Survei Lembaga Australia Sebut Pandangan Orang Indonesia ke China Kian Memburuk
pada tanggal
07 April 2022
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Orang Indonesia memiliki pandangan lebih buruk tentang China dan investasinya dibandingkan 11 tahun lalu tetapi juga tidak terlalu menyukai Barat, demikian menurut survei terbaru yang dilakukan oleh lembaga Australia Lowy Institute.
Sekitar 60 persen responde setuju kalau Indonesia harus bergabung dengan negara lain untuk membatasi pengaruh China, kenaikan 10 poin dibading survei yang diadakan pada tahun 2011 oleh Lowy Institute.
Sementara itu sebanyak 55 persen responden menyatakan pemerintah Indonesia tak cukup melakukan upaya untuk menekan China.
Tiga dari 10 orang Indonesia mengatakan bahwa pemerintah mengizinkan terlalu banyak investasi, dengan hampir 60 persen dari mereka meyakini bahwa pemerintah mengizinkan terlalu banyak investasi dari China, demikian hasil jajak pendapat tersebut.
Sementara 13 persen lainnya berpendapat bahwa pemerintah mengizinkan terlalu banyak investasi dari Amerika Serikat.
“Warga Indonesia optimis tentang masa depan tetapi waspada terhadap kekuatan negara besar yang berusaha merangkulnya,” kata laporan survei Lowy Institute.
Sekitar 43 persen orang Indonesia mengatakan bahwa pertumbuhan China baik untuk Indonesia, turun dari 54 persen pada tahun 2011, menurut hasil survei Lowy.
Hanya 40 persen yang mengatakan bahwa kepentingan Indonesia tidak akan dirugikan jika China memperoleh lebih banyak kekuatan dan pengaruh, meningkat empat poin dari tahun 2011.
Hanya 30 persen orang Indonesia yang mengatakan mereka mendukung perusahaan, bank, atau dana investasi dari China untuk membeli saham pengendali di sebuah perusahaan besar Indonesia, kata laporan itu.
“Perihal AS dan China, di 16 pertanyaan yang mewakili berbagai indikator hard power hingga soft power, kita dapat melihat bahwa posisi [China] menurun lebih buruk dibandingkan dengan [Amerika Serikat], bahkan di area yang secara tradisional dipandang sebagai kekuatan China seperti investasi asing,” kata Evan Laksmana, salah satu penulis laporan.
Jajak pendapat Lowy Institute dilakukan terhadap 3.000 responden di 33 provinsi di Indonesia pada November-Desember 2021.
Dalam survei tersebut juga terungkap, investasi dari China dinilai menimbulkan reaksi paling negatif sedangkan investasi dari Arab Saudi dinilai positif. Selain itu, kepercayaan untuk negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura tetap tinggi.
Namun, kepercayaan orang Indonesia terhadap negara-negara lain cenderung menurun. Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap AS, Australia, China, dan Inggris tergerus drastis. Sebaliknya, persepsi bahwa negara-negara itu mengancam Indonesia, naik.
Sebanyak 57 persen responden mendukung Arab Saudi yang membeli saham pengendali di perusahaan besar Indonesia. Sedangkan 53 persen dari responden mengatakan mereka menyukai investasi dari Jepang dan Singapura, sementara kurang dari setengah (47 persen) menyukai investasi dari Malaysia.
Dukungan untuk investasi dari negara barat lebih sedikit dibandingkan negara lain dengan angka empat dari sepuluh orang mendukung investasi dari Amerika Serikat (42 persen), Australia (41 persen) dan 37 persen dari responden menyukai investasi dari Belanda.
Meskipun negara demokrasi, survei menunjukkan masyarakat Indonesia mengagumi pemimpin otoriter di negara lainnya.
Contohnya, orang Indonesia lebih percaya kepada para pemimpin Arab Saudi dan Uni Emirat Arab daripada pemimpin asing yang memerintah dengan sistem demokrasi.
Kendati demikian, Jepang, Amerika Serikat, dan Korea Selatan menjadi tujuan utama orang Indonesia untuk belajar dan bekerja di luar negeri, kata laporan tersebut.
Isu internasional lain
Sebanyak 61 persen responden menganggap intervensi asing sebagai masalah paling mencemaskan.
Selain intervensi asing, isu internasional yang paling mendapat perhatian adalah ketidakstabilan keuangan global, hingga 60 persen responden menganggapnya sebagai ancaman. Sebaliknya, hanya 41 persen yang menganggap perang AS-China sebagai ancaman bagi Indonesia.
“Terkait masalah konflik, 84 persen responden mengatakan jika terjadi potensi konflik Amerika Serikat dan China, maka penduduk Indonesia harus tetap netral,” bunyi laporan tersebut.
Sementara hanya empat persen yang mengatakan Indonesia harus mendukung Amerika Serikat ataupun mendukung China (1 persen).
Isu lain yang konsisten menjadi kecemasan adalah terorisme. Kecemasan pada terorisme setara dengan kekhawatiran pada COVID-19 dan kelangkaan pangan.
Sedangkan hampir seluruh responden menyatakan tak menganggap penting konferensi tingkat tinggi G20 yang akan dilaksanakan di Bali pada Oktober, saat Indonesia mendapat giliran menjadi ketua.
“Hanya 17 persen responden rutin mengikuti berita-berita luar negeri. Bahkan, hanya 25 persen responden pernah mendengar istilah “bebas aktif”,” yaitu politik luar negeri Indonesia, kata Evan dalam akun Twitternya.
Evan menyebut bahwa riset itu menunjukkan banyak hal kontradiktif dalam pandangan warga Indonesia.
“Tetapi kami berharap untuk memulai percakapan yang lebih baik tentang kebijakan luar negeri Indonesia dengan bertanya dan mendengarkan apa yang orang Indonesia pikirkan tentang dunia dan kawasan,” ujjarnya.
China diprioritaskan
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengakui memang skeptisme terhadap investasi asal China berasal dari kekhawatiran akan kesempata kerja bagi warga lokal dan persepsi perlakuan istimewa terhadap pengusaha China.
“Contohnya adalah beragam revisi regulasi ketenagakerjaan sehingga memudahkan masuknya tenaga kerja asing,” kata Bhima.
“Pada saat pandemi bahkan ketika Indonesia lakukan pengetatan mobilitas, justru tenaga kerja asal China masuk. Ada rasa ketidakadilan dari banjirnya tenaga kerja asing atas nama investasi,” ujar dia kepada BenarNews.
Berbagai fasilitas perpajakan diberikan kepada investor China di smelter nikel, mulai dari keringanan pajak hingga bea masuk barang modal seperti mesin cukup marak, ujarnya.
Wakil direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menilai kekhawatiran akan China wajar mengingat mereka banyak terlibat proyek infrastruktur.
“China sendiri juga memang berusaha mengekspansi investasinya ke luar China, terutama ke negara berkembang melalui Belt Road Initiative (BRI),” ujarnya kepada BenarNews.
“Di sisi lain, investor dari Eropa dan AS beberapa tahun terakhir sedang memulihkan perekonomian, dan umumnya minatnya bukan di infrastruktur,” kata dia.(Tria Dianti| BenarNews)