Bagaimana Jemaah Islamiyah Bangkit dan Menyusup ke Dalam Institusi di Indonesia
pada tanggal
27 November 2021
Penangkapan terduga teroris dalam jumlah besar di Indonesia selama tahun 2021 ini mengungkap kesuksesan Jemaah Islamiyah (JI) dalam mendirikan kembali perkumpulannya selama lebih dari satu dekade. Sejak dimulai pada tahun 2008, JI sangat bergantung dengan partisipasinya dalam organisasi sosial-keagamaan Islam untuk mendapatkan rekrutan baru, dana, dan bahkan pengaruh politik dari lembaga keagamaan semi pemerintah. Prevalensi JI dalam organisasi semacam itu semakin memperumit operasi kontraterorisme karena tindakan keras terhadap anggota JI akan semakin dipandang sebagai tindakan keras terhadap Muslim. Demi mencegah JI semakin berkembang di masa depan, penangkapan anggotanya harus dibarengi dengan program kontra-radikalisasi di akar rumput yang inklusif dan menambah transparansi operasi kontraterorisme.
Apakah Jemaah Islamiyah?
Jemaah Islamiyah (JI) adalah organisasi teroris yang berafiliasi dengan Al Qaeda di Asia Tenggara yang berada dibalik aksi Bom Bali tahun 2002, yang menewaskan 202 orang, dan hingga kini merupakan tindakan terorisme paling fatal di Indonesia. Saat ini, salah satu komandan dan koordinator utama JI dengan Al Qaeda, Hambali, masih ditahan di Guantanamo karena memfasilitasi sejumlah pelaku serangan 11 September atau 9/11 melintasi Malaysia.
Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia melabeli JI sebagai organisasi teroris dan ilegal di Indonesia karena bertujuan mendirikan Negara Islam. Tidak lama sesudah itu, operasi gabungan polisi dan militer menangkap dan membunuh banyak anggota JI. Namun, JI masih menjadi ancaman yang signifikan hingga saat ini.
Dalam dekade terakhir, organisasi tersebut telah merapatkan kembali barisannya dan pada tahun 2019, JI adalah organisasi teroris terbesar di Indonesia dengan sekitar 6.000 anggota. Meskipun JI tidak melakukan serangan dalam satu dekade terakhir, mereka telah mempersiapkannya dengan melakukan pelatihan militer tahunan dan mengirim kader ke Suriah untuk berlatih bersama Jabhat al Nusra dan Hayat Tahrir al-Sham.
Saat ini, hubungan transnasional JI lemah, namun masih memiliki ambisi transnasional. Kelompok itu terutamanya bercita-cita untuk tidak hanya mendirikan Negara Islam di Indonesia tetapi juga menggunakan kekhalifahan di Indonesia untuk mendukung organisasi jihad lainnya dalam mendirikan kekhalifahan yang lebih besar di Suriah.
Penangkapan besar-besaran dan dampaknya terhadap JI
Selama tahun 2021, operasi kontraterorisme Indonesia semakin bertambah agresif. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah “tindakan preemtif” yang dilakukan terhadap terduga teroris selama tahun ini.
Antara Januari dan pertengahan November, aparat keamanan Indonesia telah menangkap 339 dan membunuh 18 tersangka teroris. Secara keseluruhan, ini menunjukkan kenaikan 56% dibandingkan dengan tahun 2020 dan merupakan jumlah penangkapan teroris tahunan tertinggi kedua di Indonesia dalam lima tahun terakhir, setelah tahun 2018 saat aparat keamanan menangkap 396 tersangka teroris.
Yang terpenting, sebagian besar penangkapan tahun ini menargetkan anggota JI –– organisasi teroris yang telah menahan diri untuk tidak melakukan serangan dengan fokus pada dakwah dalam satu dekade terakhir. Dari seluruh tersangka teroris yang terbongkar afiliasi organisasinya, hampir 45 % di antaranya adalah anggota JI. Sebagai perbandingan, hanya 37 % dari mereka yang tergabung dalam Jemaah Ansharut Daulah (JAD) yang terafiliasi dengan kelompok ekstrim ISIS. Ini menunjukkan bahwa aparat keamanan melakukan pergeseran fokus yang signifikan karena pada tahun 2020, anggota JI hanya mencakup 27% persen dari semua penangkapan.
Sebagian besar dari penangkapan ini menargetkan mereka yang memiliki peran vital dan strategis dalam operasional sehari-hari di JI. Sebagian besar anggota JI ditangkap karena peran logistik mereka, seperti di Bangka Belitung yang ditangkap karena mengirim senjata api ke Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Ada yang mempunyai peran keuangan, seperti yang ditangkap di Lampung karena bekerja di organisasi amal JI, LAZ ABA.
JI dan prevalensinya dalam lembaga sosial dan institusi di Indonesia
Tren penting yang terungkap dari sejumlah penangkapan ini adalah prevalensi anggota JI di organisasi sosial dan keagamaan. Sejak tahun 2018, anggota JI diketahui telah mengikuti organisasi amal keagamaan seperti One Care, Syam Organizer, dan LAZ ABA.
Pada Desember 2020, badan amal ini diketahui telah menyebar sekitar 20.000 kotak amal di 12 provinsi di Indonesia. Baru-baru ini, laporan polisi mengungkapkan bahwa beberapa organisasi amal ini berhasil mengumpulkan total Rp 70 juta (USD 4.900) per bulan.
Namun, di tahun 2021 terungkap juga bahwa jangkauan JI telah lebih dari sekadar organisasi amal, dengan juga menjangkau organisasi politik-keagamaan. Seorang anggota JI, Farid Okbah, diketahui pernah memimpin Partai Dakwah Rakyat Indonesia. Anggota lain, Ahmad Zain an Najah, diketahui sebagai anggota komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ada tiga aspek yang melatarbelakangi kehadiran JI di berbagai organisasi sosial politik tersebut. Pertama, dimotivasi oleh prinsip JI untuk tidak melakukan kekerasan yang diformalkan pada 2008. Bagi JI, kekerasan dipandang sebagai hanya satu dari sekian banyak cara untuk terwujudnya pendirian Khilafah. Anggota mereka dapat fokus pada kegiatan non-kekerasan seperti dakwah atau bahkan demonstrasi damai dan tetap berkontribusi pada jihad.
Kedua, masuknya JI ke dalam organisasi sosial politik juga dilatarbelakangi oleh keperluan dana. Organisasi amal adalah sumber dana yang sangat menguntungkan. Organisasi sosial juga berisiko rendah untuk mengangkut dan merekrut anggota. MIT, misalnya, mengangkut rekrutan baru ke Poso dengan dalih sebagai relawan kemanusiaan dalam upaya tanggap bencana gempa Palu tahun 2018. Pada awal 2000-an, JI juga mengangkut anggota ke Ambon melalui organisasi amal KOMPAK.
Ketiga, partisipasi dalam organisasi sosial politik juga dilatarbelakangi oleh tujuan strategis. Sejak Para Wijayanto diangkat sebagai pemimpin, JI sangat menekankan perlunya memenangkan “pertempuran konsep” sebelum mereka dapat memenangkan pertempuran kekhalifahan. Kemenangan konsep ini, yang disebut tamkin risalah, mengharuskan mereka untuk secara sistematis melemahkan dan mendelegitimasi pemerintah dan ideologinya melalui “perang informasi.” Itulah sebabnya mereka menempatkan anggotanya di sejumlah posisi kunci di kelembagaan seperti MUI dan partai politik.
Bagaimana seharusnya operasi kontraterorisme merespons?
Partisipasi JI dalam organisasi sosial-keagamaan populer ini telah mengakibatkan operasi kontraterorisme Indonesia menjadi rumit. Karena popularitas lembaga-lembaga ini, banyak penangkapan Detasemen Khusus 88 (Densus 88) terhadap anggota JI ditanggapi dengan protes yang mengklaim bahwa Densus 88 bersikap Islamofobia dan secara khusus menargetkan Muslim dan ulama. Sebagai contoh, tidak lama setelah penangkapan Ahmad Zain an Najah, terjadi demonstrasi di Solo yang menyerukan pembubaran Densus 88 karena terlalu fokus pada “penangkapan ulama” dan kurang fokus pada kelompok teroris di Papua.
Penting bagi aparat keamanan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas operasi mereka, untuk menyikapi kehadiran JI di organisasi sosial-keagamaan. Hal ini perlu untuk menangkal kecurigaan yang muncul selama penangkapan, terutama ketika berhadapan dengan organisasi keagamaan di masyarakat.
Memfokuskan pada pengembangkan program kontra-radikalisasi di akar rumput yang efektif adalah juga penting, mengingat fokus JI saat ini bukan pada kekerasan, tetapi pada memenangkan perang narasi yang mendelegitimasi ideologi pemerintah vis-à-vis ideologi mereka sendiri. Pertempuran ideologis inilah yang perlu ditangani oleh Indonesia untuk secara efektif mematahkan ancaman JI.
Alif Satria adalah peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia dengan fokus pada terorisme dan kekerasan politik di Asia Tenggara.