Para Menteri Iklim dan G7 Janji Percepat Peralihan ke Energi Bersih
pada tanggal
17 April 2023
TOKYO, LELEMUKU.COM - Menteri-menteri iklim dan energi anggota Kelompok Tujuh negara industri (G7) pada Minggu (16/4) sepakat untuk bekerja sama dengan negara-negara Selatan Dunia, termasuk wilayah Amerika Latin, Asia, Afrika dan Oseania, serta dengan satu sama lain untuk mencapai target iklim mereka, kata Menteri Perdagangan dan Industri Jepang Yasutoshi Nishimura dalam konferensi pers.
Menteri-menteri kelompok negara demokrasi maju itu bertemu di Kota Sapporo, Jepang utara, selama dua hari untuk membahas kebijakan iklim, energi dan lingkungan. Isu mengenai sumber bahan bakar dan ketahanan energi terbarukan menjadi semakin genting menyusul invasi Rusia ke Ukraina.
Negara-negara G7 setuju untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan dan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, ungkap Nishimura.
Namun mereka gagal menyepakati tenggat waktu tahun 2030 untuk mengurangi konsumsi batu bara seperti dikampanyekan oleh Kanada dan anggota lainnya.
Negara tuan rumah, Jepang, yang bergantung pada impor untuk hampir semua kebutuhan energinya, ingin mempertahankan gas alam cair (LNG) sebagai bahan bakar transisi setidaknya selama 10 hingga 15 tahun ke depan.
Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang Yasutoshi Nishimura mengatakan: “Pada pertemuan G7, kami mengakui bahwa berbagai negara di dunia memiliki situasi ekonomi dan energi yang berbeda-beda, dan jalan menuju netralitas karbon pada tahun 2050 pun sepatutnya beragam. Yang penting mengarah ke target nol emisi karbon, hal itu diakui.”
Komunike G7 berjanji akan secara bersama-sama meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai menjadi 150 gigawatt pada tahun 2030 dan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya hingga lebih dari 1 terawatt, yang mereka sebut sebagai peningkatan energi bersih yang drastis.
Mereka juga sepakat akan mempercepat penghapusan bertahap “unabated fossil fuels,” yaitu pembakaran bahan bakar fosil yang tidak menggunakan teknologi untuk menangkap hasil emisi karbon dioksida.
Percepatan itu akan memenuhi target nol emisi karbon dalam sistem pembangkit listrik paling lambat tahun 2050, kata para menteri, menjanjikan “langkah-langkah konkrit dan tepat waktu” untuk menghapus penggunaan batu bara.
Sementara Kanada mengatakan bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara tersebut seharusnya sudah tidak digunakan lagi pada 2030. Menteri Sumber Daya Alam Kanada Jonathan Wilkinson mengatakan kepada Reuters bahwa Kanada, Inggris dan beberapa negara anggota lain berkomitmen seperti itu.
Selain itu, polusi plastik juga disepakati harus dihapuskan pada tahun 2040, kata mereka, lebih cepat sepuluh tahun dari target semula.
Upaya Mengakhiri Emisi Karbon
Sementara itu, dalam wawancara dengan The Associated Press pada Minggu (16/4), Utusan Khusus AS untuk Urusan Iklim John Kerry, mengatakan bahwa setelah begitu banyaknya investasi dalam energi bersih, tidak boleh lagi ada kemunduran dalam upaya mengakhiri emisi karbon.
Kerry mencatat, apabila negara-negara mampu memenuhi janji mereka untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, dunia bisa membatasi pemanasan global hingga 1,7 derajat Celcius – lebih baik dari skenario terburuk, tapi masih lebih buruk dari batas pemanasan global di atas tingkat pra-industri sebesar 1,5 derajat Celcius.
“Presiden AS Joe Biden sangat percaya bahwa AS dan semua negara maju memiliki tanggung jawab untuk membantu negara-negara berkembang melalui krisis ini. […] Negara-negara itu akan sangat menentukan apa yang terjadi berikutnya. Jika mereka mau mengurangi, memimpin, mengerahkan teknologi-teknologi baru, dan menghapus bahan bakar fosil tanpa penangkapan emisi karbon, maka kita bisa memenangkan pertempuran ini," ujarnya.
Tak ada orang yang dapat membatalkan apa yang terjadi dalam sektor iklim, kata Kerry, “karena perusahaan-perusahaan swasta telah membuat pertaruhan besar pada masa depan dan mereka tidak akan membatalkannya.”
Satu bidang di mana masih banyak yang harus dilakukan adalah pendanaan iklim, kata Kerry, meskipun negara-negara maju hampir mencapai target pemberian bantuan tahunan mereka sebesar $100 miliar bagi negara-negara berkembang.
Pada 2020, dana sebesar $83 miliar telah dijanjikan. (VOA)