Indonesia dan Rwanda Kerja Sama Pimpin Pengelolaan Dana Pandemi
pada tanggal
13 November 2022
BALI, LELEMUKU.COM - Pertemuan gabungan menteri keuangan dan menteri kesehatan negara-negara G20 menyepakati pembentukan Dana Pandemi. Indonesia dan Rwanda bekerja sama memimpin pengelolaan dana yang saat ini telah terkumpul $1,4 miliar.
Dalam sesi keterangan kepada media pada Sabtu (12/11) tengah malam, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa 20 negara dan 3 lembaga filantropi berkomitmen penuh mengumpulkan dana awal. Pada perkembangan terakhir, muncul komitmen dari Australia, Prancis, dan Arab Saudi yang juga akan berkontribusi, sehingga diyakini pencapaian akhir pada tahap pertama ini akan lebih dari $1,4 miliar.
“Kami juga sudah menunjuk ketua, dalam hal ini kerjasama antara Indonesia dan Rwanda, yaitu Pak Chatib Basri serta Menteri Ngamije,” ujar Sri Mulyani.
Chatib Basri adalah Menteri Keuangan Indonesia periode 2013–2014, sedangkan Daniel M. Ngamije, adalah Menteri Kesehatan Rwanda saat ini.
Dengan terbentuknya Dana Pandemi, tim pengelola akan mulai membuka kesempatan pengiriman proposal penggunaan dana tersebut.
“Semua anggota G20 meminta, agar tata kelola dana ini inklusif dan terutama lebih memperhatikan negara berpenghasilan rendah dan negara berkembang, dalam hal membangun kapasitas mereka untuk kesiapsiagaan pandemi,” tambah Sri Mulyani.
Pandemic Fund Jadi Wadah Kesiapsiagaan
Pertemuan gabungan menteri keuangan dan menteri kesehatan, merupakan amanat dari Deklarasi Roma yang dihasilkan dari pertemuan G20 pada 2021 lalu. Kedua kementerian ditugaskan untuk membentuk gugus tugas kesehatan dan keuangan bersama, agar dapat mengatasi masalah pandemi, terutama pada isu kesiapsiagaan.
Seluruh negara, kata Sri Mulyani, yakin bahwa pandemi COVID-19 tidak akan menjadi yang terakhir. Frekuensi dan sifat pandemi, dapat menimbulkan kerugian sangat besar baik dari segi kemanusiaan maupun ekonomi.
“Untuk menutup kesenjangan ini, memang perlu ada kontributor. Dimana kita bisa meratakan distribusi layanan kesehatan di masa darurat. Kalau normal, kita enggak bermasalah, tapi begitu darurat, kita ada kesenjangan di situ,” kata Kunta.
Termasuk dalam kesepakatan ini, adalah upaya memperkuat kapasitas negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, untuk bisa merespon keadaan darurat kesehatan.
Kesepakatan kedua yang telah dibuat adalah evaluasi untuk akses COVID-19 Tool Accelerator yang diharapkan menjadi lebih permanen dan berkelanjutan. Jika dana pandemi bermakna memobilisasi dana, maka kesepakatan kedua ini lebih pada mobilisasi sumber daya kesehatan.
“Intinya, kalau nanti ada pandemi lagi, kita tidak sepeti kemarin, langsung di-lockdown dan tidak bisa bergerak. Nanti dengan interoperability, orang sehat boleh muter-muter, bergerak, ekonomi bisa jalan,” ujar Kunta.
Pada titik ini, aplikasi kesehatan di masing-masing negara telah tersambung, sehingga dapat saling melengkapi. Pelaku perjalanan dari Indonesia ke negara lain, tidak perlu memasang aplikasi negara tujuan. Seluruh status kesehatan pelaku perjalanan, dapat dilihat dengan harmonisasi aplikasi antarpemerintah.
Kesepakatan kelima, adalah melakukan analisa kesenjangan dan pemetaan jaringan penelitian dan manufaktur. Negara-negara didorong membangun manufaktur dan penelitian di bidang vaksin, terapi dan diagnosis. Ada tujuh negara anggota G20 yang berminat terhadap skema ini, yaitu Argentina, Brazil, India, Indonesia, Arab Saudi, Turki dan Afrika Selatan. Seluruh pihak akan membentuk ekosistem manufaktur dari vaksin, obat-obatan dan alat diagnostik, untuk menghadapi pandemi di masa depan. (VOA)