Ukraina Kini Mencari Makna Politik Bebas Aktif Di tengah Krisis
WASHINGTON,LELEMUKU.COM - Sejak Sekolah Dasar, anak-anak Indonesia diajarkan tentang politik luar negeri bebas aktif. Dalam praktiknya, prinsip itu tidak mudah diterapkan, karena kondisi politik itu sendiri.
Ujian praktik politik luar negeri bebas aktif itu antara lain datang ketika PBB mengesahkan resolusi yang meminta Rusia menghentikan serangan ke Ukraina. Indonesia termasuk satu dari 141 negara yang setuju dengan resolusi itu.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Patrice Lumumba, adalah salah satu pakar yang turut mempertanyakan pilihan sikap itu.
“Kenapa kok ikut-ikutan memprakarsai resolusi ke Majelis Umum PBB? Bukannya cukup abstain saja. Supaya Indonesia menampakkan masih nonblok. Masih bebas aktif,” ujar Patrice kepada VOA.
Pilihan sikap untuk setuju, menolak atau abstain memang tidak mudah, kata Patrice. Namun, dia membandingkan dengan negara seperti China saja, yang justru memilih abstain, meskipun mereka dekat dengan Rusia.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Patrice Lumumba, adalah salah satu pakar yang turut mempertanyakan pilihan sikap itu.
“Kenapa kok ikut-ikutan memprakarsai resolusi ke Majelis Umum PBB? Bukannya cukup abstain saja. Supaya Indonesia menampakkan masih nonblok. Masih bebas aktif,” ujar Patrice kepada VOA.
Pilihan sikap untuk setuju, menolak atau abstain memang tidak mudah, kata Patrice. Namun, dia membandingkan dengan negara seperti China saja, yang justru memilih abstain, meskipun mereka dekat dengan Rusia.
Patrice memahami Indonesia berada dalam posisi sulit. Dia mengambil contoh, untuk urusan pesawat tempur, Indonesia memiliki ketergantungan baik kepada Amerika Serikat maupun Rusia. Selain pesawat Amerika seperti F15, Indonesia juga mengoperasikan Sukhoi buatan di Skuadron Udara 11, di Makassar. Karena itu, sikap abstain adalah yang terbaik. Dengan begitu, Indonesia tidak ikut memposisikan Rusia sebagai pihak bersalah dalam konflik ini.
“Apa yang dilakukan Rusia itu sudah sering dilakukan Amerika. Sudah sering dilakukan oleh China. Kalau ada gejala yang mengancam dia, langsung first strike atau preventive strike. Dia bertindak duluan,” ujarnya.
Seharusnya, lanjut Patrice, Indonesia menerapkan strategi menunggu dan mengamati perkembangan yang terjadi. Sikap ini akan lebih konsisten dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif. Amerika, lanjut Patrice, memang bisa menandai negara-negara yang tidak mendukungnya dalam konflik internasional. Namun dengan setuju resolusi, ada risiko Rusia akan membaca sikap Indones“ASEAN ini seolah ada di posisi status quo saja. ASEAN itu yang penting damai, guyup, tetapi tidak membahas isu-isu yang strategik, yang seharusnya dipecahkan oleh komunitas ASEAN itu,” lanjutnya.
Menghadapi masalah keketuaan ASEAN di tangan Kamboja, tantangan mengarah ke Indonesia. Sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia seharusnya mengambil peran turut mengurai persoalan Rusia-Ukraina.
Agus mengingatkan, di masa lalu, ASEAN memiliki peran yang lebih terlihat.
“Indonesia bisa mendorong ASEAN untuk memainkan peran lebih besar. Dulu saya melihat, pemerintahan SBY ataupun Soeharto, mencoba untuk mau bermain. Karena kita ini, kan tidak bisa sendiri,” tambah Agus.
Seperti juga Patrice di atas, Agus mengakui ada risiko ketika Indonesia tampil terlalu agresif di tengah invasi Rusia ke Ukraina. Ketergantungan ekonomi adalah salah satunya. Karena itu, meminjam tangan ASEAN akan menjadi lebih strategis.
Indonesia tidak bisa bersikap tegas seperti Singapura, misalnya, karena berbagai alasan. Singapura bertaruh, jika lansekap politik atau ekonomi setelah perang ini berubah, mereka akan mendapat manfaat terutama dari sisi Eropa atau Amerika. Indonesia.“Kalau kita bersikap keras seperti Singapura, lalu oleh Rusia kita dimasukkan dalam daftar negara yang tidak ramah kepada Rusia, kita belum tahu dampaknya. Terhadap perawatan Shukoi, misalnya. Kita juga belum tahu bagaimana kemudian kebijakan ekonomi China ke kita, karena mereka dekat dengan Rusia,” papar Agus lagi.
“Sikap Indonesia dalam krisis Ukraina, konsisten dengan prinsip bebas aktif. Dan bebas aktif tidak identik dengan sikap netral, melainkan bebas bersikap sesuai kepentingan nasional,” ujar Abdul Kadir dalam diskusi Asosiasi Dosen Hukum Internasional, Kamis (10/3).
Abdul Kadir juga menegaskan, sikap Indonesia tersebut bukan sekedar mengikuti negara lain. Indonesia berkepentingan menyuarakan pentingnya penghormatan norma hukum internasional.
“Kita mengetahui bahwa dalam kenyataan politik hukum internasional sering kali tampil berbeda. Tetapi itu tidak menghentikan kita untuk mengatakan sesuatu, untuk menegakkan norma internasional,” tambah Abdul Kadir.
“Sikap Indonesia dalam krisis Ukraina, konsisten dengan prinsip bebas aktif. Dan bebas aktif tidak identik dengan sikap netral, melainkan bebas bersikap sesuai kepentingan nasional,” ujar Abdul Kadir dalam diskusi Asosiasi Dosen Hukum Internasional, Kamis (10/3).
Abdul Kadir juga menegaskan, sikap Indonesia tersebut bukan sekedar mengikuti negara lain. Indonesia berkepentingan menyuarakan pentingnya penghormatan norma hukum internasional.
“Kita mengetahui bahwa dalam kenyataan politik hukum internasional sering kali tampil berbeda. Tetapi itu tidak menghentikan kita untuk mengatakan sesuatu, untuk menegakkan norma internasional,” tambah Abdul Kadir.
“Jadi harus ada pernyataan tertulis. Itu yang akan membuat Rusia tidak akan lagi melakukan serangan,” ujarnya.
Langkah selanjutnya adalah mendorong Ukraina dan Rusia membuat kesepakatan terkait netralitas Ukraina, yang tidak akan menjadi anggota Uni Eropa dan NATO. Menurut Hikmahanto, dalam forum ini persoalan Krimea, Donbass dan Luhansk, juga harus ikut diselesaikan. [VOA]