Terdakwa Bom Bali 2002 asal Malaysia Divonis Maksimal Enam Tahun
pada tanggal
27 Januari 2024
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Hakim militer AS di fasilitas tahanan militer di Teluk Guantanamo memutuskan pada hari Jumat bahwa dua warga Malaysia yang terkait dengan serangan bom Bali tahun 2002 akan dihukum paling lama enam tahun penjara sebagai bagian dari kesepakatan pra-persidangan terkait pengakuan bersalah mereka atas tuduhan pembunuhan dan tuduhan lainnya.
Selain itu, terdakwa Mohammed bin Amin menerima "kredit administratif," yang memotong lebih dari 10 bulan dari hukumannya, sementara terdakwa lainnya, Mohammed bin Lep mendapat potongan lebih dari setahun. Kesepakatan ini memerlukan persetujuan bersama dari pihak otoritas militer senior yang mengawasi persidangan di Kamp Justice Pangkalan Angkatan Laut Teluk Guantanamo.
Kesepakatan ini menetapkan waktu yang jauh lebih singkat daripada 23 tahun yang direkomendasikan oleh panel beranggotakan lima perwira militer yang berunding sekitar dua jam setelah mendengarkan kesaksian beberapa keluarga dari 202 korban tewas dalam serangan teror paling mematikan di Indonesia. Kedua terdakwa dan dua saudara laki-laki Mohammed bin Amin juga memberikan pernyataan dalam persidangan ini.
Kedua terdakwa serta keluarga korban bom Bali yang hadir di ruang sidangan pengadilan militer terlihat tidak menunjukkan emosi saat panel mengeluarkan rekomendasinya, dan beberapa saat kemudian ketika hakim memberikan putusannya.
Ruang sidang ini berada dalam sebuah bangunan biasa, yang dari luar orang tidak akan mengira bahwa di dalamnya ada sebuah ruang sidang dimana tahanan pelaku kejahatan perang diadili.
Pada Jumat malam, belum jelas apakah kedua terdakwa ini akan menjalani hukuman mereka di pangkalan Angkatan Laut AS di Kuba atau di Malaysia atau negara ketiga.
Ketua tim jaksa Kolonel George C. Kraehe tidak menjawab pertanyaan BenarNews tentang hal ini. Hukuman ini mulai berlaku minggu lalu, ketika Hakim Wesley Braun, seorang perwira Angkatan Udara AS, menerima pengakuan bersalah mereka.
Kedua pria itu telah ditahan di Guantanamo selama 17 tahun sejak mereka diterbangkan ke tempat itu dari sebuah lokasi rahasia CIA di negara lain, dan baru pada Agustus 2021 mereka akhirnya diadili untuk pertama kalinya di pengadilan militer AS di Kuba itu.
Sebelumnya pada hari Jumat, Kraehe menyampaikan tuntutan final dari pihak penuntut di mana ia berbicara untuk keluarga korban yang menonton di ruang persidangan dan ribuan lainnya yang tidak bisa hadir.
"Hati mereka hancur selamanya"
Mohammed bin Amin dan Mohammed bin Lep, yang mengenakan pakaian bernuansa Islam untuk persidangan pengadilan sebelumnya, muncul di pengadilan pada hari Jumat dengan mengenakan blazer gaya Amerika dan kemeja berkerah. Mohammed bin Lep mengenakan songkok - penutup kepala tradisional pria Malaysia - saat ia menyampaikan pernyataannya ke pengadilan pada hari Kamis dan Jumat, sementara Mohammed bin Amin mengenakan sepatu olahraga pada hari Kamis.
Saat membacakan tuntutan kepada kedua orang Malaysia ini, Kraehe menjelaskan bagaimana Mohammed bin Amin dan Mohammed bin Lep "menjawab panggilan" Osama bin Laden pada 1990-an. Mereka pergi ke Afghanistan pada tahun 2000 di mana mereka dilatih untuk berpartisipasi dalam jihad yang kejam dan bersumpah setia kepada Osama bin Laden setelah 11 September 2001.
"Ini adalah apa yang mereka inginkan, dan mereka dilatih untuk melakukannya," kata Kraehe, sambil menambahkan bahwa mereka telah dilatih untuk menjadi prajurit.
Pada masa itu, keduanya bertemu dengan Encep Nurjaman yang juga dikenal sebagai Hambali dari Indonesia, tersangka perencana utama serangan bom Bali 2002 itu. Kasus mereka dipisahkan pada tahun 2023 dari Hambali, yang pengacaranya mengatakan bahwa kliennya tidak mengharapkan kesepakatan serupa.
Kraehe juga berbicara tentang bagaimana Mohammed bin Lep dan Mohammed bin Amin membuat pernyataan pada hari Kamis bahwa perasaan mereka telah berubah selama lebih dari 20 tahun dalam tahanan - pertama di Thailand setelah penangkapan mereka pada tahun 2003, kemudian di situs rahasia CIA sebelum tiba di pangkalan di Kuba pada tahun 2006.
Menanggapi klaim terdakwa bahwa mereka disiksa dalam kebijakan Rendition, Detention and Interrogation (RDI) pemerintah Amerika, Kraehe mengatakan bahwa itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Jaksa mengatakan mereka telah diperlakukan dengan manusiawi di Teluk Guantanamo, dan mengingatkan anggota panel bahwa tugas mereka bukanlah untuk menilai kebijakan tersebut.
RDI adalah program yang sangat rahasia yang dikembangkan oleh badan intelijen Amerika CIA pasca serangan bom 11 September 2011 di New York yang menggunakan cara penculikan, penahanan rahasia, dan penyiksaan pada teroris yang dicurigai.
"Tugas kami adalah memberikan keadilan kepada para korban," katanya. "Terdakwa bukanlah korban dalam hal ini." Ketua tim jaksa melanjutkan dengan mengatakan bahwa Mohammed bin Amin dan Mohammed bin Lep tidak menunjukkan belas kasihan kepada korban mereka dan "tidak pantas mendapat belas kasihan."
Berbicara atas nama keluarga korban yang telah datang ke Kuba untuk memberikan kesaksian bagi orang-orang yang mereka cintai, ia mengatakan "mereka datang ke sini untuk mencari keadilan. Setelah bertahun-tahun, mereka masih percaya pada keadilan."
Ia juga mengajukan permohonan kepada panel yang beranggotakan satu perempuan dan empat pria mewakili Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Marinir AS.
Christine Funk, pengacara utama untuk Mohammed bin Amin, mengatakan hal terburuk yang pernah dilakukan kilennya adalah menerima uang pada Desember 2002 - dua bulan setelah serangan pada 12 Oktober - untuk menyembunyikan para sekongkol. Persekongkolan itu membuka pengakuan pembunuhan dan empat tuduhan lainnya.
"Anda jadi bertanggung jawab atas tindakan semua orang," katanya.
Funk mengakui penderitaan korban sambil membela kasus Mohammed bin Amin.
"Karena kami percaya bahwa selain ada penderitaan korban, ada juga hak terdakwa," katanya kepada panel.
Funk, yang mengenakan kerudung di pengadilan sebagai penghormatan kepada kliennya yang Muslim, membahas penyiksaan yang dia sebut dialami Mohammed bin Amin setelah penangkapannya di Thailand dan selama waktunya di situs rahasia CIA. Dia menggunakan beberapa sketsa yang diajukan pada hari Kamis untuk menunjukkan penyiksaan, termasuk waterboarding, atau metode penyiksaan tahanan yang memasukkan air secara paksa ke mulut dan hidung tahanan untuk menimbulkan sensasi seolah-olah mereka tenggelam.
Dia juga merilis rincian dari laporan ahli Hawthorne Smith, yang telah bekerja dengan korban penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia selama hampir tiga dekade. Dia menemukan bahwa Mohammed bin Amin menderita gangguan mental yang kompleks pasca kejadian traumatis seperti pertempuran, kekerasan dan sejenisnya atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
"[Ia] mengindikasikan bahwa Mohammed bin Amin mengalami gejala mengalami kembali penyiksaan yang dialaminya, seperti mimpi buruk terkait trauma, kadang-kadang tiga hingga empat kali seminggu; insomnia dan gangguan tidur lainnya; dan pikiran-pikiran yang meresahkan," kata Funk.
Funk juga berbicara tentang usaha Mohammed bin Amin untuk berubah dan kemungkinan bahwa dia bisa direhabilitasi. Merujuk pada laporan 2014 dari Komite Intelijen Senat AS tentang program penahanan CIA, dia mengatakan Mohammed bin Amin dengan cepat mulai membantu penyelidik.
"Anda akan melihat bahwa ketika Mohammed bin Amin pertama kali hilang dan berada di bawah kendali pihak berwenang Thailand, dia memberikan informasi kepada mereka segera," katanya.
Pada hari Kamis, Mohammed bin Amin mengatakan bahwa salah satu sketsanya menunjukkan orang-orang melepaskan pakaiannya ketika tangannya terikat dengan kabel di punggungnya beberapa jam setelah ditangkap.
Pengacara Mohammed bin Lep, Brian Bouffard, memberi tahu pengadilan bahwa kliennya memang memberikan dukungan kepada konspirator pengeboman dan telah bertanggung jawab atas tindakannya.
"Ia tidak di sini untuk menyebut dirinya sebagai korban," kata Bouffard, menambahkan bahwa Mohammed bin Lep tidak meminta belas kasihan. Dia mengatakan Mohammed bin Lep berdoa saat mendengarkan kesaksian para korban pada hari Rabu sambil menambahkan bahwa upaya tersebut tidak mengubah apa pun dalam hal kejahatan.
Bouffard juga mengatakan bahwa Mohammed bin Lep telah melupakan penyiksaan yang dia alami selama ditahan dan telah bekerja sama dengan penyelidik.
“Lakukan yang lebih baik dari ini”
Brigadir Jenderal Jackie Thompson, ketua pembela utama untuk Dewan Pembela Militer Komisi Militer, menyatakan harapannya bahwa pengakuan bersalah dan hukuman berikutnya bagi Mohammed bin Amin dan Mohammed bin Lep akan menjadi penutup duka bagi korban dan keluarga mereka.
Thompson, yang menyaksikan proses hukuman dari ruang persidangan di belakang pengadilan, menyampaikan pernyataan kepada BenarNews di mana dia mencatat bahwa penundaan 20 tahun untuk mengadili kedua pria itu sangat mengganggu dan mengecewakan keinginan semua orang untuk pertanggungjawaban dan keadilan.
"Pertangguhannya yang sayangnya sangat panjang dalam sistem peradilan pidana lebih banyak disebabkan oleh kebijakan Rendition, Detention and Interrogation yang diterapkan setelah serangan 11 September terhadap Amerika Serikat.
Thompson, yang bertanggung jawab atas pengacara pembela militer, mencatat bahwa 30 tahanan tetap ditahan di penjara Teluk Guantanamo, termasuk 16 yang telah mendapat persetujuan untuk dibebaskan atau dipindahkan.
"Sudah waktunya sekarang untuk mengembalikan atau mentransfer mereka yang statusnya sudah jelas," katanya dalam pernyataannya. "Negara yang menghormati proses hukum dapat dan seharusnya melakukan yang lebih baik dari ini." (BenarNews)
Selain itu, terdakwa Mohammed bin Amin menerima "kredit administratif," yang memotong lebih dari 10 bulan dari hukumannya, sementara terdakwa lainnya, Mohammed bin Lep mendapat potongan lebih dari setahun. Kesepakatan ini memerlukan persetujuan bersama dari pihak otoritas militer senior yang mengawasi persidangan di Kamp Justice Pangkalan Angkatan Laut Teluk Guantanamo.
Kesepakatan ini menetapkan waktu yang jauh lebih singkat daripada 23 tahun yang direkomendasikan oleh panel beranggotakan lima perwira militer yang berunding sekitar dua jam setelah mendengarkan kesaksian beberapa keluarga dari 202 korban tewas dalam serangan teror paling mematikan di Indonesia. Kedua terdakwa dan dua saudara laki-laki Mohammed bin Amin juga memberikan pernyataan dalam persidangan ini.
Kedua terdakwa serta keluarga korban bom Bali yang hadir di ruang sidangan pengadilan militer terlihat tidak menunjukkan emosi saat panel mengeluarkan rekomendasinya, dan beberapa saat kemudian ketika hakim memberikan putusannya.
Ruang sidang ini berada dalam sebuah bangunan biasa, yang dari luar orang tidak akan mengira bahwa di dalamnya ada sebuah ruang sidang dimana tahanan pelaku kejahatan perang diadili.
Pada Jumat malam, belum jelas apakah kedua terdakwa ini akan menjalani hukuman mereka di pangkalan Angkatan Laut AS di Kuba atau di Malaysia atau negara ketiga.
Ketua tim jaksa Kolonel George C. Kraehe tidak menjawab pertanyaan BenarNews tentang hal ini. Hukuman ini mulai berlaku minggu lalu, ketika Hakim Wesley Braun, seorang perwira Angkatan Udara AS, menerima pengakuan bersalah mereka.
Kedua pria itu telah ditahan di Guantanamo selama 17 tahun sejak mereka diterbangkan ke tempat itu dari sebuah lokasi rahasia CIA di negara lain, dan baru pada Agustus 2021 mereka akhirnya diadili untuk pertama kalinya di pengadilan militer AS di Kuba itu.
Sebelumnya pada hari Jumat, Kraehe menyampaikan tuntutan final dari pihak penuntut di mana ia berbicara untuk keluarga korban yang menonton di ruang persidangan dan ribuan lainnya yang tidak bisa hadir.
"Hati mereka hancur selamanya"
Mohammed bin Amin dan Mohammed bin Lep, yang mengenakan pakaian bernuansa Islam untuk persidangan pengadilan sebelumnya, muncul di pengadilan pada hari Jumat dengan mengenakan blazer gaya Amerika dan kemeja berkerah. Mohammed bin Lep mengenakan songkok - penutup kepala tradisional pria Malaysia - saat ia menyampaikan pernyataannya ke pengadilan pada hari Kamis dan Jumat, sementara Mohammed bin Amin mengenakan sepatu olahraga pada hari Kamis.
Saat membacakan tuntutan kepada kedua orang Malaysia ini, Kraehe menjelaskan bagaimana Mohammed bin Amin dan Mohammed bin Lep "menjawab panggilan" Osama bin Laden pada 1990-an. Mereka pergi ke Afghanistan pada tahun 2000 di mana mereka dilatih untuk berpartisipasi dalam jihad yang kejam dan bersumpah setia kepada Osama bin Laden setelah 11 September 2001.
"Ini adalah apa yang mereka inginkan, dan mereka dilatih untuk melakukannya," kata Kraehe, sambil menambahkan bahwa mereka telah dilatih untuk menjadi prajurit.
Pada masa itu, keduanya bertemu dengan Encep Nurjaman yang juga dikenal sebagai Hambali dari Indonesia, tersangka perencana utama serangan bom Bali 2002 itu. Kasus mereka dipisahkan pada tahun 2023 dari Hambali, yang pengacaranya mengatakan bahwa kliennya tidak mengharapkan kesepakatan serupa.
Kraehe juga berbicara tentang bagaimana Mohammed bin Lep dan Mohammed bin Amin membuat pernyataan pada hari Kamis bahwa perasaan mereka telah berubah selama lebih dari 20 tahun dalam tahanan - pertama di Thailand setelah penangkapan mereka pada tahun 2003, kemudian di situs rahasia CIA sebelum tiba di pangkalan di Kuba pada tahun 2006.
Menanggapi klaim terdakwa bahwa mereka disiksa dalam kebijakan Rendition, Detention and Interrogation (RDI) pemerintah Amerika, Kraehe mengatakan bahwa itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Jaksa mengatakan mereka telah diperlakukan dengan manusiawi di Teluk Guantanamo, dan mengingatkan anggota panel bahwa tugas mereka bukanlah untuk menilai kebijakan tersebut.
RDI adalah program yang sangat rahasia yang dikembangkan oleh badan intelijen Amerika CIA pasca serangan bom 11 September 2011 di New York yang menggunakan cara penculikan, penahanan rahasia, dan penyiksaan pada teroris yang dicurigai.
"Tugas kami adalah memberikan keadilan kepada para korban," katanya. "Terdakwa bukanlah korban dalam hal ini." Ketua tim jaksa melanjutkan dengan mengatakan bahwa Mohammed bin Amin dan Mohammed bin Lep tidak menunjukkan belas kasihan kepada korban mereka dan "tidak pantas mendapat belas kasihan."
Berbicara atas nama keluarga korban yang telah datang ke Kuba untuk memberikan kesaksian bagi orang-orang yang mereka cintai, ia mengatakan "mereka datang ke sini untuk mencari keadilan. Setelah bertahun-tahun, mereka masih percaya pada keadilan."
Ia juga mengajukan permohonan kepada panel yang beranggotakan satu perempuan dan empat pria mewakili Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Marinir AS.
Christine Funk, pengacara utama untuk Mohammed bin Amin, mengatakan hal terburuk yang pernah dilakukan kilennya adalah menerima uang pada Desember 2002 - dua bulan setelah serangan pada 12 Oktober - untuk menyembunyikan para sekongkol. Persekongkolan itu membuka pengakuan pembunuhan dan empat tuduhan lainnya.
"Anda jadi bertanggung jawab atas tindakan semua orang," katanya.
Funk mengakui penderitaan korban sambil membela kasus Mohammed bin Amin.
"Karena kami percaya bahwa selain ada penderitaan korban, ada juga hak terdakwa," katanya kepada panel.
Funk, yang mengenakan kerudung di pengadilan sebagai penghormatan kepada kliennya yang Muslim, membahas penyiksaan yang dia sebut dialami Mohammed bin Amin setelah penangkapannya di Thailand dan selama waktunya di situs rahasia CIA. Dia menggunakan beberapa sketsa yang diajukan pada hari Kamis untuk menunjukkan penyiksaan, termasuk waterboarding, atau metode penyiksaan tahanan yang memasukkan air secara paksa ke mulut dan hidung tahanan untuk menimbulkan sensasi seolah-olah mereka tenggelam.
Dia juga merilis rincian dari laporan ahli Hawthorne Smith, yang telah bekerja dengan korban penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia selama hampir tiga dekade. Dia menemukan bahwa Mohammed bin Amin menderita gangguan mental yang kompleks pasca kejadian traumatis seperti pertempuran, kekerasan dan sejenisnya atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
"[Ia] mengindikasikan bahwa Mohammed bin Amin mengalami gejala mengalami kembali penyiksaan yang dialaminya, seperti mimpi buruk terkait trauma, kadang-kadang tiga hingga empat kali seminggu; insomnia dan gangguan tidur lainnya; dan pikiran-pikiran yang meresahkan," kata Funk.
Funk juga berbicara tentang usaha Mohammed bin Amin untuk berubah dan kemungkinan bahwa dia bisa direhabilitasi. Merujuk pada laporan 2014 dari Komite Intelijen Senat AS tentang program penahanan CIA, dia mengatakan Mohammed bin Amin dengan cepat mulai membantu penyelidik.
"Anda akan melihat bahwa ketika Mohammed bin Amin pertama kali hilang dan berada di bawah kendali pihak berwenang Thailand, dia memberikan informasi kepada mereka segera," katanya.
Pada hari Kamis, Mohammed bin Amin mengatakan bahwa salah satu sketsanya menunjukkan orang-orang melepaskan pakaiannya ketika tangannya terikat dengan kabel di punggungnya beberapa jam setelah ditangkap.
Pengacara Mohammed bin Lep, Brian Bouffard, memberi tahu pengadilan bahwa kliennya memang memberikan dukungan kepada konspirator pengeboman dan telah bertanggung jawab atas tindakannya.
"Ia tidak di sini untuk menyebut dirinya sebagai korban," kata Bouffard, menambahkan bahwa Mohammed bin Lep tidak meminta belas kasihan. Dia mengatakan Mohammed bin Lep berdoa saat mendengarkan kesaksian para korban pada hari Rabu sambil menambahkan bahwa upaya tersebut tidak mengubah apa pun dalam hal kejahatan.
Bouffard juga mengatakan bahwa Mohammed bin Lep telah melupakan penyiksaan yang dia alami selama ditahan dan telah bekerja sama dengan penyelidik.
“Lakukan yang lebih baik dari ini”
Brigadir Jenderal Jackie Thompson, ketua pembela utama untuk Dewan Pembela Militer Komisi Militer, menyatakan harapannya bahwa pengakuan bersalah dan hukuman berikutnya bagi Mohammed bin Amin dan Mohammed bin Lep akan menjadi penutup duka bagi korban dan keluarga mereka.
Thompson, yang menyaksikan proses hukuman dari ruang persidangan di belakang pengadilan, menyampaikan pernyataan kepada BenarNews di mana dia mencatat bahwa penundaan 20 tahun untuk mengadili kedua pria itu sangat mengganggu dan mengecewakan keinginan semua orang untuk pertanggungjawaban dan keadilan.
"Pertangguhannya yang sayangnya sangat panjang dalam sistem peradilan pidana lebih banyak disebabkan oleh kebijakan Rendition, Detention and Interrogation yang diterapkan setelah serangan 11 September terhadap Amerika Serikat.
Thompson, yang bertanggung jawab atas pengacara pembela militer, mencatat bahwa 30 tahanan tetap ditahan di penjara Teluk Guantanamo, termasuk 16 yang telah mendapat persetujuan untuk dibebaskan atau dipindahkan.
"Sudah waktunya sekarang untuk mengembalikan atau mentransfer mereka yang statusnya sudah jelas," katanya dalam pernyataannya. "Negara yang menghormati proses hukum dapat dan seharusnya melakukan yang lebih baik dari ini." (BenarNews)