KTT Iklim PBB Soroti Sejumlah Perusahaan Minyak Raksasa
pada tanggal
03 Desember 2023
WASHINGTON, LELEMUKU.COM - Perusahaan-perusahaan energi Barat biasanya menjadi tersangka utama ketika muncul kritik mengenai peran sektor tersebut dalam perubahan iklim. Namun ternyata juga terdapat perusahaan-perusahaan milik negara yang kurang berpengaruh tetapi turut mendominasi industri itu.
Sejumlah perusahaan energi tersebut akan menjadi pusat perhatian pada KTT Iklim PBB yang dibuka pada Kamis (30/11) di Dubai. Apalagi, Presiden COP28 Sultan Al Jaber juga merupakan kepala ADNOC, perusahaan minyak dan gas nasional Uni Emirat Arab.
Masa depan bahan bakar fosil menjadi inti konferensi yang akan diselenggarakan selama dua minggu ini. Negara-negara yang hadir berada di bawah tekanan untuk menyetujui penghapusan penggunaan minyak, gas, dan batu bara secara bertahap guna memenuhi tujuan Perjanjian Paris yang membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celsius.
“Meskipun perhatian sering terfokus pada peran perusahaan-perusahaan besar, yaitu tujuh pemain internasional yang besar, mereka menguasai kurang dari 13 persen produksi dan cadangan minyak dan gas global,” kata Badan Energi Internasional (IEA) dalam sebuah laporan pada pekan lalu.
Perusahaan minyak nasional “menyumbang lebih dari separuh produksi global dan hampir 60 persen cadangan minyak dan gas dunia,” tambah badan yang berbasis di Paris tersebut.
BUMN dan perusahaan minyak besar – termasuk BP, Chevron, ExxonMobil, Shell dan TotalEnergies – semuanya akan “berperan penting dalam upaya mencapai emisi nol bersih” pada 2050, kata IEA.
Kuat secara Politik
Perusahaan-perusahaan migas nasional raksasa di antaranya perusahaan minyak terbesar di dunia Saudi Aramco, hingga Rosneft dari Rusia, perusahaan China CNOOC dan Petrobras dari Brazil.
Beberapa perusahaan mengeksplorasi sumber daya di wilayah mereka sendiri, sementara yang lain, yang dikenal sebagai “perusahaan minyak nasional internasional”, melakukan eksplorasi di mancanegara.
“Perusahaan-perusahaan ini memiliki sumber daya berskala sangat besar,” kata Ben Cahill, peneliti senior bidang keamanan iklim dan energi di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS).
Negara-negara tersebut juga “umumnya memiliki biaya produksi yang rendah yang berarti bahwa mereka kemungkinan akan terus memproduksi minyak untuk jangka waktu yang lama karena mereka memiliki skala dan sumber daya yang murah,” tambah Cahill.
Negara-negara seperti Arab Saudi atau Rusia, memiliki pengaruh besar terhadap harga minyak dunia karena mereka dapat menurunkan atau menaikkan harga dengan mengoordinasikan pemotongan produksi melalui aliansi OPEC+ yang terdiri dari sejumlah negara produsen utama.
Operasi dan produk mereka merupakan kontributor utama emisi gas rumah kaca, tetapi sangat sedikit perusahaan nasional yang membuat target iklim.
“Prospek menurunnya permintaan minyak dan gas menambah dimensi baru terhadap kebutuhan negara-negara ini untuk mendiversifikasi perekonomian mereka,” kata Christophe McGlade, kepala unit pasokan energi di IEA.
Tim Gould, Kepala Ekonom Energi IEA, mengatakan bahwa “elemen yang tidak dapat dinegosiasikan” adalah bagi perusahaan minyak, termasuk BUMN, untuk mengurangi emisi dari operasi mereka.
Dia mengatakan perusahaan seperti Saudi Aramco atau ADNOC “memiliki peran kepemimpinan yang sangat penting di sana, dan mereka benar-benar dapat menentukan apa yang mungkin terjadi, apa yang menjadi agenda.” (VOA)