Sebut Video Tiktok Viral, Jokowi Soroti Tingginya Gizi Buruk Anak Indonesia
pada tanggal
09 Februari 2023
JAKARTA PUSAT, LELEMUKU.COM - Kehebohan tayangan video TikTok baru-baru ini yang memperlihatkan seorang ibu memberi minum kopi susu kepada bayinya menarik perhatian Presiden Joko "Jokowi" Widodo untuk menyoroti tingginya angka kurang gizi di kalangan anak-anak di Indonesia.
Meskipun Indonesia telah mengurangi angka stunting dari 24,4 persen pada 2021 menjadi 21,6 persen tahun lalu, masih banyak yang harus dilakukan untuk mencapai target 14 persen pada akhir masa jabatan lima tahun keduanya pada tahun 2024, kata Jokowi.
Itu berarti lebih dari 5 juta anak Indonesia mengalami stunting, kondisi kurang gizi kronis yang ditandai dengan tubuh pendek pada anak di bawah 5 tahun.
“Target yang saya sampaikan 14 persen di tahun 2024 ini harus kita bisa capai. Saya yakin dengan kekuatan kita bersama, semuanya bergerak, angka itu bukan angka yang sulit untuk dicapai asal semuanya bekerja bersama-sama,” kata Jokowi saat membuka Rapat Kerja Nasional Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana dan Penurunan Stunting, akhir bulan lalu di Jakarta.
Jokowi menyampaikan stunting masih menjadi masalah besar yang harus segera diselesaikan. Apalagi stunting dapat memengaruhi kualitas sumber daya manusia (SDM) sebuah negara, bukan hanya berdampak kepada kondisi fisik melainkan juga kesehatan hingga kemampuan berpikir anak.
“Dampak stunting ini bukan hanya urusan tinggi badan, tetapi yang paling berbahaya adalah nanti rendah kemampuan anak untuk belajar, keterbelakangan mental, dan yang ketiga munculnya penyakit-penyakit kronis yang gampang masuk ke tubuh anak,” ujar Presiden.
Presiden juga mengkritik Kementerian Kesehatan karena membagikan biskuit yang diperkaya sebagai pengganti makanan seperti telur, ikan, dan daging untuk mendukung kebutuhan gizi balita.
Pada acara yang sama Jokowi mengomentari video yang diunggah akun TikTok menampikan seorang ibu memberi kopi susu saset kepada bayinya yang berusia 7 bulan, ditayangkan lebih dari 2,6 juta kali dan di-retweet 3.444 kali, sehingga memunculkan beragam reaksi publik.
“Saya lihat kemarin yang ramai bayi baru 7 bulan diberi kopi susu saset. Kopi susu saset oleh ibunya. Karena yang ada di bayangan di sini adalah susu. Gitu loh. Anaknya mau diberi susu. Hati-hati mengenai ini,” kata Jokowi.
Alasan si ibu – dalam video berdurasi kurang dari 2 menit dengan latar suasana kemiskinan itu – bahwa dirinya tidak mampu membeli susu formula untuk bayinya karena harganya mahal, dan kebetulan di dalam kopi saset ada susunya juga, makanya dia meminumkan kopi susunya kepada anak balitanya.
Anggota DPR Netty Prasetiyani melihat kejadian tersebut sangat memprihatinkan dan harus menjadi tamparan bagi kita semua, terutama pemerintah yang setiap tahunnya dibekali dengan anggaran kesehatan.
“Kejadian ini semakin menunjukkan bahwa edukasi soal pangan sehat masih sangat jauh dijangkau oleh sebagian besar masyarakat. Padahal pemerintah memiliki program kesehatan di aspek promotif dengan anggaran yang besar, kata Netty kepada BenarNews, Jumat (2/3).
Netty menyerukan pemerintah harus “bekerja keras” menjangkau masyarakat dengan edukasi yang dilakukan berulang-ulang. Edukasi itu juga harus tepat sasaran dan merata, terutama di pelosok-pelosok pedesaan yang sulit dijangkau.
Kurang literasi gizi
Ahli gizi dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Iin Fatmawati, melihat tindakan ibu balita itu karena kurang pengetahuan mengenai konsumsi makanan dan minuman yang tepat untuk anak – selain faktor kemiskinan.
Oleh karena itu pemerintah perlu mengedukasi masyarakat mengenai makanan dan minuman yang baik untuk anak untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada anak, kata Iin.
“Intinya, pemerintah dan tenaga kesehatan memiliki peran untuk mencerdaskan masyarakat dan meningkatkan pengetahuan mereka,” kata Iin kepada BenarNews.
Senada dengan Iin. pakar kesehatan dari Grifith University, Australia, Dicky Budiman, masalah gizi pada anak, termasuk stunting atau malnutrisi, selalu terkait dengan masalah literasi. Menurut Dicky, literasi bukan hanya masalah promosi kesehatan, tapi satu pesan kesehatan tentang gizinya yang sesuai untuk komunitas tertentu dalam hal ini ibu di berbagai lokasi yang berbeda.
“Nah ini yang masih menjadi isu, karena komunikasi risiko yang dilakukan dalam konteks malnutrisi ini belum memadai, jadi digeneralisasi,” kata Dicky kepada BenarNews.
“Padahal dalam komunikasi risiko bukan satu untuk semua, semua untuk satu, tapi harus meng-address spesifik isu, specific community.”
Sehingga, menurut Dicky, pola komunikasi semacam itu yang bisa mencegah kasus-kasus seperti ibu yang memberi kopi susu saset kepada bayinya karena dalam pandangan dia kopi tersebut mengandung susu.
“Terus dalam konteks di daerah situ adanya kopi susu, dalam konteks ini kita tidak bisa menggeneralisasi, harus dilihat permasalahan apakah susah akses dengan susu, atau memang si ibu ini memang miskin, atau dia sebetulnya mampu tapi pengetahuan dia salah sumber informasi,” kata Dicky.
Bahkan, Iin menegaskan tidak membenarkan sama sekali tindakan ibu yang memberi asupan kopi susu pada anak balitanya karena sangat berisiko memperberat kerja jantung karena kandungan kafein.
“Seharusnya anak bayi bisa diberikan makanan yang lain yang memiliki kandungan gizi yang baik,” kata Iin.
Menurut Iin, program penanganan stunting di Indonesia, yang dikomandoi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, masih perlu diperbaiki karena beberapa terhambat oleh kondisi demografis wilayah di Indonesia yang sulit diakses serta penerimaan masyarakat yang masih kurang.
“Perlu dilakukan adalah, tetap fokus pada intervensi spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik sendiri adalah berfokus pada 1.000 hari pertama kehidupan, dimulai dari sebelum kehamilan hingga anak berusia 2 tahun,” kata Iin.
Intervensi pada saat sebelum kehamilan hingga pada saat proses kehamilan sangat berperan dalam kehidupan anak setelah dilahirkan, tambah Iin.
Gerakan turunkan angka stunting
Anggota DPR Darul Siska optimistis terhadap target kepala negara menurunkan angka stunting 14 persen pada 2024.
"Penurunan stunting ini bukan persoalan biasa, kita berharap nanti ada bonus demografi dan Indonesia Emas tercapai, namun jika kasus stunting tidak menjadi perhatian, maka itu akan menjadi impian belaka,” kata Darul dalam keterangan tertulis yang diterima BenarNews.
Selain penurunan yang signifikan, dia meyakini angka tersebut akan turun di saat keadaan normal kembali setelah pandemi karena penurunan 2,8 persen terjadi di masa pandemi.
“Pertama tentu sosialisasi dan penyadaran, edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa penanganan stunting dan peningkatan kualitas SDM ini penting," kata Darul.
Sementara, Kementerian Kesehatan menargetkan angka stunting di Indonesia turun menjadi 17 persen pada 2023.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan target tersebut diharapkan dapat mempermudah tugas Kemenkes untuk menekan angka stunting turun ke angka 14 persen pada 2024.
"Tahun ini diharapkan kita bisa mengejar penurunan ke angka 17 persen, agar momentum dari sekarang 21,6 persen ke 14 persen nantinya bisa kita kejar," kata Budi dalam agenda 'Sosialisasi Kebijakan Intervensi Percepatan Penurunan Stunting 2023'”, Jumat.
Kementerian juga menargetkan agar jumlah alat pengukur antropometri bertambah sebanyak 127.033 buah pada 2023 ini, jelas Budi. Pengukuran berat badan di posyandu menjadi salah satu deteksi dini pencegahan kasus stunting pada anak yang baru lahir.
Menteri Budi menargetkan kebutuhan alat pengukur sebanyak 313.737 dapat terpenuhi pada 2024. (Dandy Koswaraputra / Pizaro Gozali Idrus | BenarNews)