Joe Biden Sebut Tak Ada Kesepakatan soal Plafon Utang AS
pada tanggal
11 Mei 2023
WASHINGTON, LELEMUKU.COM - Presiden Joe Biden dan para pemimpin kongres tidak mencapai kesepakatan selama pertemuan hari Selasa (9/5) untuk menyelesaikan kebuntuan dalam menaikkan plafon dipinjam pemerintah untuk memenuhi kewajiban keuangannya. Jika tidak ada kesepakatan yang dicapai dalam beberapa minggu ke depan, AS akan mengalami wanprestasi untuk pertama kalinya dalam sejarah, memicu gelombang kejutan finansial ke seluruh dunia.
Presiden Joe Biden berusaha untuk menenangkan kegelisahan pasar global atas krisis yang membayangi, beberapa minggu sebelum AS berisiko untuk pertama kalinya dalam sejarah gagal membayar utang-utangnya.
“Saya menjelaskan selama pertemuan kami bahwa wanprestasi bukanlah pilihan. Saya berkali-kali mengulanginya, AS bukanlah negara pecundang,” jelasnya.
Biden, Selasa sore (9/5) bertemu dengan para pemimpin kongres dalam upaya menyelesaikan kebuntuan selama berbulan-bulan untuk memastikan pemerintah bisa meminjam lebih banyak uang guna membayar tagihan-tagihannya.
Ketua DPR Kevin McCarthy, seorang Republikan, menolak menaikkan plafon utang kecuali disesuaikan dengan pemotongan anggaran.“DPR menaikkan plafon utang secara bertanggung jawab. Pada saat yang sama batasi pengeluaran kita, beri kita pertumbuhan ekonomi. Dan saya mengajukan pertanyaan sederhana ini kepada presiden: Apakah ia tidak yakin ada celah dimana kita bisa menyetujui penghematan?.”
Kegagalan menaikkan plafon utang AS tidak hanya bisa memicu resesi di AS tetapi juga memicu gelombang kejutan ke pasar keuangan global, demikian peringatan yang disampaikan juru bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre.
"Kegagalan membayar utang akan menciptakan ketidakpastian global tentang nilai dolar AS dan lembaga serta kepemimpinan AS, yang menyebabkan gejolak dalam mata uang dan pasar keuangan serta pasar komoditas yang dihargai dalam dolar," jelasnya.
Ekonomi AS adalah yang terbesar di dunia, dan dolar AS adalah mata uang cadangan dominan dunia. Jika AS gagal membayar utangnya, itu akan memicu aksi jual surat-surat berharga atau obligasi yang diterbitkan Departemen Keuangan AS, melemahkan dolar dan menaikkan suku bunga, kata para analis.
Desmond Lachman, mantan wakil direktur di International Monetary Fund, sekarang peneliti di American Enterprise Institute, melalui Skype mengatakan, “Jika suku bunga di Amerika naik, semua suku bunga lainnya juga akan ikut naik. Ini akan membuat semua aset berisiko lainnya tampak sangat goyah.”
Obligasi Departemen Keungan AS biasanya dianggap sebagai investasi teraman. Terlepas dari gejolak, mantan ekonom terkemuka di Departemen Luar Negeri mengatakan negara dan investor tidak perlu terlalu khawatir tentang wanprestasi AS.
Heidi Crebo-Rediker, mantan kepala ekonom di Departemen Luar Negeri AS, sekarang asisten peneliti senior di Council on Foreign Relations, lewat Zoom mengatakan, “Ini masalah kemauan membayar, bukan kemampuan membayar. Dan itu merupakan perbedaan yang sangat besar jika kita melihat wanprestasi.”
Para pemimpin AS dijadwalkan akan mengadakan pertemuan berikutnya pada hari Jumat (12/5). (VOA)