Rencana Indonesia Tarik Investasi China di Rempang Hadapi Penolakan Warga Setempat
pada tanggal
14 Oktober 2023
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Bentrokan baru-baru ini antara warga dan polisi di Pulau Rempang menunjukkan meningkatnya ketegangan antara pemerintah pusat dan masyarakat setempat mengenai investasi infrastruktur besar-besaran yang dilakukan China, kata para analis.
Pemerintah berencana menjadikan pulau ini sebagai lokasi kawasan industri baru yang diberi nama Rempang Eco-City yang akan menampung fasilitas manufaktur kaca dan panel surya raksasa milik China.
Pabrik tersebut akan menjadi bagian dari proyek bersama antara Otoritas Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam); PT Makmur Elok Graha, perusahaan lokal Indonesia; dan Xinyi Glass, perusahaan China yang ingin memanfaatkan pasir kuarsa pulau tersebut, yang merupakan komponen kaca dan panel surya.
Ariastuty Sirait, juru bicara BP Batam, mengatakan kepada VOA bahwa total investasinya diperkirakan mencapai $24,6 miliar dan menciptakan 306.000 lapangan kerja pada tahun 2080.
Xinyi berencana menginvestasikan sekitar $11,6 miliar untuk membangun pabrik tersebut, menurut Ariastuty, yang mengatakan kepada VOA Indonesia dalam wawancara telepon bahwa tidak semua penduduk pulau itu menentang relokasi.
Rencana tersebut mengharuskan penggusuran sekitar 7.500 warga pulau seluas 17.000 hektare yang terletak sekitar 44 kilometer dari Singapura itu. Banyak dari mereka adalah anggota masyarakat adat setempat.
Investor Pulau Rempang, termasuk PT Makmur Elok Graha, tidak menanggapi permintaan komentar mengenai ketegangan terkait relokasi tersebut.
Pada bulan Agustus, pemerintah memerintahkan penduduk untuk meninggalkan pulau itu selambatnya akhir September, yang memicu protes yang menyebabkan sedikitnya 20 orang terluka dan 43 orang ditangkap karena dugaan kekerasan dan vandalisme, menurut Reuters. Protes terakhir terjadi tiga minggu lalu.
Polisi menggunakan gas air mata dan peluru karet untuk mengatasi para pengunjuk rasa, tindakan yang dikecam oleh para kritikus sebagai penggunaan kekuatan yang berlebihan.
Dalam pernyataannya pada tanggal 22 September, Komnas HAM mengatakan mereka menemukan sejumlah bukti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat gabungan kepolisian, militer, dan petugas ketertiban umum.
Presiden Indonesia Joko Widodo mencapai kesepakatan Rempang Eco-City pada bulan Juli saat berkunjung ke Chengdu, China. Pada bulan Agustus, pemerintah Indonesia menobatkan Rempang Eco-City sebagai “proyek strategis nasional”.
Para analis mengatakan bahwa Jokowi memandang perolehan investasi dari China, mitra dagang terbesar Indonesia, merupakan hal yang penting bagi pembangunan ekonomi tanah air.
Namun sengketa tanah dan penggusuran paksa seringkali menjadi sumber konflik antara pemerintah dan masyarakat di Indonesia, dan sengketa Rempang tampaknya menambah dimensi baru pada ketegangan tersebut, mengingat keinginan kuat pemerintah untuk mengamankan sebagian dari investasi besar-besaran China dalam proyek-proyek luar negerinya.
“Menurut saya, perhatian utama yang harus menjadi fokus para pejabat Indonesia adalah potensi dampak terhadap lingkungan dan penduduk lokal,” kata Abdul Rahman Yaacob, peneliti program Asia Tenggara di Lowy Institute di Sydney, Australia, melalui email kepada VOA Layanan Korea.
Situs berita Indonesia, iNews.id, mengutip pejabat Kementerian Investasi M. Pradana Indraputra yang mengatakan pabrik baru tersebut akan menciptakan sekitar "35.000 lapangan kerja" tanpa memberikan kepastian kapan itu akan terealisasi.
Namun jika sebagian besar pekerjaan tersebut jatuh ke tangan pekerja impor asal China, kata Abdul, “hal ini akan menimbulkan kebencian di dalam negeri, karena penduduk setempat hanya akan merasakan sedikit manfaatnya atau tidak ada manfaat dari investasi tersebut, selain kehilangan rumah-rumah leluhur mereka.”
Dari 2.600 keluarga yang akan dipindahkan oleh proyek ini, sejauh ini hanya sekitar 300 keluarga yang mendaftar untuk pindah, kata Menteri Bahlil.
Dalam pernyataan tertulis kepada VOA Indonesia, warga di 16 desa menolak segala bentuk penggusuran paksa dan menuntut pemerintah mengakui hak tanah leluhur mereka. Desa-desa tersebut dihuni oleh orang-orang etnis Melayu, salah satu masyarakat adat Indonesia, dan Orang Laut, kelompok etnis pelaut.
“Kami mendesak Presiden Indonesia untuk memberi kami kepastian hukum atas hak-hak tanah adat dan mengakui rumah-rumah adat warisan leluhur kami,” kata pernyataan itu. “Hak-hak ini tidak pernah diakui sejak negara ini meraih kemerdekaan” pada tahun 1945.” (VOA)