Kelompok HAM Desak Pemerintah dan DPR tidak Loloskan Rancangan RKUHP
pada tanggal
24 Juni 2022
JAKARTA PUSAT, LELEMUKU.COM - Kelompok hak asasi manusia pada Kamis (23/6) mendesak pemerintah dan DPR untuk tidak meloloskan rancangan undang-undang hukum pidana yang dilakukan tanpa konsultasi publik karena ada kekhawatiran beberapa pasal mengancam kebebasan mengeluarkan pendapat dan hak individu.
Meski draf akhir Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) belum dirilis ke publik, aktivis menyorot pasal-pasal yang menurut mereka dapat mengancam kebebasan dan demokrasi, termasuk tentang penghinaan terhadap pemerintah dan seks di luar nikah.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP, yang merupakan gabungan beberapa organisasi masyarakat sipil, menuduh pemerintah ingin mengesahkan legislasi itu tanpa pembahasan lebih dalam.
“Aliansi meminta agar Tim Perumus RKUHP, Pemerintah dan DPR terlebih dahulu membuka luas pembahasan RKUHP dan tidak mengesahkan RKUHP tanpa adanya pembahasan dengan partisipasi bermakna sesuai arahan Presiden Jokowi pada 2019,” kata Aliansi dalam pernyataan tertulis.
Pemerintah telah mengidentifikasi 14 pasal yang dianggap kontroversial yang perlu dibahas lebih lanjut dengan DPR, namun menurut aktivis hak asasi manusia (HAM) hal itu “simplifikasi” dan keberatan mereka bukan cuma seputar itu.
“Aliansi menilai bahwa terdapat lebih dari 14 isu krusial yang bermasalah, namun tidak dibahas oleh pemerintah terutama terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat,” kata pernyataan itu.
Menurut Aliansi, penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara melalui teknologi informasi bermasalah karena tidak diaturnya delik aduan dan berpontensi tumpang tindih dengan undang-undang lain, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pada Kamis, perwakilan Aliansi bertemu dengan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej untuk membahas pasal yang dianggap kontroversial, namun pihak pemerintah tetap menolak membuka draf rancangan undang-undang itu dengan alasan masih ada salah ketik, demikian Julius Ibrani, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) – salah satu anggota Aliansi.
“Padahal kami bersedia datang dalam undangan pemerintah asal mereka mau menunjukkan drafnya, mereka mengiyakan tapi pada saat pertemuan tiba-tiba menolak,” kata Julius kepada BenarNews.
“Wamen (Edward Hiariej) bilang, ini sudah final dan draf mau diserahkan ke DPR. ‘Kalau merasa ada pasal yang tidak sesuai silakan gugat saja di MK (Mahkamah Konstitusi),’” kata Julius, mengutip Edward.
Aliansi juga meminta pemerintah menghapus pasal-pasal lain seperti penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, dan penghinaan terhadap kekuasaan yang sah dan lembaga-lembaga negara.
Mereka mengancam akan mengorganisir bersama Badan Eksekutif Mahasiswa dari Universitas Indonesia (BEM UI) demo yang lebih besar dari unjuk rasa tahun 2019.
Pada tahun itu ribuan mahasiswa menggelar unjuk rasa di berbagai kota yang berujung kerusuhan bahkan jatuhnya korban jiwa terkait penolakan atas pengesahan RKUHP dan revisi atas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai bermasalah.
Di tengah protes tersebut Revisi Undang-Undang KPK disahkan, namun RKUHP ditunda pengesahannya untuk dibahas lebih lanjut dan sejak itu drafnya tidak pernah dipublikasikan.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward pada Rabu mengatakan pasal tentang hukuman 4 tahun penjara bagi mereka yang dinilai menghina pemerintah dan pejabat negara akan dipertahankan dalam RKUHP meski banyak penolakan.
"Mengapa pasal penghinaan itu kita tetap pertahankan? Itu sudah diuji di MK dan MK menolak. Kalau MK menolak kira-kira bertentangan dengan konstitusi atau tidak? Tidak kan," kata Edward seperti dikutip CNN Indonesia.
Bulan lalu, anggota Komisi III DPR RI yang mengurus masalah hukum, HAM dan keamanan, Arsul Sani, menyatakan delik praktik lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) serta zina masuk dalam draf RKUHP.
"Jadi enggak perlu didorong-dorong lagi, karena memang sudah dibahas dan disepakati," kata Arsul kepada CNN Indonesia.
Setara Institute, LSM yang menyorot isu kebebasan politik dan hak asasi manusia, mendesak DPR dan pemerintah untuk meninjau ulang dan membatalkan pasal-pasal dalam RKUHP yang mengancam kebebasaan dan hak pribadi warga negara, seperti soal hubungan seks di luar nikah, pidana mati, dan penodaan agama.
Setara beralasan tidak semua perbuatan yang dianggap tercela dalam konteks agama secara otomatis dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
“Pasal ini menjadi bukti bentuk intervensi negara yang terlalu eksesif terhadap ranah privat setiap individu,” kata Setara dalam keterangan tertulisnya.
Kecaman terhadap sejumlah pasal dalam RKUHP juga disampaikan Andreas Harsono, seorang peneliti di Human Rights Watch Indonesia. “Rancangan KUHP Indonesia mencerminkan meningkatnya pengaruh Islamisme karena banyak kaum Muslim menganggapnya sebagai hal penting dari apa yang mereka klaim sebagai hukum Syariah,” kata Andreas seperti dikutip di Al Jazeera. “Ini akan menjadi bencana tidak hanya bagi perempuan, dan minoritas agama dan gender, tetapi untuk semua orang Indonesia.”
Sementara itu Setara menyesalkan masih diadopsinya pidana mati dalam substansi RKUHP, sekalipun sebagai upaya hukum terakhir, karena hak hidup menurut konstitusi merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi.
Terlebih, tambah Setara, berdasarkan catatan Amnesty International, tren global pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 142 negara sedang mengarah pada penghapusan hukuman mati, dan hanya 52 negara termasuk Indonesia yang masih konsisten dengan penerapan hukuman mati.
“Alih-alih menghapus, pemerintah justru menambah deretan regulasi soal pidana mati dengan menyisipkan pidana mati dalam draf RKUHP,” katanya.
Organisasi tersebut mengkritik pemerintah masih mempertahankan pasal penodaan agama yang secara nyata selama ini justru menjadi akar dari banyaknya intoleransi dan diskriminasi.
Pasal penodaan agama sering kali digunakan untuk menghukum interpretasi seseorang yang berbeda dari keyakinan keagamaan mayoritas, kata Setara.
Setara memprotes ketiadaan itikad pemerintah untuk membuka draf terbaru RKUHP kepada publik untuk mewujudkan prinsip partisipasi yang berarti.
“Kurangnya ruang deliberatif dalam proses legislasi selama inilah yang menjadi musabab banyaknya penolakan atas berbagai undang-undang, karena proses legislasi yang tidak partisipatif sangat berpotensi mengarah pada produk legislasi yang jauh dari harapan masyarakat,” kata Setara. (BenarNews)