Ombusdman Sebut Langkah Pemerintah Stabilkan Harga Beras Tidak Efektif
pada tanggal
19 September 2023
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Anggota Ombusdman RI Yeka Hendra Fatika mengkritisi sejumlah kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menyikapi kenaikan harga beras di pasaran saat ini.
Yeka mencontohkan, kebijakan impor yang dilakukan oleh pemerintah dinilainya tidak bisa menjamin ketersediaan stok beras bagi masyarakat. Perum Bulog saat ini telah memiliki cadangan beras pemerintah (CBP) sebesar 1,6 juta ton. Pemerintah pun tengah menunggu 400 ribu ton impor beras yang akan sampai ke tanah air paling lambat November mendatang.
“Catatan Ombusdman, jumlah tersebut tidak dapat dipastikan bisa mencukupi dan mengantisipasi kebutuhan konsumsi dalam negeri hingga awal tahun nanti. Selain itu kondisi El-Nino juga masih melanda. Jadi belum ada kejelasan dari sikap pemerintah. Mestinya dari sekarang sudah ada keputusan yang memang bisa menenangkan jangan sampai hanya mengandalkan 400 ribu ton nunggu. Ini kalau habis bagaimana berikutnya?,” ungkap Yeka dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (18/9).
Penyaluran bantuan pangan beras terhadap 21,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM) selama tiga bulan berturut-turut sebanyak 640 ribu ton kata Yeka, juga berpotensi tidak tepat sasaran. Hal ini, katanya, karena basis data yang digunakan tidak sepenuhnya akurat dan mutakhir.
Operasi pasar yang dilakukan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) lewat Perum Bulog ke Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) melalui program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) dinilainya juga tidak efektif. Alasannya, terdapat kenaikan harga beras di tingkat konsumen dari Rp10.835 menjadi Rp10.900 per kilogram.
“Harus ada upaya yang lebih keras, lebih serius untuk mengantisipasi ini semua. Jadi operasi pasarnya jangan ke Cipinang saja, kalau bisa Bapanas menodorong Bulog untuk melakukan operasi langsung ke konsumen. Jangan melalui pasar,” tambahnya.
Dalam kesempatan ini, Ombusdman mengidentifikasi tiga faktor utama penyebab melonjaknya harga beras belakangan ini. Pertama, katanya terkait permasalahan iklim yang menyebabkan penurunan produksi padi; kedua, faktor di hulu seperti luas lahan pertanian yang terus menurun ; dan ketiga faktor di hilir yang mencakup biaya komponen produksi yang terus naik.
Ombusdman RI pun mengusulkan tujuh alternatif kebijakan yang bisa dijadikan solusi jangka pendek oleh pemerintah untuk meredam gejolak kenaikan harga beras di pasaran.
Pertama, kata Yeka, adalah Bapanas mencabut Harga Eceran Tertinggi (HET) beras premium dan medium untuk sementara waktu. Hal ini dilakukan guna mengoptimalkan penyediaan pasokan beras di pasar. Selanjutnya pemerintah harus melakukan evaluasi dan monitoring terhadap kebijakan tersebut secara berkala.
Kedua, lanjutnya, Bapanas untuk mempertimbangkan pemberlakukan HET gabah di tingkat penggilingan guna mengendalikan harga gabah di tingkat petani.
“Ketiga, mengupayakan terjalinnya kerja sama antara penggilingan kecil dan besar dalam rangka menjamin ketersediaan gabah bagi para penggilingan padi kecil,” tuturnya.
Keempat, menurut Yeka, Perum Bulog harus bisa mengoptimalkan percepatan pemasukan importasi beras dari berbagai negara untuk kepentingan pasokan cadangan beras pemerintah. Kelima dan terakhir, katanya, tata kelola importasi harus tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengedepankan prinsip good corporate governance (GCG).
“Selanjutnya, Perum Bulog perlu melakukan operasi pasar langsung kepada konsumen dan Pemerintah serta aparat penegak hukum agar mengedepankan azas ultimum remidium dalam pengawasan tata niaga beras karena penegakan hukum melalui pidana dikhawatirkan dapat membuat pasokan beras semakin langka di pasar,” tandasnya.
“Polemik beras yang berkepanjangan berpotensi memunculkan dampak yang lebih serius, antara lain pelayanan publik terganggu, inflasi, meningkatnya angka kemiskinan, terganggunya stabilitas sosial dan stabilitas keamanan politik menjelang tahun pemilu tahun 2024. Oleh karena itu, seriuslah dalam menyikapi peningkatan harga beras ini, dan satu suara dalam mengatasi mendefinisikan apa penyebab dari semua ini,” tegasnya.
Efek Psikologis
Menanggapi hal ini, Tenaga Ahli Utama dari Deputi III Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Erizal Jamal mengatakan kenaikan harga beras di pasaran akhir-akhir ini akibat berbagai macam pemberitaan di media massa yang memicu kepanikan di masyarakat.
“Ini informasi kemudian data berseliweran yang membuat kita menangkapnya sebagai distorsi informasi harga yang membuat ada kecemasan di pasar. Di situlah menyebabkan adanya pembelian mungkin dalam jumlah besar yang dilakukan oleh masyarakat dan itu makin mendorong peningkatan harga,” ungkap Erizal.
Menurutnya, berbagai langkah yang dilakukan oleh pemerintah saat ini seperti opsi kebijakan impor beras, operasi pasar dan penyaluran bantuan pangan beras diyakini akan mampu meredam gejolak harga beras tersebut dalam beberapa waktu ke depan.
“Dengan itulah pemerintah melalui berbagai mekanisme (diharapkan bisa) meyakinkan masyarakat bahwa stok kita cukup. Itu dibuktikan dengan berbagai operasi pasar yang kita lakukan, dan juga pada akhir September akan dilakukan pencarian bansos selama tiga bulan, 10 kg untuk sekitar 21 juta rumah tangga. Kita berharap dengan pola seperti ini akan mempengaruhi pasar, karena memang stok itu ada, beras itu ada. Dan kami berkeyakinan, dengan hal itu secara psikologis akan bisa meredam kenaikan harga yang ada saat ini,” jelasnya.
Terkait HET beras yang diusulkan dihapus untuk sementara waktu, Erizal mengatakan hal tersebut tidak mudah untuk diterapkan. Penerapan HET beras selama ini dimaksudkan untuk memberikan arahan dan sinyal kepada pasar agar bisa mengatur harga dengan lebih baik.
“Kalau saat ini nyatanya harga jauh di atas HET, bukan berarti HET-nya harus kita hapus. Tapi perlu upaya yang sistematis yang harus kita lakukan untuk meyakinkan bahwa stok itu ada. Kalau kita memanggap bahwa itu kaitannya dengan jumlah stok yang ada, dan juga ketersediaan beras di berbagai lini, itu yang perlu kita lakukan,” pungkasnya. (VOA)