Sri Mulyani Sebut Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Masih Positif, Tetapi Tetap Waspada
pada tanggal
23 Oktober 2022
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah tetap mewaspadai pelemahan ekonomi dan ketidakpastian global meskipun kondisi perekonomian dalam negeri hingga kini masih cukup positif. Berbagai lembaga internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional hanya akan terkoreksi sedikit menjadi di bawah 5 persen pada 2023 dibandingkan perkiraan tahun ini sebesar 5,3 persen.
Padahal pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 –sebagaimana diproyeksikan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF)- hanya berada di 3,2 persen pada 2022. Dan angka tersebut diproyeksikan akan menurun pada tahun depan. Tren penurunan ini juga terlihat dari proyeksi pertumbuhan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS), China, dan sejumlah negara Eropa.
Sri Mulyani memaparkan kinerja sektor eksternal Indonesia masih cukup positif. Hal itu terlihat dari neraca perdagangan yang terus surplus selama 29 bulan berturut-turut dan mencetak angka
surplus $4,99 miliar pada September 2022. "Neraca perdagangan ini memberikan bantalan terhadap gejolak yang terjadi dari arah ekonomi global. Ekspor kita masih tumbuh cukup tinggi, yaitu 20,28 persen," tambahnya secara daring, Jumat (22/10/2022).
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut menjelaskan bahwa pertumbuhan ekspor dan impor yang positif itu dipengaruhi penguatan harga komoditas global yang tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu di antaranya komoditas sawit, batu bara, dan gas alam.
"Pangan, energi perlu dijaga, kurangi ketergantungan impor. Percepatan transisi energi juga bisa membuat Indonesia lebih kuat secara fundamental karena mengurangi ketergantungan pada fluktuasi harga minyak." tambahnya.
Ia menyarankan pemerintah mengambil sejumlah kebijakan relaksasi untuk menjaga ekonomi nasional. Salah satunya dari sisi konsumen yaitu pengurangan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 8 persen. Kata dia, kebijakan ini dapat membantu konsumsi rumah tangga kelas menengah yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi sekaligus membantu kenaikan omset pelaku usaha ritel.
Selain itu, Bhima berpendapat, kenaikan suku bunga secara umum dapat diimbangi dengan pemberian subsidi bunga yang lebih besar bagi Kredit Usaha Mikro maupun sektor properti. Bantuan terhadap pelaku UMKM dengan penurunan bungan menjadi 2-3 persen bisa memberikan efek berantai pada serapan tenaga kerja.
"Sektor properti perlu menjadi perhatian karena terkait dengan 175 sub sektor usaha, khususnya logistik dan industri pengolahan."
Ia mencontohkan bentuk bantuan di sektor properti yaitu penambahan subsidi bunga dalam skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari 5 persen menjadi 4 persen. Ini supaya masyarakat berpenghasilan rendah dapat lebih terbantu dalam mengajukan kredit pembangunan rumah (KPR). Subsidi uang muka juga diharapkan menarik minat masyarakat dalam memutuskan pembelian rumah pada tahun 2022-2023. (VOA)