Resiko Gagal Bayar Bisnis Paylater yang Masif
JAKARTA, LELEMUKU.COM - Bisnis Buy Now Pay Later (BNPL) atau pay later kini cukup masif di Indonesia. Sejumlah bank mulai berlomba-lomba meluncurkan layanan pay later untuk menarik lebih banyak konsumen. Siapkah bank menanggung risiko gagal bayar?
Setelah menjamurnya layanan pinjaman online (pinjol), kini perusahaan pembiayaan dan perbankan ramai-ramai masuk ke dalam bisnis pay later.
Berbeda dengan persyaratan untuk mengajukan kartu kredit yang cenderung rumit, konsumen yang ingin mendapatkan layanan pay later cukup mengisi data diri secara daring dan melakukan verifikasi KTP. Konsumen yang berusia minimal 17 tahun – atau di sebagian bank, batas usia minimal 21 tahun – bisa langsung menggunakan layanan tersebut.
Pay Later merupakan layanan untuk menunda pembayaran (buy now, pay later) dengan cara menyediakan fasilitas cicilan atau pelunasan pada tagihan transaksi kita.
Mimi (bukan nama sebenarnya) adalah salah seorang anak milenial yang tertarik menggunakan kemudahan pay later untuk kehidupannya sehari-hari. Ia menggunakan layanan ini sejak tahun 2018, dari salah satu e-commerce. Namun ia membatasi transaksinya hingga 30 juta rupiah saja per bulan.
“Kenapa tertarik? Awalnya cari alternatif dan platformnya juga menawarkan langsung khususnya yang e-commerce. Utamanya karena integrasi ke e-commerce jadi pilih pakai paylaternya,” ungkap Mimi saat berbincang dengan VOA.
Meski begitu, Mimi mengaku tidak selalu menggunakan pay later ini untuk kebutuhan konsumtif, dan lebih banyak untuk keperluan perjalanan bisnis dan perjalanan pribadi.
Mimi juga disiplin membayar pay later dan berupaya keras supaya tidak terlambat agar tidak dikenai bunga yang nyaris sama dengan bunga kartu kredit.
“Coba menghindari untuk digunakan kebutuhan konsumtif karena untuk kebutuhan travel sendiri sebelum hari H-nya cicilannya sudah harus lunas. Enggak pernah sama sekali telat bayar pay later, dan bunganya di awal cukup bersaing dengan kartu kredit. Cuma makin ke sini terhitung sama saja,” jelasnya.
Namun karena belum merasa “sreg” dengan layanan pay later, Mimi mengatakan lebih memilih menggunakan layanan kartu kredit jika melakukan transaksi antar negara, atau jika ia sedang berada di negara lain.
Dengan maraknya bisnis pay later tersebut, Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aman Santosa, mewanti-wanti penyedia layanan tersebut untuk memiliki mitigasi risiko yang memadai dan menerapkan prinsip kehati-hatian sejak awal pelaksanaan kemitraan.
“Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, langkah-langkah tersebut meliputi pemilihan mitra secara komprehensif, serta pemantauan dan evaluasi kinerja secara berkala. Dalam hal jika terjadi gagal bayar, Bank harus memiliki strategi mitigasi risiko yang memadai, antara lain dengan membentuk cadangan kerugian terhadap kredit bermasalah dan menetapkan langkah-langkah penyelesaian,” ungkap Aman dalam keterangan tertulisnya kepada VOA.
OJK, tambahnya, mengawasi dengan seksama pelaksanaan bisnis pay later oleh perusahaan pembiayaan dan perbankan. Ini dikarenakan total penyaluran piutang pembiayaan dari perusahaan pembiayaan dalam layanan buy now pay later (BNPL) hingga Mei 2024 saja telah meningkat 33,64 persen (year on year/yoy) menjadi sebesar Rp6,81 triliun. OJK pun melaporkan adanya rasio kredit bermasalah atau non-performing financing (NPF) dari layanan pay later ini.
“Rasio NPF Gross dan NPF Netto PP BNPL per Mei 2024 masing-masing sebesar 3,22% dan 0,84%. Pembiayaan BNPL di Indonesia memiliki potensi pasar yang cukup besar sejalan dengan perkembangan perekonomian berbasis digital. Untuk data NPL perbankan khusus untuk paylater belum tersedia secara spesifik,” jelasnya.
Seorang pekerja di Bank Indonesia mengatur tumpukan mata uang Rupiah (foto: dok).
Seorang pekerja di Bank Indonesia mengatur tumpukan mata uang Rupiah (foto: dok).
Lebih jauh Aman mengingatkan agar masyarakat menyadari adanya berbagai biaya lain dalam transaksi pay later, seperti biaya administrasi, bunga dan denda, jika pembayaran tidak sesuai ketentuan. Ini akan berdampak pada riwayat kredit konsumen yang berpengaruh terhadap persetujuan kredit berikutnya.
“Saat ini pinjaman pay later juga sudah masuk dalam pencatatan riwayat kredit dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK – OJK Checking). Hal tersebut diartikan bahwa riwayat pembayaran cicilan pay later dapat mempengaruhi riwayat kredit konsumen. OJK juga senantiasa mengingatkan masyarakat untuk berhutang secara bijak sesuai kebutuhan dan kemampuan membayar kembali dan diupayakan berhutang untuk sesuatu yang produktif,” jelasnya.
Meskipun sebagian pihak khawatir potensi gagal bayar, Executive Vice President (EVP) Corporate Communication and Social Responsibility Bank Central Asia (BCA), Hera F. Haryn mengatakan pengguna layanan BCA Pay Later yang sudah mencapai 110.000 nasabah sejauh ini tetap terjaga.
“Jumlah ini tumbuh 108 persen dibandingkan posisi per Desember 2023 . Adapun secara outstanding telah mencapai Rp 223 miliar per Mei 2024, tumbuh 94 persen dibandingkan posisi Desember 2023,” ungkap Hera dalam keterangan tertulisnya kepada VOA.
Ditambahkannya, rasio untuk kredit bermasalah dalam pay later atau non -performing loan (NPL) tetap terjaga di level 1,9 persen per Maret 2024.
Produk pay later BCA sendiri memiliki limit kredit hingga Rp20 juta, dengan suku bunga cicilan kompetitif dari 0% per bulan untuk 1 dan 3 bulan; serta 1,25% per bulan untuk 6 dan 12 bulan. Hal ini berlaku hingga September 2024.
“Pada prinsipnya, BCA senantiasa menyalurkan kredit, termasuk Pay Later, secara pruden. Selaras dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang positif pada 2024, kami berharap transaksi menggunakan Pay Later BCA akan terus meningkat sehingga berdampak pada pertumbuhan kredit konsumsi BCA,” jelasnya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan risiko gagal bayar atau kredit bermasalah dari layanan pay later ini sama tingginya dengan pinjaman online (pinjol). Oleh karena itu OJK, ujarnya, harus dapat mengawasi pelaksanaan bisnis pay later dengan lebih baik agar tidak bernasib sama seperti pinjol. Apalagi dari sisi pengajuan untuk mendapatkan layanan pay later ini lebih mudah ketimbang mengajukan layanan kartu kredit; dan mendorong budaya konsumtif.
“Memang karena prosesnya mudah dan ujung-ujungnya untuk keperluan yang memang tidak bisa kendalikan, karena spendingnya kadang-kadang untuk belanja sesuatu mungkin bukan kebutuhan utamanya. Jadi risiko kredit yang meningkat pun juga tinggi, mirip juga dengan pinjol,” ungkap Josua saat berbincang dengan VOA.
Ia juga mendorong penyedia layanan pay later untuk memperkuat manajemen risiko agar tidak menjadi bumerang, yang berdampak pada kinerja utang dan permodalan perusahaan penyedia jasa tersebut.
“Yang perlu diprioritaskan, dari sisi regulasinya diperkuat khususnya bagaimana misalkan penggunakan dari AI ataupun verifikasi kepada calon yang mengajukan pay later itu memang harus kuat untuk bisa memitigasi risiko terjadinya kredit macet. Yang terpenting juga adanya edukasi, literasi," ujar Josua.
Artinya, yang mungkin bagaimana masyarakat khususnya millennials yang mungkin beberapa cenderung FOMO (fear of missing out atau takut ketinggalan.red), perlu diedukasi agar pembelanjaannya memang benar-benar untuk keperluan primer, atau diedukasi bagaimana mengelola utang supaya sehat,” pungkasnya.