Kelompok Separatis beri Sinyal Bebaskan Pilot Susi Air asal Selandia Baru, Philip Mehrtens
pada tanggal
08 Februari 2024
JAYAPURA, LELEMUKU.COM - Kelompok separatis Papua pada Rabu (31/1/2024) mengatakan akan melepaskan pilot Susi Air asal Selandia Baru, Philip Mehrtens yang telah disandera sejak 7 Februari tahun lalu dengan alasan warga Selandia Baru, negara asal pilot tersebut, mendukung kemerdekaan Papua.
Namun aparat Indonesia tidak mempercayai klaim tersebut karena hingga kini belum ada kesepakatan untuk pembebasan sandera.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), yang merupakan sayap bersenjata Operasi Papua Merdeka, mengatakan sudah menyetujui pembebasan Philip Mehrtens. Mereka juga menegaskan Philip bukanlah musuh, tapi seorang teman yang tinggal bersama pasukan TPNPB di wilayah Nduga.
“Kami di manajemen markas TPNPB sepakat untuk melepaskan pilot Selandia Baru tersebut, karena dia adalah pilot dari negara tetangga kami. Sebagian besar warga Australia dan Selandia Baru adalah pendukung Papua merdeka,” ujar juru bicara TPNPB Sebby Sambom dalam keterangan tertulis kepada BenarNews.
Namun, Sebby tidak memberikan kepastian kapan pilot Susi Air tersebut akan dibebaskan.
“Kami akan mencari solusi terbaik. Pilot saat ini berada dalam kondisi baik-baik saja,” ujarnya saat dikonfirmasi BenarNews.
Sebby hanya mengaku TPNPB sudah memiliki niat berunding dengan pemerintah Indonesia untuk membebaskan sandera. Untuk itu, TPNPB telah mengirim surat resmi kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Jakarta pada Mei tahun lalu.
“Setelah Presiden Indonesia menerima surat kami, beliau setuju untuk berunding dengan kami, namun kemudian tidak ada konfirmasi lebih lanjut,” ucap Sebby.
TPNPB, lanjut Sebby, juga bertemu dengan delegasi Pemerintah Selandia Baru pada 5 April 2023 di Port Moresby, Papua Nugini, namun Wellington dianggap tidak memiliki niat untuk bernegosiasi lebih lanjut.
“Jadi menurut kami, pemerintah Selandia Baru dan Indonesia sama-sama tidak mampu berbicara dengan kami tentang pembebasan pilot,” kata Sebby.
Padahal, kata Sebby, TPNPB telah memerintahkan Egianus Kogoya — komandan TPNPB — untuk membebaskan sandera sebagai wujud niat baik sejak 5 Juni 2023.
Namun, kata Sebby, hal itu akhirnya urung dilakukan karena Jakarta dianggap tidak memiliki itikad baik untuk bernegosiasi.
“Pemerintah Jakarta tidak mau negosiasi dengan TPNPB, itu sebabnya pilot masih ditahan,” kata Sebby.
Sebby pun memberikan syarat pembebasan sandera dengan catatan pemerintah Indonesia mau duduk bersama dengan TPNPB.
“(Indonesia) harus duduk di satu meja dan bicara, tidak bisa bicara di jalan-jalan,” tukas Sebby.
Pada 7 Februari 2023, pesawat Pilatus PC-6 Porter milik Susi Air terbang dari Mimika pagi hari dan mendarat di Distrik Paro, Kabupaten Nduga, provinsi Papua Pegunungan, sebelum dibakar oleh TPNPB. Mereka menculik pilot setelah membebaskan lima penumpang.
Ketika itu Egianus Kogoya mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka tidak akan melepaskan pilot tersebut kecuali Indonesia membebaskan Papua dari “penjajahan.”
Belum ada kesepakatan
AKBP Bayu Suseno, juru bicara Satuan Tugas Damai Cartenz – yang menangani pemberontakan di Papua – mempertanyaan klaim TPNPB yang akan membebaskan sandera.
“Mau dilepas? Kapan? KKB kok dipercaya,” ujar Bayu kepada BenarNews merujuk pada nama Kelompok Kriminal Bersenjata, versi pemerintah untuk TPNPB.
Bayu mengatakan saat ini pemerintah telah mengutus Pj Bupati Nduga Edison Gwijangge untuk bernegosiasi dengan Egianus Kogoya soal pembebasan pilot.
“Karena beliau memiliki kedekatan kekerabatan dengan Egianus Kogoya,” jelas Bayu,
Menurut Bayu, meski berbagai upaya komunikasi sudah dibuka oleh Gwijangge kepada TPNPB, hingga saat ini belum ada kesepakatan terkait pembebasan pilot.
“Kami dari Satgas Damai Cartenz 2024 mengedepankan upaya soft approach terlebih dahulu karena pertimbangan kemanusiaan dan keselamatan pilot itu sendiri,” ujar Bayu.
Sementara itu, Humas Polda Papua Kombes Ignatius Benny Ady Prabowo mengaku belum mendengar kabar rencana pembebasan sandera oleh TPNPB.
“Saya belum mendapat infonya,” ucap Benny saat dikonfirmasi BenarNews.
BenarNews telah menghubungi Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Brigjen Nugraha Gumilar dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Theo Litaay, namun tidak mendapat balasan.
Pemerintah masih fokus ke pilpres
Peneliti Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Adriana Elisabeth mengatakan pemerintah saat ini masih fokus pada pemilihan presiden 2024, alih-alih pada pembebasan sandera.
“Tapi siapa pun presiden yang terpilih, isu Papua akan menjadi pekerjaan rumah yang belum tahu bagaimana akan diselesaikan. Sedangkan masalah pilot Susi Air hanya bagian dari dinamika konflik Papua,” tukasnya kepada BenarNews.
Menurut Adriana, masalah ini berlarut-larut karena tuntutan kemerdekaan Papua tidak bisa dibarter dengan pelepasan sandera.
“Yang harus dilakukan adalah negosiasi politik dengan syarat pembebasan sandera terlebih dulu. Selama tidak bersepakat soal ini, sulit menemukan solusinya,” jelas Adriana.
Jaringan Damai Papua, sebuah kelompok masyarakat sipil untuk isu perdamaian, mengatakan penyanderaan sudah berlangsung hampir satu tahun dan tidak ada perundingan berarti untuk membebaskannya.
“Kedua belah pihak harus ada itikad baik. Kami mendorong harus ada pertemuan dan dialog untuk membebaskan sandera,” ujar juru bicara Jaringan Damai Papua Yan Christian Warinussy kepada BenarNews.
Menurut Yan, kedua pihak juga harus menurunkan ego masing-masing demi tercapainya kesepakatan pembebasan.
“Saat ini ada kesan, kalau kedua pihak bertemu, sama saja mengaku kemenangan lawan,” tutur Yan.
Yan menambahkan meski kedua pihak mengaku ingin berunding untuk membebaskan sandera, faktanya kekerasan di lapangan terus terjadi.
“Mereka gagal menghentikan konflik,” imbuh Yan.
Yan mengaku saat ini sudah banyak warga yang menjadi korban akibat kasus penyanderaan ini, khususnya warga di sekitar wilayah yang dilalui TPNPB bersama sandera.
“Warga banyak mengungsi karena mereka takut dianggap antek-antek TPNBP saat TNI melakukan penyisiran. Pun sebaliknya mereka juga takut dieksekusi TPNPB karena dituduh mata-mata TNI,” ucap Yan.
Wilayah Papua kerap diwarnai konflik antara aparat keamanan Indonesia dan kelompok separatis bersenjata yang ingin melepaskan diri dari Indonesia, sejak Jakarta mengambil alih Papua dari kekuasaan kolonial Belanda pada tahun 1963.
Pada tahun 1969, di bawah pengawasan PBB, Indonesia mengadakan referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua, yang hanya diwakili oleh sekitar 1.000 orang yang disebut telah diinstruksikan untuk memilih bergabung dengan Indonesia.
Hasil dari Pepera itu menjadikan Papua bagian dari Republik Indonesia hingga saat ini. (Pizaro Gozali Idrus | BenarNews)