AS Dukung ASEAN Dorong Lahirnya Aturan Main di Laut China Selatan
pada tanggal
15 Juli 2023
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Keprihatinan atas situasi di Laut China Selatan yang kerap dilanda perselisihan akibat tumpang tindih klaim kedaulatan dan agresivitas China, ikut menjadi perhatian Amerika. Berbicara dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat malam (14/7), Menteri Luar Negeri Antony Blinken menggarisbawahi komitmen Amerika Serikat (AS) untuk kebebasan pelayaran dan penerbangan di atas Laut China Selatan, yang merupakan jalur perdagangan global.
“Sebagaimana banyak negara di kawasan ini, kami prihatin dengan meningkatnya kepongahan China di Laut China Selatan dan Timur, serta di Selat Taiwan. Kami tetap berkomitmen untuk menjunjung tinggi kebebasan navigasi dan penerbangan di Laut China Selatan, jalur penting perdagangan dan konektivitas global. Kami mendukung perundingan kode etik ASEAN yang konsisten dengan hukum internasional,” tegas Blinken.
Lebih jauh Blinken juga bicara soal Selat Taiwan “yang merupakan kepentingan semua bangsa.” Ia mengatakan “lima puluh persen perdagangan global melewati selat itu setiap hari. Sekitar 70 persen semikonduktor yang dibuat untuk dunia, dibuat di Taiwan. Kami akan terus menentang perubahan sepihak terhadap status quo yang dilakukan pihak lain.”
Meskipun demikian Blinken menegaskan bahwa AS akan terus memelihara hubungan dengan China, termasuk dengan memperkuat komunikasi untuk memperjelas posisi Amerika dalam isu Laut China Selatan, Selat Taiwan, dan isu-isu lainnya.
Sehari sebelumnya Departemen Luar Negeri AS juga mengatakan “akan terus mempertahankan jalur komunikasi terbuka dengan China untuk mengklarifikasi kepentingan Amerika dalam beragam isu dan mengelola secara bertanggungjawab kompetisi yang ada dengan mengurangi risiko mispersepsi dan miskalkulasi. Ini yang diharapkan dunia dari AS dan China.”
Peneliti ASEAN di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pandu Prayoga mengatakan kepada VOA, ASEAN sebenarnya sudah lama mendorong lahirnya aturan main di Laut China Selatan, namun baru dalam pertemuan menteri luar negeri ASEAN kali ini China sepakat dengan pedoman untuk mencapai kode etik di kawasan yang kerap diperselisihkan itu.
China tampak bergeming dengan berbagai kritik tajam yang diarahkan kepadanya, termasuk dari AS, karena tahu persis AS sendiri tidak pernah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau UN Convention on the Law of the Sea UNCLOS 1982. Alasannya, kata Pandu, agar Angkatan laut Amerika bisa bebas bergerak kemana saja untuk memperluas pengaruhnya.
"Padahal aturan main ini penting agar negara-negara di situ (Laut China Selatan) menggunakan hukum internasional sebagai landasan, bukan klaim sepihak, bukan klaim historis. Untuk penentuan batas-batas wilayah kita sedianya menggunakan UNCLOS 1982," ujar Pandu.
Puluhan Tahun Jadi Wilayah Sengketa
Laut China Selatan merupakan jalur penting untuk perdagangan global, di mana lebih dari sepertiga perdagangan dunia melewati perairan tersebut. Laut China Selatan juga memiliki potensi besar di sektor perikanan, dna ditengarai memiliki banyak cadangan minyak dan gas yang masih belum dieksplorasi. Itu sebabnya Laut China Selatan tidak saja menjadi kawasan yang memiliki kepentingan ekonomi bagi China dan ASEAN, tetapi juga seluruh dunia.
China telah mengklaim sebagian besar kawasan Laut China Selatan sebagai bagian dari kedaulatannya, dan kian agresif melakukan reklamasi pulau-pulau di perairan tersebut, serta mengirim patroli rutin. Namun klaim yang sama juga diajukan oleh empat negara anggota ASEAN yaitu Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam.
Nine Dash Line vs UNCLOS 1982
China, secara sepihak, menggunakan nine dash line atau sembilan garis putus-putus yang mencakup kawasan seluas dua juta kilometer persegi, yang 90 persen di antaranya diklaim sebagai hak maritim historisnya. Awalnya dalam peta 1947, pasca Perang Dunia Kedua, China menyebut eleven dash line atau sebelas garis putus. Tetapi setelah berseteru dengan Taiwan, pada tahun 1950an dua garis putus-putus dihilangkan dari peta itu dan tinggal sembilan saja. Jalur nine dash line ini membentang sejauh 2.000 kilometer dari daratan China hingga beberapa ratus kilometer dari Filipina, Malaysia dan Vietnam.
Klaim sepihak ini berdampak pada hilangnya perairan Indonesia seluas kurang lebih 83.000 kilometer persegi atau 30 persen dari luas laut Indonesia di Natuna. Tidak hanya Indonesia, beberapa negara lain – yaitu Filipina, Malaysia, Vietnam dan Brunei Darussalam – juga terkena imbasnya.
Indonesia telah menegaskan tidak akan pernah mengakui nine dash line, sebagaimana klaim China, karena tidak memiliki dasar hukum yang diakui hukum internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau UN Convention on the Law of the Sea UNCLOS 1982.
UNCLOS telah menetapkan batas-batas zona ekonomi eksklusif setiap negara, terkait hak untuk melakukan eksploitasi dan lainnya di wilayah perairan mereka sesuai hukum laut internasional.
Putusan UNCLOS 1982 secara tegas menunjukkan bahwa perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Ini berarti Indonesia berhak menguasai kekayaan ekonomis di dalamnya, termasuk untuk melakukan kegiatan pertambangan dan eksplorasi, bernavigasi, menangkap ikan, menanam pipa kabel dan terbang di atas wilayah itu.
China sebenarnya juga ikut menandatangani UNCLOS itu, tetapi secara sengaja tidak pernah mendefinisikan makna nine dash line yang kerap diklaimnya. (VOA)