KLHK Bersama UNIDO Resmi Operasikan Fasilitas Pengelolaan Limbah PCBs di Indonesia
pada tanggal
19 Mei 2023
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Organisasi Pengembangan Industri Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO) hari Rabu (17/5) resmi mengeroperasikan fasilitas pengelolaan limbah polychlorinated biphenyls (PCBs) pertama di Indonesia yang berada di Bogor, Rabu (17/5). Fasilitas pemusnahan limbah PCBs itu juga memperkenalkan metode non pembakaran pertama di Indonesia.
PCBs adalah salah satu jenis bahan pencemar organik yang persisten, bersifat beracun, yang masuk dan mencemari lingkungan, serta terakumulasi dalam rantai makanan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3), Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan proyek kerja sama KLHK dan UNIDO itu bertujuan untuk menghapuskan PCBs di Indonesia.
Berdasarkan hasil verifikasi teknis, kinerja fasilitas pengelolaan PCBs non pembakaran ini sudah dalam proses mendapatkan surat kelayakan operasional (SLO) dari KLHK.
“Fasilitas ini merupakan yang pertama dan satu-satunya di Indonesia. Mengadopsi metode pemusnahan non pembakaran. Jika metoda pemusnahan pembakaran menghasilkan emisi karbon dioksida dan berpotensi membentuk senyawa beracun dioksin dan furan. Maka teknologi non pembakaran sama sekali tidak akan menghasilkan emisi gas-gas berbahaya,” kata Vivien dalam keterangan resminya yang dikutip, Kamis (18/5).
Menurut Vivien, Indonesia berkomitmen dalam mendukung pencapaian target global pemusnahan PCBs pada akhir tahun 2028.
“KLHK menegaskan bahwa tidak ada yang berubah dari komitmen tersebut. Bahkan komitmen tersebut hanya semakin kuat dan akan segera diintegrasikan dan diimplementasikan melalui penguatan berbagai mekanisme nasional terkait pengawasan kinerja pengelolaan lingkungan,” ucapnya.
Hampir 10% dari 1,2 Juta Unit Trafo Aktif Diduga Terkontaminasi
Vivien menjelaskan peta jalan dalam mencapai penghapusan PCBs dari Indonesia cukup menantang. Saat ini diperkirakan terdapat minimal 1,2 juta unit trafo aktif yang dimiliki oleh industri Tanah Air terutama dari sektor yang membutuhkan serta mengelola energi listrik besar seperti industri pembangkitan, migas, kimia, kertas, besi baja, pertambangan, dan manufaktur.
Pasalnya dari jumlah tersebut hampir 10 persen di antaranya diduga terkontaminasi, dengan total potensi limbah sebesar lebih dari 800.000 ton yang sebagian besar bersumber dari kontaminasi silang PCBs (yaitu ketika trafo bersih terjangkit PCBs dari trafo lain yang terkontaminasi).
“Fasilitas pemusnahan PCBs ini diharapkan akan menjadi sebuah lessons learned tidak hanya bagi Indonesia. Namun juga bagi negara lain khususnya di kawasan Asia Pasifik. Tak kalah penting sinergi ini merupakan dukungan dan solusi nyata bagi perusahaan-perusahaan pemilik PCBs yang terdapat di Indonesia,” jelas Vivien.
Metode Non-Pembakaran Lebih Ramah Lingkungan
Sementara itu perwakilan UNIDO Indonesia, Salil Dutt, mengatakan pihaknya secara global mempromosikan penggunaan metoda non pembakaran untuk pemusnahan PCBs karena lebih ramah lingkungan dan sesuai dengan rekomendasi Konvensi Stockholm.
“Hingga saat ini kami telah mendukung pemusnahan PCBs di 32 negara Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika melalui skema kerja sama dengan global environmental fund. Sementara ini jumlah limbah PCBs yang telah dimusnahkan adalah lebih dari 24.000 ton dan akan terus bertambah hingga akhir tahun 2028,” katanya.
Dampak Kontaminasi PCBs
PCBs adalah senyawa yang sangat berbahaya dan beracun. Saat ini masih terdapat pada trafo dan kapasitor listrik terutama pada minyak dielektrik (oli) yang terkandung di dalam kedua peralatan tersebut. Bahan PCBs banyak ditemukan pada peralatan listrik yaitu cairan dielektrik, transformator, dan kapasitor.
Kemudian, alat-alat rumah tangga seperti oven microwave, pendingin udara, motor listrik, rangkaian elektronik elektro magnet, tombol listrik, pemutus arus listrik otomatis, pompa vakum, kabel listrik bahkan pada tinta, pelumas, cat, dan aspal.
PCBs telah terbukti menyebabkan berbagai jenis kanker (karsinogenik), kerusakan syaraf, gangguan sistem pencernaan, memicu kemandulan, dan ketidakseimbangan hormon (termasuk kebancian). Dalam dosis yang tinggi, PCBs dapat menyebakan kematian dan keracunan massal sebagaimana yang terjadi di Jepang pada tahun 1968.
PCBs mampu mencemari tanah, air, dan udara mulai dari puluhan tahun hingga waktu yang tidak diketahui karena tak dapat terhancurkan secara alami. PCBs juga mencemari rantai makanan karena bersifat bioakumulatif dan biomagnifikasi.
Penelitian yang dilakukan oleh sejumlah peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta KLHK mengungkap cemaran PCBs di Sungai Citarum, Ciliwung, dan Cisadane.
PCBs juga telah mencemari puluhan jenis ikan konsumsi di sungai dan pesisir laut Indonesia. Bahkan telah terdeteksi pada air susu ibu di beberapa kota di Pulau Jawa dan Sumatra. Saat ini telah ada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 29 Tahun 2020 tentang Pengelolaan PCBs yang secara tegas mengatur batas waktu pemusnahan PCBs.
Dihimpun dari berbagai sumber, diketahui bahwa sebelum Deklarasi Stockholm tahun 1972, PCBs telah banyak memakan korban. Pada tahun 1968, sedikitnya 15.000 orang di utara Kyushu, Jepang, menderita penyakit pigmentasi pada kulit dan terjadi peningkatan angka kematian janin. Tercatat pula 400.000 kasus kematian ternak unggas. Peristiwa ini dikenal sebagai insiden “Kanemi Yusho,” mengikuti nama perusahaan “Kanemi Company” yang memproduksi minyak beras yang diketahui terkontaminasi senyawa PCBs.
Gejala penyakit yang sama dengan insiden “Kanemi Yusho” juga dilaporkan pada akhir tahun 1979 hingga 1980 di Taiwan Tengah. Ada 1.843 kasus dengan rentang usia 11-20 tahun yang mengalami penyakit pigmentasi kulit. Ada pula kasus hiperpigmentasi atau bercak gelap pada kulit bayi yang dilahirkan dari ibu yang terkontaminasi PCBs. (VOA)