Maximus Dogomo Desak Tindakan Nyata Hadapin Konflik Lahan Emas di Mogodagi
TIGI, LELEMUKU.COM – Konflik lahan pendulangan emas di Kampung Mogodagi, Distrik Kapiraya, Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua Tengah, telah memicu ketegangan serius antara warga suku Mee dan Kamoro. Ketegangan ini mengancam kehidupan damai yang telah lama terjalin di antara kedua suku tersebut.
Maximus Dogomo menjelaskan kepada media bahwa berdasarkan pengalaman dan sejarah, suku Mee dan Kamoro selalu hidup berdampingan dengan harmoni. Mereka berburu, memasak bersama, dan melakukan transaksi jual beli dengan sistem barter yang saling menguntungkan. Namun, konflik nyaris terjadi ketika warga Kampung Wakia, Kapiraya bersenjata mendatangi warga suku Mee di Kampung Mogodagi, mengancam menyapu rata penduduk setempat. Ancaman ini dipicu oleh perebutan lahan pendulangan emas di wilayah Kapiraya.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Dogiyai segera mengambil langkah politis terkait konflik pertambangan emas ini. Perusahaan tambang, PT Zoomlion Indonesia Heavy Industry, dituding sebagai perusahaan ilegal yang melakukan eksploitasi emas di Kampung Mogodagi sejak Januari 2023. Pada Mei 2024, karyawan perusahaan tersebut mulai beroperasi dengan membawa dua ekskavator dan dua mobil Hilux memasuki area penambangan tanpa izin dari masyarakat setempat. Aktivitas penambangan ini menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat pemilik ulayat.
Merespon situasi yang semakin memanas, DPRD Dogiyai telah turun ke lapangan untuk memantau kondisi Kampung Mogodagi. Hasil pemantauan ini kemudian dijadikan rekomendasi resmi yang disampaikan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Tengah, terutama Penjabat Gubernur Dr. Ribka Haluk, S.Sos, MM, serta pihak-pihak terkait lainnya. DPRD Dogiyai mendesak agar langkah konkret segera diambil untuk mengatasi situasi sebelum konflik berujung korban jiwa di pihak masyarakat.
Pasca kunjungan DPRD, situasi semakin memburuk dengan penambahan alat berat untuk mendukung aktivitas tambang ilegal serta pemalangan landasan pacu Bandara Kapiraya oleh masyarakat Kamoro, Kei, dan pihak perusahaan. Situasi ini sangat mencekam dan menempatkan masyarakat Mee di bawah ancaman serius.
Publik mengharapkan adanya tindakan pencegahan untuk menghindari intervensi pihak luar yang bertujuan menguras kekayaan alam di wilayah Kapiraya. Dialog antara suku Kamoro dan Mee untuk menentukan tapal batas tanah adat mereka sendiri perlu segera dimediasi oleh Pemprov Papua Tengah, mengingat wilayah ini berada di tapal batas tiga kabupaten yaitu Deiyai, Mimika, dan Dogiyai.
Penjabat Gubernur Ribka Haluk diharapkan segera mengambil langkah konkret berdasarkan rekomendasi DPRD Dogiyai untuk mencegah terjadinya korban dan pertumpahan darah. Pemprov Papua Tengah perlu segera mencari opsi jalan keluar, baik dengan Peraturan Gubernur (Pergub) maupun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) terkait tambang di tanah masyarakat adat.
Langkah-langkah yang perlu diambil meliputi penutupan operasi tambang emas ilegal yang dilakukan PT Zoomlion Indonesia Heavy Industry di Mogodagi, penyelidikan transparan mengenai operasi perusahaan tanpa izin dari pemilik hak ulayat, pemulihan hak-hak masyarakat adat, perlindungan dan pemulihan kerusakan hutan dan lingkungan yang terjadi, serta menjamin transparansi dan akuntabilitas semua izin operasi tambang dan aktivitas ekonomi lainnya.
Pemprov Papua Tengah dan semua pemangku kepentingan perlu segera mengambil tindakan sebelum situasi semakin memburuk dan berpotensi memakan korban warga. Dengan cara ini, pemerintah dapat memenuhi tanggung jawab moral dan sosial untuk menjaga kedamaian dan kesejahteraan masyarakatnya di wilayah adat Meepago. (olemah.com)