Pemerintah China Remehkan Tingkat Keparahan Kasus COVID-19
pada tanggal
04 Januari 2023
WHO telah mengundang para ilmuwan untuk mempresentasikan data terperinci tentang pengurutan virus itu dalam pertemuan kelompok penasehat teknis pada Selasa, dan telah meminta China untuk berbagi data tentang jumlah rawat inap, kematian dan vaksinasi.
Setelah pertemuan itu, juru bicara WHO mengatakan badan itu diperkirakan akan mengkomunikasikan hasilnya dalam jumpa pers pada Rabu (4/1). Sebelumnya juru bicara itu mengatakan WHO berharap akan ada “diskusi terperinci” tentang varian yang kembali meluas di China, dan di beberapa negara itu.
Perubahan kebijakan China secara tiba-tiba pada tanggal 7 Desember lalu, dan keakuratan data kasus dan kematian, semakin diawasi di dalam dan luar negeri.
China Nilai Pembatasan Baru Terkait COVID-19 Bagi Warga China “Tidak Masuk Akal”
Kementerian Luar Negeri China menyebut pembatasan masuk bagi para pelaku perjalanan dari negara tersebut yang diberlakukan oleh beberapa negara sebagai hal yang “tidak masuk akal,” dan mengatakan bahwa kebijakan itu “tidak memiliki dasar ilmiah.”
“Kami bersedia meningkatkan komunikasi dengan dunia, tetapi kami ... dengan tegas menentang upaya memanipulasi langkah-langkah pencegahan dan pengendalian epidemi untuk tujuan politik,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning dalam konferensi pers di Beijing.
WHO telah mendesak pejabat-pejabat kesehatan China untuk secara teratur membagikan informasi spesifik dan terkini tentang wabah itu.
Seorang pejabat Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih tidak bersedia mengomentari pertemuan WHO pada Selasa, tetapi menggemakan seruan WHO untuk meminta informasi lebih lanjut.
Media China Ikut Remehkan Kasus Baru COVID-19
Surat kabar resmi Partai Komunis China, People’s Daily, pada Selasa mengutip para pakar China yang mengatakan penyakit yang diderita oleh banyak warga China akibat virus COVID-19 relatif ringan.
“Jumlah kondisi pasien yang mengalami penyakit parah dan kritis hanya sekitar 3-4 persen dari total pasien yang saat ini terinfeksi dan mereka saat ini dirawat di rumah-rumah sakit yang ditunjuk di Beijing,” kata Tong Zhaohui, wakil presiden Beijing Chaoyang Hospital kepada surat kabar itu.
Kepala West China Tianfu Hospital di Universitas Sichuan, Kang Yan, mengatakan dalam tiga minggu terakhir ini ada 46 pasien yang dirawat di unit perawatan intensif, mewakili sekitar satu persen infeksi simtomatik.
Sebelum pertemuan WHO pada Selasa, dua ilmuwan terkemuka dan anggota komite WHO mengatakan mereka sedang mengupayakan “gambaran yang lebih realistis” tentang situasi di China. Tetapi mereka tidak memberikan pernyataan lagi seusai pertemuan itu.
Pakar Ragu Beijing akan Bersikap Terbuka
Sebagian pakar ragu Beijing akan bersikap terbuka.
“Saya kira China tidak akan jujur mengungkapkan informasi,” ujar Associate Professor di Lee Kuan Yew School of Public Policy di Universitas Nasional Singapura (NUS) Alfred Wu.
“Mereka akan lebih suka menyimpan informasi itu untuk diri mereka sendiri, atau mengatakan hal itu tidak terjadi. Ini bukan hal baru. Kita dapat mengasumsikan bahwa tidak ada yang baru, tetapi masalahnya ada transparansi China,” tambah Wu.
Amerika Serikat, Prancis, Italia dan beberapa negara lain mengatakan mereka mensyaratkan hasil tes COVID-19 negatif bagi mereka yang melakukan perjalanan dari China. Sementara itu, pejabat-pejabat kesehatan Uni Eropa akan melangsungkan pertemuan pada Rabu (4/1) untuk membahas tanggapan terkoordinasi terkait lonjakan COVID-19 di China.
China mulai tanggal 8 Januari nanti akan berhenti mewajibkan pelaku perjalanan yang masuk ke negaranya untuk melakukan karantina. Tetapi, para pelaku perjalanan masih diwajibkan untuk menjalani tes COVID sebelum keberangkatan. (VOA)