IDI Minta Polisi Klarifikasi Kematian Dokter Sunardi di Tangan Densus 88
pada tanggal
13 Maret 2022
Arif Budi Satrio Ketua Ikatan Dokter Indonesia Cabang Sukoharjo saat memberikan keterangan kepada wartawan, 11 Maret 2022 di Sukoharjo, Jawa Tengah - (Kusumasari Ayuningtyas| BenarNews) |
SUKOHARJO, LELEMUKU.COM - Rekan sejawat pada Jumat (11/3/2022) meminta penjelasan kepada kepolisian terkait tewasnya dokter di Jawa Tengah setelah ditembak anggota Densus 88 pekan ini yang menurut aparat keamanan merupakan anggota senior kelompok militan Jemaah Islamiyah (JI).
Polri mengatakan Dokter Sunardi tewas setelah berusaha kabur dengan mengendarai mobil dengan ugal-ugalan dan membahayakan nyawa polisi ketika hendak ditangkap oleh anggota Densus 88 di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah pada Rabu malam.
"Setelah ini saya akan meminta ke Kepolisian, saya akan ke Polres untuk membuka komunikasi dan meminta klarifikasi,” kata Arif Budi Satrio, ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Sukoharjo, kepada wartawan.
“Kita mengadvokasi, tetapi jangan sampai ada distorsi bahwa dokter itu identik dengan teroris karena itu kan kontradiktif sekali,” ujar Arif.
Juru bicara Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menyebutkan bahwa Sunardi sudah ditetapkan sebagai tersangka terorisme dan polisi terpaksa mengambil tindakan tegas terukur karena dia melakukan perlawanan saat pengejaran oleh Densus 88.
“Yang perlu kami sampaikan bahwa status SU sebelum penangkapan sudah tersangka, keterlibatannya jelas,” terang Ramadhan dalam jumpa persnya pada Jumat sore.
Menurut Ramadhan, petugas yang melakukan pengejaran sudah memperkenalkan diri, tetapi Sunardi melarikan mobilnya dengan kencang secara zigzag yang diduga bertujuan untuk menjatuhkan petugas yang melompat ke bak belakang mobil bak terbuka yang dikendarainya.
Akibatnya, dua petugas mengalami luka karena terjatuh, klaim Ramadhan.
“Tindakan yang diambil Densus 88 sudah sesuai prosedur, tindakan tersebut dilakukan karena tindakan SU dinilai sudah membahayakan keselamatan jiwa masyarakat dan petugas Polri,” ujarnya.
Ramadhan mengatakan Sunardi pernah menduduki beberapa posisi penting dalam JI, diantaranya, sebagai deputi dakwah dan informasi, serta penasihat amir atau pemimpin utama di jaringan terafiliasi organisasi teroris al-Qaeda itu.
JI yang telah menjadi organisasi terlarang di Indonesia pada 2008 terbukti berada di belakang sejumlah aksi terorisme di Indonesia pada awal .dekade 2000-an termasuk serangan Bom Bali pada 2002 yang menewaskan 202 orang.
Sunardi, menurut Ramadha, juga menjadi penanggung jawab Hilal Ahmar Society (HASI) sebuah yayasan yang dikenakan sanksi oleh Dewan Keamanan PBB karena diduga terafiliasi dengan JI dan al-Qaeda. Dalam jabatannya di HASI ia bertugas untuk merekrut, mendanai dan memfasilitasi perjalanan anggota ke luar negeri.
Kasus tewasnya Sunardi ramai diperbicangkan di media sosial Twitter dengan 28 ribu cuitan dan tagar tagar #prayfordoktersunardi.
Sebagian netizen mempertanyakan klaim polisi bahwa Sunardi melakukan perlawanan meski sudah menderita stroke sejak lama dan berjalan harus menggunakan tongkat.
Arif dari IDI mengatakan Sunardi pernah mengalami kecelakaan pada tahun 2006 yang membuat kaki kanannya mengalami luka permanen di lima titik.
Meski demikian, dia juga membenarkan jika dokter Sunardi masih bisa mengendarai mobil dan pihak keluarga juga memberitahunya kalau Sunardi mengendarai mobil sendirian pada malam kejadian.
Juru bicara keluarga, Endro Sudarsono, mengatakan bahwa pihak keluarga tidak yakin jika Sunardi memiliki keterlibatan dalam tindak pidana terorisme.
Menurut Endro, keluarga juga tidak menerima pemberitahuan terkait penangkapannya sampai akhirnya mendapatkan kabar jika Sunardi berada di Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang karena ditembak.
“Saya sudah memastikan ke keluarga, dokumen yang mereka terima hanya dokumen serah terima jenazah dari RS Bhayangkara, dokumen lain tidak ada,” ujarnya.
Endro yang juga sekretaris Islamic Study and Action Center (ISAC) mengatakan bahwa sudah ada beberapa pengacara yang menawarkan diri untuk mendampingi keluarga terkait kasus ini jika mereka ingin menuntut keadilan.
Tetapi menurut Endro, dia belum menanyakan hal ini kepada keluarga karena menurutnya tidak etis menanyakannya ketika keluarga masih berduka.
Trisno Raharjo, Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pengurus Pusat Muhammadiyah, mengatakan polisi harus melakukan penyelidikan internal atas tewasnya tersangka.
“Kalau misalnya melakukan perlawanan, itu dilumpuhkan bukan dimatikan. Nah, standar membahayakan itu bagaimana?” ujar Trisno kepada BenarNews.
“Saya menyayangkan sekali, kenapa kejadiannya Rabu tetapi informasi tentang perlawanan baru diberitahukan Kamis. Seakan kalau tewas itu pasti melawan. Hal-hal seperti ini selalu meninggalkan permasalahan,” tambahnya.
Trisno mempertanyakan apakah polisi berpegang pada standar prosedur dalam melakukan penangkapan.
“Supaya tidak ada gejolak, harus dilakukan pemeriksaan secara terbuka, transparan dan sungguh-sungguh siapa-siapa saja yang terlibat. Apapun pidananya, kalau menyebabkan kematian, pihak kepolisian harus siap diperiksa. Keluarga menuntut atau tidak, investigasi harus dilakukan oleh Kepolisian,” ujarnya. (Kusumasari Ayuningtyas| BenarNews)