan kepribadian dan etika yang baik selaku pimpinan MPR. Menurut Koalisi, merujuk Keputusan MPR Nomor 2 Tahun 2010 tentang Peraturan Kode Etik MPR, secara etik setiap anggota MPR dituntut untuk juga menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia.
Koalisi mengingatkan bahwa Undang-undang Dasar 1945 memuat pasal-pasal berkaitan dengan hak asasi manusia. Konstitusi mengatur bahwa negara wajib memberikan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia bagi setiap orang. "Sehingga tak ada alasan bagi setiap pejabat publik untuk tidak mengimplementasikan nilai ini."
Lebih lanjut, pernyataan Bamsoet dinilai justru akan memperburuk kondisi kemanusiaan di Papua dan dikhawatirkan akan dijadikan legitimasi bagi aparat keamanan untuk bertindak sewenang-wenang dan tidak manusiawi. Koalisi mengingatkan banyaknya tragedi hak asasi manusia yang terjadi akibat operasi keamanan bertahun-tahun di Papua.
Seperti peristiwa Wasior, pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua Theys Eluay pada 2001, peristiwa Wamena 2003, peristiwa Paniai 2004, pembunuhan Luther Zanambani, Apinus Zanambani, dan Pendeta Yeremia pada 2020, dan berbagai tragedi lainnya yang mengancam keselamatan masyarakat sipil.
Koalisi memahami bahwa aparat keamanan pun turut menjadi korban, termasuk penembakan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua, Brigadir Jenderal TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha. Koalisi mengutuk keras peristiwa tersebut dan mendorong Kepolisian mengungkap serta menangkap pelaku yang bertanggung jawab.
Meski begitu, Koalisi mengatakan pengungkapan kasus itu harus menggunakan pendekatan sistem peradilan pidana. Proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan nantinya wajib mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Koalisi menyayangkan pelabelan kelompok yang dituding menembak sebagai Kelompok Separatis dan Teroris Papua.
Koalisi juga menyampaikan perlunya evaluasi operasi keamanan di Papua, khususnya pengerahan personel TNI. Rentetan kekerasan yang terjadi dinilai membuktikan tidak efektifnya pengerahan aparat keamanan dan cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan persoalan.
Menurut Koalisi, Bamsoet mestinya mendesak pemerintah menindaklanjuti temuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ihwal empat akar masalah yang memicu terjadinya konflik kekerasan di Papua. Yakni marjinalisasi terhadap masyarakat Papua, kegagalan pembangunan, persoalan status politik Papua, dan pelanggaran HAM.
Koalisi mengimbuhkan, keterbukaan informasi juga masih menjadi persoalan dengan sulitnya masyarakat sipil dan jurnalis mendapatkan informasi mengenai kondisi di Papua. Terakhir, Koalisi menyampaikan bahwa operasi keamanan juga berimbas pada pergerakan penduduk keluar dari kampung mereka untuk mengungsi ke pedalaman hutan atau wilayah lain.
Atas desakan ini, Ketua MPR Bambang Soesatyo menyatakan tak akan menarik pernyataannya. Bamsoet beralasan penembakan dan pembunuhan terhadap Kabinda Papua, sejumlah prajurit TNI-Polri, pembunuhan warga sipil hingga pembakaran sekolah, rumah, dan properti lain milik masyarakat Papua tak boleh terjadi lagi.
"Saya tidak akan menarik pernyataan saya. Tugas saya memberi semangat. Bukan menjadi pengkhianat. Negara tidak boleh tunduk," kata Bambang Soesatyo kepada wartawan, Kamis, 29 April 2021. (Budiarti Utami Putri| Tempo)