Jaksa KPK Dakwa Lukas Enembe Terima Suap dan Gratifikasi Hingga Rp 46,8 Miliar
pada tanggal
19 Juni 2023
JAKARTA PUSAT, LELEMUKU.COM - Kasus korupsi yang melibatkan Gubernur nonaktif Papua, Lukas Enembe, semakin mengemuka. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengungkapkan rincian penerimaan suap dan gratifikasi yang diduga diterima oleh Lukas Enembe sebesar Rp 46,8 miliar.
Berdasarkan dakwaan yang dibacakan jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin 19 Juni 2023, Lukas Enembe diduga menerima suap dan gratifikasi saat ia menjabat sebagai Gubernur Papua pada periode 2013-2018 dan 2018-2023. Suap pertama diduga diberikan oleh Piton Enumbi, Direktur dan pemilik PT Melonesia Mulia, PT Lingge-Lingge, PT Astrad Jaya, serta PT Melonesia Cahaya Timur.
Dalam dakwaan tersebut, jaksa KPK menjelaskan bahwa Lukas Enembe memberikan instruksi kepada Mikael Kambuaya, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua, untuk memberikan proyek kepada Piton Enumbi sebagai tim suksesnya. Selain itu, Lukas juga diduga membagi proyek berdasarkan status ruas jalan Papua. Lukas akan menerima fee atas proyek yang didapatkan oleh Piton Enumbi.
Jaksa KPK juga mengungkap bahwa Lukas Enembe menerima suap dari Rijatono Lakka, yang juga merupakan tim suksesnya. Rijatono melakukan renovasi rumah pribadi Lukas atas perintah dari Lukas sendiri. Lukas meminta proyek kepada Rijatono sebagai kompensasi atas kemenangannya dalam pemilihan Gubernur Papua.
Jaksa KPK menyebutkan bahwa Lukas Enembe memerintahkan Gerius One Yoman, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Papua, untuk memberikan proyek kepada Rijatono Lakka. Rijatono berhasil memenangkan 12 proyek dengan total nilai kontrak mencapai Rp 110,4 miliar.
Dalam kasus ini, Lukas Enembe diduga menerima hadiah dari Rijatono Lakka sebesar Rp 35,4 miliar, yang termasuk uang dan renovasi fisik aset Lukas seperti hotel, rumah, dan kosan. Selain itu, Lukas juga diduga menerima gratifikasi senilai Rp 1 miliar dari Budy Sultan, Direktur PT Indo Papua, saat masih menjabat sebagai Gubernur Papua periode 2013-2018. Atas perbuatannya, Lukas Enembe didakwa melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara Tim Hukum & Advokasi Gubernur Papua (THAGP) mengungkapkan keberatan mereka terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Gubernur Papua non-aktif, Lukas Enembe, dalam perkara dugaan suap dan gratifikasi. THAGP menyatakan bahwa asas praduga tidak bersalah tidak berlaku bagi Lukas Enembe dan menuduh adanya penggiringan opini yang menghukumnya sebelum sidang dimulai.
Ketua Tim THAGP, OC Kaligis, mengkritik penerapan asas praduga tidak bersalah oleh KPK, menyebutnya hanya berlaku bagi oknum KPK yang tersandung kasus pidana. Kaligis mengklaim bahwa tuduhan terhadap Lukas Enembe didasarkan pada penggiringan opini dan menunjukkan beberapa artikel berita sebagai bukti.
Tim THAGP juga menekankan bahwa Pemerintah Provinsi Papua telah menerima predikat "Wajar Tanpa Pengecualian" dalam pemeriksaan keuangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebanyak delapan kali berturut-turut. Mereka menyatakan bahwa tidak ada kerugian negara yang ditemukan dalam pemeriksaan tersebut, yang menurut mereka memperkuat penolakan tuduhan suap dan gratifikasi terhadap Lukas Enembe.
Selama persidangan, Tim THAGP mengklaim Lukas Enembe ditindas melalui penggiringan opini, menggambarkan dirinya sebagai korban dalam kasus ini. Mereka juga mempertanyakan dakwaan penuntut umum yang disusun dengan konstruksi perbarengan tindak pidana, yang menurut mereka tidak sesuai dengan Pasal 65 KUHAP.
Kaligis juga menyoroti kurangnya kejelasan dan ketidaktepatan dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, menyatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung tuduhan suap dan gratifikasi dari Piton Enumbi dan Mikael Kambuaya. Mereka mengklaim bahwa dakwaan tersebut tidak jelas, kabur, dan ngaco (tidak akurat).
Dalam melawan tuduhan suap dan gratifikasi, Tim THAGP menyatakan bahwa Lukas Enembe bukanlah pengguna anggaran, sesuai dengan Pasal 156 UU No. 32 Tahun 2004. Mereka mengklaim bahwa Lukas Enembe tidak memiliki kewenangan untuk mempengaruhi tender proyek pemerintah atau menerima suap dari peserta tender.
Tim THAGP juga menyoroti keberatan terhadap jumlah saksi yang tidak memiliki keterangan yang relevan dan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Mereka menyatakan bahwa keberadaan 184 saksi dalam berkas perkara tidak memperkuat dakwaan tersebut.
Dalam kesimpulan, Tim Hukum & Advokasi Gubernur Papua (THAGP) mengajukan keberatan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Lukas Enembe, Gubernur Papua non-aktif, dalam perkara dugaan suap dan gratifikasi. Mereka mempertanyakan kejelasan dan keakuratan dakwaan yang menegaskan bahwa Lukas Enembe tidak memiliki kewenangan sebagai pengguna anggaran, dan menuduh adanya penggiringan opini yang merugikan Lukas Enembe.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan sejumlah jumlah uang yang sangat besar dan menunjukkan adanya praktik korupsi yang merugikan negara.
Proses persidangan akan dilanjutkan pada 22 Juni 2023 untuk mengungkap lebih lanjut tentang keterlibatan Lukas Enembe dan pihak terkait dalam kasus ini. Jika terbukti bersalah, Lukas Enembe dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. (Gilang)