Malika Mobley Menolak Rencana Menambah Aparat Keamanan di Sekolah
pada tanggal
06 Juni 2022
WASHINGTON, LELEMUKU.COM - Setelah penembakan massal di Sekolah Dasar Robb, di Kota Uvalde, Texas, pada 24 Mei lalu, sekolah-sekolah di seluruh Amerika Serikat berjanji akan meningkatkan langkah-langkah keamanan dan menambah kehadiran aparat penegak hukum di sekolah. Hal tersebut didorong untuk menenangkan para orang tua dan siswa yang khawatir akan masalah keamanan.
Tetapi keberadaan polisi di dalam sekolah dapat membuat sebagian siswa menjadi lebih gelisah. Khususnya bagi siswa berkulit hitam dan kulit berwarna lainnya, pengalaman pribadi mereka ketika berhadapan dengan polisi justru dapat membuat mereka merasa tidak aman dan terasing dari sekolah ketika melihat keberadaan polisi di lingkungan mereka belajar. Para peneliti mendapati bahwa dibanding siswa berkulit putih, sejumlah siswa berkulit hitam melaporkan mereka merasa kurang aman ketika berada di sekitar petugas polisi.
Seorang siswa Sekolah Menengah Atas Malika Mobley telah melihat kehadiran tiga polisi berbeda berpatroli di sekitar sekolahnya di Raleigh, North Carolina. Dalam perjalanan pulang dari sekolah ia melihat petugas menahan teman sekelasnya yang tampak sangat putus asa, dan mendorong siswa itu ke tempat duduk belakang mobil polisi.
“Mereka menangis. Mengapa kamu melakukan hal ini pada saya? Saya tidak melakukan apa-apa,” ujar Mobley, salah seorang pemimpin Koalisi Siswa Kulit Hitam di Wake County Black. “Saya hanya dapat berdiri dan tidak bisa melakukan apapun.”
Sejak tahun 2020, kelompok siswa tersebut telah memperjuangkan pembatasan jumlah aparat kepolisian di gedung-gedung sekolah dan lebih mendorong investasi pada konselor atau penasehat, serta staf pendukung bagi siswa.
“Kami tidak melihat kehadiran polisi sebagai bagian dari solusi,” ujar Mobley. “Jika Anda benar-benar ingin tahu mengapa polisi tidak membuat kami merasa lebih aman, Anda harus melihat hubungan pada seluruh bentuk tragedi yang berdampak pada kelompok paling terpinggirkan di antara kita.”
Dalam beberapa dekade terakhir ini, kehadiran polisi secara teratur di sekolah-sekolah di seluruh Amerika sering kali muncul dalam bentuk petugas bantuan yang bertugas membangun hubungan dengan anak-anak muda. Tujuannya untuk mempromosikan kepercayaan pada penegakan hukum, memberikan rasa aman dan menegakkan hukum.
Para pengecam mengatakan kehadiran polisi bersenjata di sekolah sering membuat siswa berkulit hitam ditangkap dan dihukum secara tidak proporsional, yang mengarah pada apa yang mereka sebut sebagai “jalur dari sekolah ke penjara.”
Para peneliti mendapati bahwa dibandingkan siswa kulit putih, maka siswa berkulit hitam melaporkan merasa kurang aman berada di sekitar polisi dan bahwa polisi di distrik-distrik sekolah yang didominasi siswa berkulit hitam cenderung melihat siswa sebagai ancaman.
Direktur Program “Opportunity to Learn” di Advancement Project, Katherine Dunn mengatakan siswa berkulit hitam dan berwarna lainnya juga secara tidak proporsional memiliki interaksi negatif dengan polisi di sekolah, mulai dari rujukan hingga penegakan hukum, ditangkap atau ditahan. Sejak tahun 2007, ia telah mendokumentasikan sedikitnya 200 contoh petugas polisi di sekolah yang menyerang siswa.
“Ini menunjukkan semua kerusakan fisik yang dialami anak-anak muda oleh polisi,” ujarnya. “Ada pula yang memiliki pengalaman direndahkan dan dibuat merasa seperti penjahat karena berjalan menyusuri lorong menuju kelas bersama beberapa polisi bersenjata, yang berada di situ bukan untuk keselamatan Anda, yang justru Anda lihat menangkap dan menyerang teman-teman Anda,” tambahnya.
Setelah penembakan massal di SMA Marjory Stoneman Douglas di Parkland, Florida, badan legislatif negara bagian itu mengeluarkan aturan hukum yang mengamanatkan seluruh sekolah umum memiliki (VOA)